Angin dan Lampion

Semalam seseorang mengingatkan, pada suatu waktu di mana aku merenung dan mengambil pelajaran. 
Malam di mana kita menerbangkan sebuah lampion ke angkasa...

***


sebelum lampion terbang
Malam itu kita hanya berempat dari tiga belas. Kurang dari separuh kita yang hadir ke acara tersebut. Semuanya mungkin sedang punya prioritas selain menerbangkan lampion malam ini. Hei! Saat itu kita belum tau jika agenda malamnya adalah menerbangkan lampion bukan? Mungkin jika yang lainnya tahu, mereka akan hadir ya?


Ah, aku tidak tahu. Seseorang yang lain pernah berkata padaku, "Aku tidak suka berandai-andai, karena kita tidak pernah mengalami pengandaian itu."

Malam itu kita hanya berempat dari tiga belas. Jumlah yang sangat sedikit dan dimiriskan oleh orang-orang yang hadir malam itu. Tapi kita berempat menghabiskannya dengan tertawa dan berbincang. Saling mengenal dan mendalami satu sama lain. Andai semuanya hadir... ah, tidak jadi.


Kita tidak tahu kondisi yang kita andaikan, karena kita tidak pernah mengalami pengandaian itu. 

Kita berempat berdiri di halaman malam itu. Sudah tengah malam. Jaket saja tidak lagi menghangatkan tubuh-tubuh kita yang kedinginan. Tapi kita berempat saling menghangatkan malam itu. Kita berempat diamanahi sebuah lampion kertas berwarna merah, sebuah lilin, dan sebuah spidol.

harapan untuk Jaknas
Tugas kita adalah menuliskan pesan-pesan di lampion kertas yang rapuh itu, kemudian menerbangkannya. Apa isi pesannya? Semua yang kita harapkan terwujud bersama keluarga yang berisi 13 orang ini. Yang malam itu hanya empat orang yang datang.


Malam itu, sebenarnya sulit sekali untuk menerbangkan lampion. Angin yang berhembus terlalu kencang dan selalu memadamkan api yang dinyalakan pada bahan pembakar yang akan dimasukkan ke dalam lampion. Bukan hanya itu. Lampion kertas milik kita sudah sobek sejak awal. Tapi kita mensiasatinya agar lubang itu tertambal dan tidak mengganggu terbangnya lampion kita. Menulis di atas tubuh lampion itu pun butuh perjuangan, agar tinta yang ditumpahkan tidak merobek kertas yang sangat tipis itu. 

persiapan menerbangkan lampion
Api yang diletakkan di bawah lampion agar menerbangkannya juga beberapa kali nyaris membakar tubuh lampionnya sendiri. Beberapa kali juga, justru kita berempat yang nyaris terbakar. Oh ya, malam itu tanpa sadar kita harus melakukan siasat untuk menerbangkan lampion. Tidak bisa semuanya terlibat langsung dan memegang lampion. Seseorang di antara kami berempat mengomandoi bagaimana kita harus menerbangkan lampion merah itu. 


Seseorang itu mendengarkan ide-ide yang disampaikan kemudian merapikannya menjadi proses menerbangkan lampion. Tiga orang lainnya harus bersabar saat idenya belum dijalankan atau malah sengaja tidak dilakukan. Semuanya demi terbangnya lampion yang diamanahkan kepada kita berempat. 

Lampion mulai terkembang! :D
Beberapa lampion milik yang lainnya sudah mulai mengembang. Bersorak-sorak dan bersuka cita. Sedangkan milik kita masih saja sulit terkembang. Beberapa saat kemudian akhirnya milik kita pun terkembang. Tapi ujian tak berhenti sampai di sana. Ada komando tertinggi di mana kita belum boleh menerbangkan lampion yang sudah terkembang dengan api di dalamnya. Kita harus bertahan dengan memeganginya. Beberapa kali lagi-lagi lampion kita nyaris terbakar apinya sendiri. Api yang berkobar tertiup angin. Kita harus menjaga api tetap menyala, namun menjaga agar apinya tidak membakar lampion itu sendiri.


Tiba saat di mana komando mengatakan "Lepaskan lampionnya!" Dan kita melepaskannya dengan berbagai campuran rasa: haru, cemas, bahagia, dan berharap. Lampion berwarna-warni itu terbang mengangkasa, di bawah langit malam Bogor yang dinginnya membungkus tubuh-tubuh kita. Lampion milik kita juga terbang, tapi semua orang menertawakannya.

Karena lampion kita tersangkut di dahan pohon besar yang ada di halaman itu. Cukup lama tersangkutnya. Bahkan ketika lampion lainnya sudah cukup jauh mengudara. 

Tapi pada akhirnya lampion kita tertiup angin dan terbebaskan dari belenggu dahan. Dan hey! Ia justru melesat paling cepat! Saat lampion lainnya sudah terbang jauh, lampion kita menyusul dengan sangat cepat! Entah mengapa. Dan bahkan, ia terbang lebih jauh dan lebih tinggi dibanding lampion lainnya yang memulai penerbangannya lebih dulu.
***

Hari ini, tepat dua bulan yang lalu lampion kita diterbangkan. Apa kabar para penerbang lampion itu?

Mungkin lampion itu adalah sebuah pertanda. Bahwa di awal perjalanan akan banyak sekali rintangan yang kita hadapi. Mulai dari sobek sejak dalam kemasan, api yang nyaris membakar, hingga tersangkut di dahan pohon. 

Pagi hari, sebelum seseorang pulang lebih dulu
Kalian harus memahami bahwa setiap bagiannya sangat berharga. Harus ada yang menjadi kertas yang rapuh. Kertas rapuh yang justru adalah tubuh. Tubuh dari lampion yang akan diterbangkan. Harus ada yang rela menjadi bahan yang terbakar. Harus ada yang menjadi api untuk membakar semangat untuk terbang. Meski dengan begitu harus juga ada yang rela dan mampu menjaga agar api itu justru tidak membakar tubuh lampion itu sendiri. Jangan sampai ia membakar tubuh lampion dan meluluh lantakkannya karena tubuh lampion itu kertas yang rapuh. 



Harus juga ada yang sanggup menjadi kawat yang menguatkan kertas dan menjadikannya tubuh lampion yang sempurna. Harus ada lem dan benang yang merekatkan dan mengeratkan tubuh-tubuh lampion. 

Semuanya harus ada. Termasuk angin. Angin yang membantu lampion terbang. Angin yang tidak terlihat, tapi terasa kehadirannya. Membawa lampion terbang tinggi dan jauh. 

Angin tidak bisa kau tunggu kehadirannya, tapi ia selalu ada dan terasa. Angin yang kamu tidak akan pernah bisa melihatnya, karena ia bukan bagian dari lampionmu. Tapi ia akan membawa lampion itu terbang. Angin yang tidak peduli meski dicaci, ia tetap ada dan berhembus. 

Dan nyatanya, seseorang tetap harus menjadi angin bagi lampionnya. Memastikan lampion tidak tersangkut lagi di dahan pohon meski ia juga tak menjanjikannya. Setidaknya saat lampion tersangkut, ia akan berhembus agar lampion terbang lagi. Dan saat lampion terbang bebas tanpa hambatan, angin akan membawa lampion tetap terbang. Hingga pada saatnya, api sebagai bahan bakarnya habis.

Seseorang itu memilih menjadi angin. Sebab ia harus menjadi api yang menerangi di tempat lain, yang mungkin bukan lampion. Seseorang itu mau tidak mau harus rela menjadi angin. Angin yang kadang dicaci, dibenci, tapi tetap dibutuhkan. Ia rela karena ketentuannya begitu. Tetap harus ada yang menjadi angin.
Sebelum seseorang pergi lebih dulu dan menjadi angin


Dan seseorang itu adalah aku.
***

Kepada dua belas orang lainnya, biarkan aku tetap menjadi angin yang membawa doa mengangkasa. 
Semoga semuanya baik-baik saja. Segala dinamika yang ada akan membuat kita mengangkasa :)

Kebijakan Nasional BEM KM IPB 2015
***


Bogor, 5 April 2015

Ditulis dengan rindu yang terbawa angin




Comments

Popular Posts