"You are The Apple of My Eyes"




"Aku nggak mau lagi hidup sama orang kayak kamu!"


Kamu marah. Sangat marah padaku waktu itu. Kamu lontarkan kalimat itu dengan mulutmu sembari tanganmu melempar seikat sapu lidi ke arahku. Tapi meleset, tidak kena.

"Kenapa sih aku harus kenal orang kayak kamu?!"


Pagi tadi, kamu merusak buku catatan pelajaranku. Buku catatan yang sudah kusampul dengan rapi dan indah sehingga aku bersemangat menyimpan ilmu dengan rakusnya di dalam sana. Kertasnya pun sengaja kubeli yang paling bagus, dengan uang tabunganku sendiri dari uang jajanku yang sehari hanya dua ribu rupiah -- belum lagi dikurangi dengan sering kau minta sebagian.

"Yaudah, besok sekolah berangkat aja sendiri! Bier dikejar anjing. Masa bodo!"

Pagi tadi, kamu merusak buku catatan pelajaranku. Aku marah dan kesal. Tapi tidak meluapkannya padamu. Hanya mengadu pada ibu. Persis seperti tiap kali kau mengadukan kesalahanku padanya, dan kau merasa puas jika ibu memarahiku habis-habisan.

Dan kau jadi marah kepadaku. Anak nggak tau diri, pikirku waktu itu.

sekitar 14 tahun yang lalu :)
Biasanya pagi-pagi kamu sudah duduk di bangku belakang sepeda miniku yang berwarna jingga kusam. Kamu duduk di sana dengan semangat dan sumringah. Tas punggung yang dipesan sama dengan milikku sudah kau kenakan di punggungmu. Tanganmu erat menggenggam sebuah botol minum plastik warna biru yang juga sama dengan milikku. Apapun yang kumiliki, pasti ingin kau miliki juga.

Tapi keesokan harinya kamu benar-benar pergi sendiri ke sekolah. Berjalan kaki. Benar-benar tak ingin bersepeda dengan sepeda jingga kusamku. Diam-diam kubuntuti kamu yang melangkah sendirian sok berani. Menempuh jarak hampir satu kilometer menuju sekolah yang baru empat bulan kau sambangi. Sendirian. Benar-benar sok berani.

Dan hewan itu. Hewan yang mungkin kau takuti sejagat --sebab kau belum pernah berpapasan dengan singa secara langsung-- menjegatmu di jalan. Kamu berhenti melangkah, ketakutan. Pelan-pelan mundur. Aku terdiam menyaksikan. Ingin melihat seberapa berani dirimu tanpaku. Si hitam menyadari keberadaanmu dan mulai menyalak galak. Kamu malah berlari kembali ke arah kamu datang. Aku ada di sana.

Bodohnya kamu malah jatuh. Tubuhmu terlalu gendut untuk anak seusia dirimu waktu itu. Si hitam semakin mendekat dan berlari kepadamu. Kamu malah hanya menangis, terlalu gemetar untuk berdiri.

Dan aku. Meninggalkan sepedaku begitu saja. Bersama tas yang kuletakkan di keranjang yang terpasang di depannya. Mencari beberapa buah batu besar. Ada juga sebuah balok kayu besar yang segera kusambar. Melempari si Hitam dengan penuh emosi. Berlari ke tempat kamu terjatuh dan menghadang si Hitam di sana.

Si Hitam pun akhirnya lari setelah tubuhnya lebam karena kayu yang kuhantamkan padanya. Siapa suruh dia berani mengganggu kamu!

Kamu, yang betapa menyebalkannya dirimu. Entah kemarin atau hari-hari sebelumnya. Ah, bagaimana ya mengatakannya... Aku....

Aku tetap menyimpan rasa itu. Rasa yang setiap orang pasti memilikinya, walau mungkin setiap kita punya sebutan dan definisi masing-masing untuknya. Meski juga aku belum pernah menyatakannya padamu. Barang sekalipun. Bahkan sejak kau disimpan dalam ruang kaca, sekitar pukul 8 pagi usai kau diadzani bapak. Sejak hari itu, hobiku adalah mengunjungi tempat kamu disimpan. Memandangimu yang tertidur dari jendela kaca.

Tanpa pernah berpikir bahwa kamu akan pernah melontarkan kata-kata itu: "Aku nggak mau lagi hidup sama orang kayak kamu!"

Ah, sudahlah... itu kan hanya sekelumit masa lalu. Masa lalu yang senantiasa membuat bibirku tersungging jika ia lewat sekelebat dan sekedar melambaikan tangan --andai ia punya tangan.
***

Siapa yang tahu, akan hari ini. Kamu yang dulu selalu duduk di bangku belakang sepeda mini jingga kusamku, dengan tangan kanan memeluk botol minum dan tangan kiri berpegang pada pinggangku, sekarang kita harus tukar posisi ketika kita sama-sama bertambah usia.

Kamu yang duduk sebagai pengendara, dan aku duduk di belakangmu. Hampir setiap hari; pagi, siang, sore, malam. Kemanapun aku perlu pergi; sekedar keluar rumah, pergi ke kampus, mengaji, hingga rapat-rapat yang harus kuhadiri. Kamu begitu setia, kapanpun kuminta asal kau bisa, kamu bersedia. Mengenakan jaket tebal, menggeber motor milik bapak dulu, kamu siap menjemput dan mengantarku. Baik pagi, atau saat rembulan pun telah lelah berpijar.

Saat aku menuliskan ini, sungguh aku ingat betul saat kamu menjemputku yang masih di kampus malam itu. Seperti malam-malam biasanya, aku yang tak bisa mengendarai motor ini duduk di belakangmu yang membawa kendaraan ini menuju rumah tempat kita masih tinggal bersama. Di atas jalan yang menghubungkan Cibinong-Darmaga, banyak hal kita perbincangkan. Banyak sekali.

"Gue seneng nganter-nganter elu gini karena gue jadi bisa cerita dan diskusi banyak, Mbak." katamu tiap kali kutanya, "Kamu capek nggak kalo nganter-jemput terus begini?"

Karena kamu sudah terlalu sering mengantar dan menjemputku di kampus, kamu mengenal teman-teman dan rekan kerjaku. Kamu yang mengenal beberapa teman lelakiku, mulai berpikir bagaimana jika suatu hari mungkin...aku menikah dengan salah satu dari mereka. "Mikirnya jauh amat," sergahku tiap kali kamu bertanya soal itu.

"Bukan itu maksud gue..." katamu lagi.

"Terus?"

"Kalo elu nikah nanti.... gue masih bisa ngeboncengin elu ke mana-mana nggak Mbak? Kayak malam ini dan biasanya..."

Wahai... aku tak tahu apa yang harus aku katakan. Speechless.

Kamu. Yang dulu sering bilang tak ingin lagi hidup bersamaku, nyatanya malam ini segalanya berbalik. Kamu nggak ingin berpisah denganku, iya kan? Kamu bahkan terjebak pikiranmu sendiri. Membayangkan bagaimana jika aku kelak bersuami nanti. Kamu takut kalah dengan kakak iparmu. Kamu takut iri sebab dulu kamu yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi, suatu hari ada orang lain yang lebih berhak membawaku pergi.

"Tenang... elu bakal tetep bisa nganter gue kalee," kataku menghiburnya sambil mencubit perutnya. "Emang suami gue ojeg. Kan kerja juga kalee. Jadi elu aja yang nganter-nganter gue."

"Beneran?"

"Iyee..." kataku sambil nyengir --walau ia tak melihat cengiranku di belakang punggungnya.

Kamu kembali tersenyum -- aku bisa merasakannya. Kamu sangat polos. Begitu percaya dan menurut pada setiap kata yang kukatakan. Sejak bapak tidak ada, kamu jadi anak yang menuruti nasehat-nasehatku. Maafkan aku soal janji yang baru saja kuucapkan. Aku tidak bisa menjamin. Apakah aku akan tetap tinggal bersamamu usai seseorang menebus diriku. Rencananya begitu; kita tumbuh bersama, dan menua bersama. Sama-sama menjaga ibu kita, satu-satunya orang tua yang kini kita punya. Tapi bagaimanapun manusia berencana, Allah jua yang punya kendali akan semuanya. Ataukah aku tidak akan sempat mengalaminya, menjadi milik seseorang. Entah karena mati muda atau mungkin...ah sudahlah. "Aku adalah prasangka hamba-Ku". Terserah pada-Nya.

Sayangku.... 16 tahun kita hidup bersama. Menyaksikan serentetan peristiwa. Hari ini adalah usiamu yang ke 16 tahun 1 bulan 28 hari. Ada serentetan pesan yang mengantarkan dirimu menuju kedewasaan. Maaf, aku belum bisa menjadi contoh yang baik bagimu. Maaf dahulu pun aku pernah sekesal itu padamu, tapi nyatanya hingga hari ini, kamu adalah salah satu orang yang ingin kuperjuangankan bagi jannah-Nya. Sebab sebaik-baik tempat berisitirahat dan berkumpul hanyalah surga.

Ah, sayangku. Maaf jika kata panggil manja itu hanya bisa diungkapkan dengan huruf-huruf maya ini, yang mungkin kamu juga tidak peduli bahwa aku punya tempat bercerita seperti di sini.

Sedikit meminjam sebuah judul buku dan film yang pernah kulihat : "You are the apple of my eyes" hal terindah dan mengindahkan bagi kedua mataku.

Yang kucintai karena-Nya. Yang dunia harus tahu bahwa ia adik laki-laki terbaik yang pernah ada.

Arif Setyawan.
You are The Apple of My Eyes





















Comments

  1. Waaaahhh... herma herma herma.... selalu melting kalau baca cerita kakak adek giniiiiii... suka catatannya.. (y),,

    ReplyDelete
    Replies
    1. ahaha..hai halo.. makasih :E
      *bingung ngomong apa.hahah*

      Delete

Post a Comment

Popular Posts