Renungan: Kalau Sudah Tiada

Kata teman-teman saya yang suka membaca tulisan-tulisan saya --baik yang di blog atau sekedar status-status media sosial-- gaya tulisan saya melankolis. Dan postingan kali ini mungkin baunya masih sama, cuma sedikit berbeda gaya membawakannya. Lagi pengen yang natural aja kayak di dunia nyata: cerita dengan ceplas ceplos, ekspresi yang lebaynya bikin orang sakit kepala, hingga terpesona dengan saya (oke yang terakhir ini emang dusta).

Ramadhan 1436 H, hari ketiga. Well, tulisan ini saya tulis pada jam usai tarawih. Usai berkontemplasi dengan diri dan kontroversi hati --mulai ngawur. Yang awalnya ngebuka file skripsi, nyatanya gaya-gayaan doang dan malah nyasar dimari. Selain untuk memenuhi tantangan dari FLP Chapter Bogor untuk 30 Days Non-stop Blogging, emang mulai sekarang sudah ber-azzam untuk setiap kali punya pemikiran, saya harus menuliskannya. Terserah mau di mana dan lagi apa atau dengan siapa --jadi kangen band gini-- pokoknya harus nulis aja. 


Kenapa? Karena habis mikirin dia. Eeeeaaa. Bukaaan, bukaaan, maksudnya habis mikirin yang berkaitan dengan masa depan. Hal yang berkaitan dengan judul di atas.

Ramadhan kali ini saya mencoba (kembali) bermuhasabah. Menata resolusi Ramadhan 1436 H yang harusnya semakin serius, semakin baik, semakin bermanfaat, berhubung usia sudah 22. Sudah memperbaiki diri sejauh apa. Sudahkah menjadi sebaik-baiknya manusia dengan cara apa. Sudahkah menetapkan tujuan hidup yang sinergis dengan tujuan Allah menciptakan kita (Adz-Dzariyaat: 56). Sudahkah mengurangi segala jenis bentuk maksiat yang biasa dilakukan. Sudah sejauh mana progress cita-cita mempersembahkan mahkota kehormatan di surga bagi bapak-mama nanti. 

Ah, kalau mengingat itu semua, rasanya berat. Beraaaaaattnya lebih berat daripada berat badan saya yang tak kunjung turun meski teraniaya tugas akhir --malah curhat.

Allah tidak main-main saat memutuskan untuk menciptakan kita. Allah sudah jamin dan tetapkan kapan kita lahir, dilahirkan dari orang tua yang mana, bagaimana rizki kita, siapa jodoh kita, dan kapan kita akan mati. Allah memang sudah menetapkan segalanya, tetapi Ia tetap memberi pilihan pada kita sampai sebelum mati: mau menjadi hamba-Nya yang baik atau sebaliknya.

Hanya sampai sebelum mati. Tetapi bukan pada detik-detik sakaratul maut.

Dan kita benar-benar tidak akan pernah tau kapankah malaikat maut akan datang menjemput.

Sungguh, Allah tidak main-main saat memutuskan untuk menciptakan kita. Tapi saya sendiri merasa... Ya Allah, sampai hari ini saya terlalu banyak bercanda dalam menjalani hidup yang Allah beri.

Belakangan ini saya sedang sering-seringnya mendapatkan broadcast dan kabar orang meninggal. Ada yang pada akhirnya harus kehilangan ayahnya, ibunya, adiknya, sanak saudara, kerabat, sahabat terbaik, dan lain sebagainya. Tapi pernahkah terpikir bila suatu hari nama kita yang dituliskan dalam broadcast tersebut? Disebutkan bahwa kita telah meninggal pada suatu pagi (atau siang, sore, malam) di suatu tempat dan disebabkan oleh entah sakit, kecelakaan, atau sebab-sebab lainnya. 

Saya sungguh penasaran, apakah teman-teman yang saat ini saya kenal akan bersedih kalau saya sudah tiada? Apakah mereka akan mendoakan saya? Apakah mereka sudi hadir untuk bertakziyah ke rumah orang tua saya untuk sekedar menghibur ibu dan adik-adik saya yang (pasti) sedang bersedih saat itu? Apakah mereka masih mau mengenang saya setelah saya tiada?

Saya sendiri sudah beberapa kali kehilangan orang-orang yang saya cintai karena meninggal dunia: bapak, seorang adik kelas di SMP yang berencana ingin melanjutkan sekolah ke SMA yang saya tuju agar kita bisa bersama lagi (tapi tidak jadi karena ia meninggal saat kelas 2), dan seorang teman dekat yang meninggal tahun lalu setelah kami punya mimpi untuk reuni di Prancis nanti. Mereka itu orang-orang baik. Saya saksikan semasa hidupnya dan setelah mereka pergi. Orang-orang masih mengenang kebaikannya dan kenangan-kenangan berharga bersama mereka. Apalagi bapak. Hingga saat ini, setiap kali saya mengunjungi makam bapak, makamnya selalu sudah bersih dan bertabur bunga. Tanahnya juga basah, pertanda ada yang belum lama mengunjungi dan menabur bunga serta air di sana. Betapa banyak orang yang amat kehilangan dengan meninggalnya bapak. Beberapa dari mereka sering sengaja ingin menemui saya meski tidak ada keperluan, hanya untuk sekedar memandangi wajah saya. Katanya, wajah saya persis wajah almarhum bapak.

Pun dengan almarhumah sahabat saya yang meninggal tahun lalu. Orang-orang bilang kami mirip. Baik wajah dan postur tubuh (meski kepribadian saya adalah cenderung ribut berisik alay, sedangkan beliau amat dewasa dan mempesona). Beberapa rekan kami sering tiba-tiba memeluk saya sambil berkata, "Kamu mirip banget sama beliau, Her. Kangen..."

Mereka tidak akan bersikap demikian jika bapak dan sahabat saya itu bukan orang yang berperilaku baik semasa hidupnya. Wajah saya memang mirip dengan bapak, begitu juga dengan sahabat saya itu. Orang-orang yang merindukan keduanya merasa semakin tersergap rindu ketika melihat saya, seolah kembali melihat mereka.

Tapi bagaimana jika saya yang benar-benar meninggal? Apakah orang-orang juga akan bersikap demikian?

Sedangkan sikap saya sering menyebalkan. Berkata ketus yang menyakiti hati orang. Keputusan-keputusan yang saya ambil sering mengecewakan orang banyak. Candaan yang sering saya lakukan, mungkin saja menggores hati orang lain. Hanya saja ia tidak bilang. Sering egois. Tidak sabaran. Keras kepala. Marah-marah. Buruk sangka. Dan masih banyak lagi hal-hal menyakitkan yang sadar atau tidak sadar sudah (bahkan sering) saya lakukan pada orang lain, termasuk teman-teman saya sendiri.

Bagaimana kalau saya sudah tiada ternyata yang dikenang adalah hal-hal tidak baik yang saya lakukan?

Allah... saya takut Allah enggan memaafkan karena orang yang saya sakiti juga tidak mau memafkan. Sedangkan saya tidak tahu siapa saja yang secara tidak sengaja saya sakiti. Dan lagi, saya tidak tahu siapa di antara kita yang akan tiada lebih dahulu. Ini bukan soal bagaimana kita di hadapan manusia, tetapi bagaimana Allah 

Mungkin mengapa Allah merahasiakan kapan kita mati adalah agar kita bisa terus bersemangat bekerja keras, tetapi beribadah seolah besok akan mati. Agar kita menghargai kebersamaan yang sudah atau sedang kita jalani, tetapi mampu ikhlas ketika ada yang harus pergi. Atau...

Agar kita semakin paham, bahwa kita lah yang membutuhkan Allah, bukan sebaliknya. Agar kita selalu mau datang kepada-Nya, sebab kita tidak pernah tahu takdir apa yang telah Ia tetapkan bagi kita.

Semoga Allah mau mengampuni dosa-dosa yang telah saya, kamu, dan kita semua lakukan. Semoga Allah membukakan hati-hati hamba-Nya untuk saling memaafkan. Semoga Allah senantiasa jadikan kita manusia-manusia yang mampu menjaga diri dari segala hal tidak baik. Semoga Allah menetapkan hati-hati kita tetap pada keimanan kepada-Nya.

Selamat saling mencintai. Selamat beribadah sepanjang usia. Sebelum 'sudah tiada'. :)
***
Ending yang kembali melankolis meski awalnya ngawur. Bantu saya menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama dengan memetik manfaat dari tulisan ini ya :)

3 Ramadhan 1436 H
Belajar memaknai bahwa setiap kita sebenarnya sungguh berharga
Dan akan selalu ada orang-orang yang menganggap kita berharga
Untuk itulah setiap muslim Allah jadikan bersaudara :)




















Comments

  1. Setiap orang punya orang yg sangat dia kasihi, dan setiap orang juga memiliki orang yang sangat mengasihinya. Walau jarang orang menyadarinya.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts