MSc Jomblow Story: Harus Seberapa Jago Bahasa Inggris?



Bersama Sarka, gadis Czech Republic. Salah satu teman terdekat saya di Belanda.
(this picture has been allowed to be published by the subject on the picture)


Learning another language is not only learning a new word for the same things,
but learning another way to think about things.
- Flora Lewis 


Prolog
Detik pertama saya mengenal bahasa Inggris adalah ketika saya berusia 5 tahun, dalam kereta dari Jakarta menuju Semarang, kota tempat almarhum bapak dilahirkan. Di masa itu, pedagang-pedagangan asongan masih bisa masuk ke dalam kereta --bahkan kelas bisnis sekalipun-- untuk menjajakan dagangannya, mencari pundi-pundi rupiah. Bapak pun membeli beberapa tahu sumedang dan jajanan untuk perjalanan kami dan sebuah buku English for Children untuk saya. 

Entah apa tujuan Bapak membeli buku yang ia sendiri tidak bisa mendampingi saya membacanya, pun Mama yang mengajari saya membaca sejak usia kurang lebih 3 tahun. Buku tersebut berisi gambar-gambar dan tulisan dalam bahasa Inggris-Indonesia agar anak-anak mudah menghafal kosa katanya. Bapak sendiri tidak tahu bahwa 'nasi' dalam bahasa Inggris dibaca 'rais' bukan 'ri-ce' sebagaimana ejaan bahasa Indonesia. Bapak hanya tau itu nasi karena gambar dalam buku menggambarkan semangkuk nasi dengan tulisan 'Nasi' dan 'Rice' di bawahnya. 

Saya asyik membaca buku tersebut selama perjalanan dalam kereta. Mungkin tujuan Bapak membeli buku tersebut supaya anaknya ada hiburan dan tidak bosan di jalan. Tapi kenapa harus buku Bahasa Inggris? Padahal ada opsi buku lain yang bisa dibeli, misalnya komik atau majalah Bobo yang juga sering saya baca di rumah. Sampai sekarang saya masih tertawa kecil mengingat kenangan tersebut. 

Sejak memiliki buku tersebut, saya sadar bahwa saya sangat menyukai bahasa Inggris. Hingga ketika guru TPA saya yang juga guru bahasa Inggris di sebuah SMK (namanya Bu Sofi) membuka bimbel kecil-kecilan setiap hari Minggu, saya antusias mengikutinya sejak kelas 2 hingga kelas 3 SD. Biayanya Rp 10,000 per bulan. Hari ini, semangkuk bakso saja minimal sudah Rp 13,000 haha 

Setelah Bu Sofi menikah dan pindah ke kota lain (kabar yang saya dengar), saya melanjutkan belajar Bahasa Inggris dengan otodidak. Oh ya, sebelum Bu Sofi resign dari mengajar TPA dan bimbel, Bu Sofi memberikan saya sebuah buku Bahasa Inggris untuk dipelajari. Hanya saya yang beliau beri, teman-teman yang lain tidak. Kata Bu Sofi, saya adalah muridnya yang paling cepat mengerti dan hafal saat diajari Bahasa Inggris. Pantas saja, Bu Sofi mengelompokkan saya dengan murid-murid SMP, bukan dengan murid-murid seusia saya. Padahal waktu itu saya masih kelas 2 SD. 

Dan seterusnya saya melanjutkan belajar bahasa Inggris dengan otodidak. Pernah les di suatu tempat kursus juga cuma 2 level dan udahan karena mahal, ga kuat bayarnya. Minta izin beli bukunya aja haha. Hingga bahasa Inggris menjadi sarana saya mencari penghasilan dengan mengajar kursus dan menerjemah jurnal. 

Kenapa saya cerita perjalanan saya belajar bahasa Inggris? Karena saya ingin menyemangati rekan-rekan yang sedang berjuang menguasai bahasa Inggris demi melanjutkan studi di luar negeri. Bahwa belajar apapun sebenarnya bisa sendiri, kecuali belajar ilmu agama. Pada masa-masa saya belajar, waktu itu satu-satunya media belajar hanya buku. Saya rajin menabung sejak kecil untuk membeli buku-buku yang saya butuhkan di luar buku sekolah (buku sekolah dibelikan orangtua). 

Jadi, saya sering sedih ketika ada rekan yang mengeluh tidak bisa bahasa Inggris sedangkan ia sangat ingin melanjutkan studi ke luar negeri. Katanya juga karena tidak punya uang lebih untuk ikut kursus. 

Sedih karena hari ini, media belajar sudah sangat banyak. Internet menawarkan ilmu yang bisa diakses dengan 'gratis', hanya bermodalkan paket data. Latihan listening atau speaking bisa menyimak video-video YouTube, materi-materi pun mudah diunduh dengan gratis. Rasanya sedih aja jika para pengguna smart gadget tidak bisa lebih 'smart' daripada gadget-nya.    

Bukan berarti guru bahasa Inggris tidak diperlukan ya. Menurut saya, hal-hal mendasar seperti tata bahasa (grammar) itu bisa dipelajari sendiri. Fungsi guru hanya tempat bertanya jika ada hal-hal yang benar-benar sulit, misalnya untuk yang sekelas penerjemah memang akan butuh mentor yang lebih senior. Tapi untuk tujuan studi, insyaallah bisa dipelajari sendiri sebenarnya. Dan menurut saya, bahasa Inggris tidak sesulit matematika misalnya yang memang benar-benar membutuhkan pemaparan dari guru. 

Menurut saya sih masalahnya cuma satu: malas. 'Ga ada waktu' itu cuma excuse, alasan supaya ga terlalu merasa bersalah atau ga keliatan malas. Yang ada kurang memrioritaskan aja. Ga usah jauh-jauh ke kampung Inggris Pare, in my opinion yah ga membantu amat si. Sama aja kayak kursus-kursus biasa, cuma lebih intens dan biayanya relatif lebih murah aja. Masyarakatnya tetap ngomong Jawa kok haha. Kalo ada biaya dan waktu sih silahkan, tapi kalo ga ada ya lawan malasnya dan belajar sendiri juga bisa.

Jadi, selamat meningkatkan skill berbahasa Inggris teman-teman! Manfaatkan semua media yang ada. Kuncinya tekun dan sabar aja. 

Izinkan saya bercerita betapa krusialnya kemampuan berbahasa Inggris ketika melanjutkan studi di luar negeri. 

**********

Pada tanggal 23 Agustus 2018, saya resmi berangkat ke Belanda dan tiba di Amsterdam sehari setelahnya. The real life with English, has officially begun. 

Mungkin sebagian teman-teman sudah tau jika jurusan saya dipisah dari kampus utama di Maastricht. Jurusan saya berlokasi di Venlo, di mana Indonesian student-nya tahun ini hanya ada saya (tahun lalu ada 2 orang mahasiswa Indonesia lainnya yang secara teknis adalah senior saya). Sangat jauh berbeda dengan situasi di Wageningen University & Research (WUR) yang saya jumpai, di mana beberapa langkah saja sudah bisa bertemua sesama orang Indonesia. 

Maka, mau tidak mau, suka tidak suka, saya hanya bisa menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi. Terhitung 7 tahun mengajar bahasa Inggris (2011-2018) di Indonesia, ternyata tetap tidak membuat saya cas cis cus seperti yang dibayangkan. Saya tergagap-gagap ketika ingin bicara atau menjawab pertanyaan teman-teman dan dosen. 

Sekitar dua minggu yang lalu, saya nongkrong bersama 2 orang teman dekat yang berasal dari Taiwan dan Vietnam. Mereka adalah teman baik pertama saya ketika awal-awal tinggal di Venlo. Kami membicarakan banyak hal, termasuk mengenang ketika awal-awal kami bertemu dan sering makan bersama di housing salah satu dari kami. 

"Ya ampun, dulu tuh kita setiap mau ngomong buka google translate dulu ga sih? Bingung mau ngomong A gatau English-nya apa, dibilang B pun kalian ga ngerti. Hahaha" celetuk Ngoc Nguyen, si gadis Vietnam. 

"Iya ih parah banget ya dulu kita. Tapi sekarang kita jauh lebih lancar ga sih, ga buka-buka kamus lagi dong kita kalo ngobrol," sahut Viola, gadis Taiwan yang mirip Shen Cia Yi di film You are the Apple of My Eyes. 

"Iya dong, gue udah bisa curhat in English sekarang. Gue merasa lebih jago dari orang-orang Belanda hahaha" sombong saya tetep yang paling selangit hahaha. Mereka tahu kok saya cuma bercanda, karena Ngoc langsung ngeplak saya pakai brosur iklan kopi.

Dari segi komunikasi, yang saya rasakan adalah you'll feel isolated when you can't speak. Sekarang jadi paham rasanya orang tuna wicara. Dan antara ini berkah atau musibah, berhubung teman-teman saya juga ga ada yang native speaker, English mereka juga sama-sama amburadul meskipun bule. Di satu sisi baguslah dia ga akan maksa saya untuk berbicara 'sesuai grammar'. Yang penting lo ngerti gue ngerti, kelar. Tapi di sisi lain, susah juga buat ngerti kalo terlalu acak-acakan omongannya.

Suatu hari di awal-awal perkuliahan, saya dan beberapa teman (campuran antara mahasiswa non-Belanda dan Belanda) sedang mendiskusikan tugas dengan teman sekelompok. Ketika teman saya memaparkan idenya, saya merespon dengan "hah? sorry what did you say?" menandakan saya tidak mengerti perkataannya. Kemudian dia mengulangi lagi, dan respon saya masih sama, "Hah?" sambil menyodorkan telinga. 

Dia menghela nafas, keliatan kesal. Kemudian mengulangi lagi dengan nada suara yang agak ditinggikan. Saya pura-pura ngangguk-ngangguk ngerti. Mau 'ber-hah-heh-hoh' lagi takut makin nyebelin dan takut keliatan bego. Pas dia nanya, "Ngarti teu?" saya nyengir sambil geleng-geleng dan minta maaf, "Sorry, either my hearing or my English is sucks. I couldn't hear you clearly nor understood what you were explaining."

Dia bengong. Seorang teman Belanda yang notabene gaya bicaranya direct (cenderung rude aka ga sopan) menyela, "Kamu ga bego Herma. Dia emang ga jelas ngomong apa." 

Kemudian dia yang malu. Baper. Ngambek. Kerja kelompok ditunda sampe dia selesai ngerokok di luar gedung.

Drama pun bisa terjadi karena kemampuan bahasa Inggris yang terbatas, meski salah satu dari kami adalah guru bahasa Inggris dengan jam terbang cukup tinggi di negaranya. Di Indonesia mungkin kemampuan berbahasa Inggris saya dianggap 'wah', di sini 'shit' haha. Sungguh terlalu.

Ga hanya komunikasi, yang lebih mengerikannya adalah ketika harus memahami materi perkuliahan yang pastinya menggunakan bahasa Inggris. Sewaktu di Indonesia, mencatat selama perkuliahan bukan hal yang sulit. Di sini jangankan mencatat, bisa mengerti apa yang dosen bicarakan juga sudah syukur. Mau gamau, kadang saya terpaksa diam-diam menyetel perekam di laptop atau handphone saya untuk saya dengarkan lagi saat belajar di kosan nanti. Baru saya bisa membuat rangkuman kuliah. 

Dalam seminggu saya harus membaca sekitar 40 judul jurnal. Tidak mengerti? Selamat datang remedial. 

Beberapa teman saya yang ketika di kampusnya dulu dikenal sebagai mahasiswa paling prestatif (ada yang mapres juga), di sini bisa mengalami hal yang tak terduga. Mereka mengalami remedial di hampir seluruh mata kuliah yang diambil. Bayangkan betapa teraniayanya kami dalam kondisi tersebut. Harus belajar mata kuliah yang sedang diambil sekaligus belajar matkul yang akan diremedial. Belum lagi tekanan psikologis dan ketakutan akan dideportasi bila tidak bisa memenuhi ECTS (sistem SKS Belanda) yang disyaratkan selama tahun pertama. Kendala utamanya jelas adalah bahasa, selain adaptasi dengan segala lingkungan dan sistem yang belum pernah kita hadapi di Indonesia. Termasuk saya. 

Saya sempat mengalami failed pada satu mata kuliah. Pada ujian pertama, saya mendapatkan nilai 5.41 ketika batas kelulusan adalah 5.5. Kalau di Indonesia mungkin sudah dikatrol biar lulus. Di sini 'kebaikan hati' jenis tersebut tidak mungkin terjadi haha. Akhirnya saya mengikuti remedial. Ternyata soal-soal remedialnya malah lebih susah, akhirnya saya mendapatkan 5.3. Dan KRS saya menunjukkan saya failed pada matkul tersebut dan terancam tidak bisa melaksanakan penelitian thesis tepat waktu dikarenakan matkul tersebut adalah syarat thesis.

Bahkan saya yang terbiasa berkutat dengan bahasa Inggris juga bisa terseok-seok akibat tidak biasa menggunakan bahasa Inggris di perkuliahan. Saya memang bisa menerjemahkan jurnal, tapi bukan berarti bisa semudah itu memahami materi perkuliahan, semudah bisa menggunakan bahasa Indonesia. 

Beberapa teman saya yang sebelum berangkat benar-benar 'menggenjot' dirinya untuk belajar IELTS agar bisa mencapai skor yang diperlukan, sangat jelas nasibnya. Terseok-seok di akademik, meski ketika S1 memiliki IPK yang cum laude. Nampak seolah dia bukan orang yang kompeten untuk bisa menempuh S2 di luar negeri, padahal masalah utamanya sebenarnya hanya ba-ha-sa. 

Maka setelah menjalani perkuliahan selama setahun di sini, saya bisa menyimpulkan bahwa perjuangan mengejar skor IELTS agar bisa 6.5-7.5 itu belum apa-apa dibanding perjuangan agar bisa lulus dengan selamat

Karena kampus mematok skor IELTS minimal 6.5 untuk jurusan eksakta (natural science) dan 7.0-7.5 untuk jurusan sosial adalah demi kebaikan mahasiswa itu sendiri. Untuk memastikan bahwa calon mahasiswa kelak akan mampu mengikuti perkuliahan dan menjalankan studi dengan baik. 

Percayalah, adaptasi terhadap apapun yang terjadi di sini, itu tidak bisa dipungkiri. Sebaiknya sebelum memutuskan studi di luar negeri, kita telah selesai dengan masalah bahasa. Jadi adaptasinya akan lebih mudah. 

Saya sangat salut pada teman-teman yang memutuskan untuk berkuliah di negara yang bahasa pengantar kuliahnya bukan English. Ada beberapa alasan mengapa sebagian teman saya memutuskan demikian, mostly karena merasa lelah untuk mengejar skor IELTS 6.5-7.0 sehingga ia memutuskan untuk mencari beasiswa/kampus di negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar perkuliahan. Karena biasanya beasiswa yang setipe ini akan meminta skor IELTS lebih rendah dari 6.5. 

Saya bisa bilang itu seperti suicide mission. Keren banget yang pada bisa survive, ga kebayang itu perjuangannya bagaimana. Kayaknya saya ga akan kuat deh kalau di situasi tersebut. 

Jadi saran saya bagi teman-teman yang masih 'kelewat' belepotan bahasa Inggris-nya, bersabar lebih lagi buat belajar sampai tuntas. Ga usah panik dikejar usia atau ingin buru-buru, karena apapun yang instan hasilnya ga akan bagus. Jangan hanya kejar target skor IELTS, tapi bagaimana kita mampu menggunakan bahasa Inggris sesuai kebutuhan. Studi magister akan sangat erat kaitannya dengan baca jurnal dan menulis paper. Maka bisa dibayangkan jika bahasa Inggris kita kelasnya hanya sekedar untuk bisa membaca caption instagram-nya 9GAG. 

Ga perlu sampe cas cis cus kayak bule baru berangkat, karena untuk bisa lancar berbicara itu perlu pembiasaan. Hal yang sekarang saya sesali adalah saya sering menyalakan English subtitle saat menonton acara-acara berbahasa Inggris di YouTube hahaha. Dan juga jarang latihan menulis dalam bahasa Inggris. Profesi saya sebagai guru bahasa Inggris tidak terlalu membantu untuk bisa cas cis cus karena tetap saja ketika mengajar bagaimana membuat kalimat dalam bahasa Inggris, saya menjelaskannya dalam bahasa Indonesia. 

Karena di Indonesia kita tidak pernah membahas matematika, biologi, fisika, dan kimia (misalnya) dalam bahasa Inggris, maka faktor ini akan menjadi challenge terbesar ketika berkuliah di luar negeri. Jadi, resiko untuk failed seharusnya bisa direduksi dengan sudah mampu menggunakan bahasa Inggris dengan baik dan benar. 

**********

Awal tinggal di Belanda, saya bertanya-tanya pada Allah, kenapa ya rejeki saya di tempat yang nggak ada mahasiswa Indonesia-nya. Satu per satu Allah jawab, dan salah satu hikmahnya adalah hari ini saya sudah mampu curhat dalam bahasa Inggris dengan teman baik saya, Sarka. Cukup leluasa, sehingga saya ga sekesepian ketika awal datang. 

Mungkin jika saya terus-terusan dikelilingi orang Indonesia, kemampuan speaking saya ga akan meningkat secara signifikan. Begitu juga yang dikatakan teman-teman saya yang berkuliah di WUR, di mana nyaris setiap saat pasti bertemu orang Indonesia.

Simpulannya kata orang Jawa mah: witing tresno jalaran soko kulino. Cinta datang karena terbiasa. 

Eeeaaa

**********

© @hermazulaikha | hermaz.blogspot.com

Venlo, 14 September 2019

Ditulis di tengah badai tugas paper

Semoga bermanfaat :) Mohon maaf bila ada salah kata yang kurang berkenan

Comments

  1. Wah Mbak Herma.. Makasih banyak sharing ceritanya. Sangat menggambarkan keadaan kalau sudah di LN bagaimana. Jadi harus lebih mempersiapkan diri lagi.
    Salam Kenal ya, Mbak. Saya Aih.
    Barangkali nanti mau mampir ke sini > rahmasafira.com hehe.. Tapi masih dalam tahap peningkatan

    ReplyDelete
    Replies
    1. halooo, sama2. Salam kenal juga. Sukses yaa persiapannya :)

      Delete
  2. wah sering sering nulis pulang jadi kumcer nih. serius , saya selalu asyik membaca tulisanmu herma.

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehe haloo makasih ya sudah baca. Ini siapa ya? haha. Salam kenal

      Delete

Post a Comment

Popular Posts