Sepenggal Surga di Tanah Belanda

Bismillahirrahmannirrahiim...


"Saya bersyukur Allah pertemukan saya dengan Adek. Semoga ketemunya kita bisa jadi jalan buat saya jadi Muslimah seutuhnya sebelum bertemu ajal ya Dek." 

Wanita tersebut memeluk saya sebelum saya masuk ke bus yang akan membawa saya pulang. Ia belum beranjak dari tempatnya berdiri seraya melambaikan tangan hingga bus yang membawa saya pulang berbelok di pertigaan jalan.

----------
Sejak di Belanda, hobi merenung saya semakin menjadi-jadi. Apalagi karena tempat tinggal saya jauh dari mana-mana, saya jadi sering bepergian dengan kereta Belanda yang alamak nyamannya. Moga-moga suatu hari kelak Indonesia bisa punya sistem dan kereta sebaik Belanda, aamiin :)

Salah satu yang sering saya renungi adalah kenapa Allah taruh saya di Venlo, sebuah kota kecil yang jarang orang tau ada kota bernama Venlo. Ketika kampus saya sebenarnya adalah Maastricht University yang berlokasi di Maastricht, kenapa juga jurusan saya harus dipisah di Venlo? Kenapa saya dapatnya jurusan ini? 

Semakin tua, alhamdulillah target untuk 'Kurangi Ngeluh' pelan-pelan berhasil. Dan well, mengurangi ngeluh itu berdampak signifikan terhadap kemampuan kita dalam mensyukuri setiap takdir dan pemberian Allah, baik yang menyenangkan maupun yang berupa kesulitan/kesedihan. Mengurangi mengeluh juga membantu kita untuk bisa ikhlas, step awal untuk bisa menyadari hikmah dari setiap peristiwa yang Allah gariskan buat kita. 

"Dan kita hanya bisa menyadari hikmah dari apa yang kita alami kalau hati kita sudah bisa ikhlas terhadap peristiwa tersebut" (dari tulisan lama di Tiada Tuhan Selain Allah)

And it really works! 

Ketika saya bertanya-tanya perihal mengapa Allah mengirim saya ke Belanda dan menempatkan saya di Venlo, pelan-pelan Allah berikan jawabannya satu per satu. Salah satu yang sudah saya ceritakan di postingan sebelum ini (Jawaban dari Doa Seseorang) adalah adanya seseorang yang Allah jawab doanya melalui ketidakberdayaan saya untuk bisa pulang ke rumah saking jauhnya tempat tinggal saya dari mana-mana. Maasyaallah 'kan skenarionya? Andai saya tinggal di kota yang dekat ke mana-mana, mungkin malam itu saya ga perlu menginap mendadak dan saya ga akan bertemu Fatimah. 

Sekitar bulan November tahun lalu, saya pergi berbelanja ke Jumbo (nama sebuah supermarket terkenal di Belanda) di dekat rumah. Saya yang paling males keluar rumah karena males dandan ini akhirnya pergi dengan kerudung bergo, jaket buat menutupi kaos yang dipake tidur (dan dingin juga sih), dan muka kucel karena habis begadang.

Saat di Jumbo, tiba-tiba pundak saya ditepuk seseorang yang sambil mengatakan, "Masuk angin ya Dek?"

Seorang wanita Indonesia! Akhirnya ketemu orang Indonesia juga setelah terakhir ketemu manusia Indonesia itu cuma Elvira yang menemani dan membantu bawa barang-barang menuju Venlo untuk pertama kali. Itupun 3 bulan yang lalu (terhitung saat saya bertemu wanita Indonesia ini) :')

"Maasyaallah, saya berasa udah puluhan tahun ga ngomong Bahasa Indonesia. Saya pikir di sini ga ada orang Indonesia." pasti muka saya terharu banget waktu itu haha.

Wanita tersebut mengajak saya mengobrol sedikit. Mengatakan bahwa di kota kecil ini memang jarang sekali ada orang Indonesia. Kemudian beliau minta bertukar nomor ponsel dengan saya dan mengajak ngopi-ngopi ganteng cantik lain kali.

Sebut saja nama beliau Bu Risa (bukan nama sebenarnya). Beliau adalah penduduk Indonesia asli Bandung yang tumbuh di Surabaya 45 tahun yang lalu. Bu Risa menikah dengan seorang pria Dutch 26 tahun yang lalu dan sudah tinggal di Belanda sejak tahun 1995. Waktu itu saya masih belajar caranya jalan karena termasuk anak yang telat bisa berjalan #gapenting

Bulan Desember tahun 2018 yang lalu, Bu Risa mengirimkan pesan ke WhatsApp saya dan kami pun akhirnya bertemu di sebuah cafe di Centrum (kalo di Indonesia bisa dibilang alun-alun). Beliau menceritakan banyak hal: tentang bagaimana Belanda di tahun 1995, bagaimana sulitnya berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia pada waktu itu, hingga bagaimana sulitnya beliau menjaga ibadah paling dasar dalam Islam. Ya, sholat.

"Sedih saya Dek. Ada penyesalan saya kenapa dulu saya mau nikah sama dia (suaminya)," ada gurat sedih di wajah Bu Risa. "Iya dia dulu masuk Islam, tapi ya cuma bier bisa nikahin saya aja. Sekarang boro-boro sholat, saya sholat aja sering dimarahi dan terpaksa sembunyi2 atau curi2 waktu."

Rasanya saya ingin menangis saat pertama kali mendengar cerita beliau tentang perjuangannya menegakkan sholat dengan situasi yang beliau hadapi.

"Yaudahlah saya juga bingung harus diapain lagi dia. Saya cuma bisa berdoa supaya dia dan anak saya yang pertama diberi hidayah." 

----------

Setelah sekitar 6 bulan tidak mengikuti liqo karena belum mendapat kelompok, akhirnya saya kembali melaksanakannya pada tanggal 5 Januari awal tahun 2019 ini. Tahun baru diawali dengan liqo. Anak sholehah emang beda (aamiin ya Allah haha). Di hari tersebut pula Bu Risa tiba-tiba kembali menghubungi saya setelah bertemu sekitar satu minggu sebelumnya.

"Dek, bisa ajarin saya mengaji?"

Saya kaget. Perasaan campur aduk menjadi satu. Memang dasar manusia yang segala hal biasa dipersiapkan, saya yang belum pernah mengajar mengaji mulai merasakan kepanikan. Iya sih saya bisa ngaji, tapi saya ga bisa ngajar. Saya cuma tau bagaimana cara membaca dan aturan tanda baca dalam Al Qur'an, tapi banyak lupa nama-namanya. Akibat banyak dosa hiks

"Bu, saya alhamdulillah bisa ngaji. Tapi saya belum pernah ngajar ngaji. Saya takut salah Bu." jawab saya setelah memilih kata-kata yang pas untuk menyampaikan pada beliau. "Atau Ibu mau saya carikan guru Al Qur'an?"

"Saya maunya sama Adek."

Kereta yang saya tunggu untuk pulang pun tiba. Saya memasuki kereta tanpa membalas pesan Bu Risa. Bahkan dalam 40 menit kemudian hingga saya tiba di stasiun Venlo masih belum saya balas. Beliau mengirim pesan lagi.

"Waktu ketemu Adek minggu lalu, saya senang banget. Saya ga bohong. Akhirnya saya bisa ketemu anak sholehah setelah sekian lama ga ketemu orang seperti Adek."

Bu Risa is typing...

"Begitu lihat Adek, saya semakin pengen pake jilbab dan pakaian seperti Adek. Dan saya pengen bisa ngaji. Gatau kenapa, saya ada keyakinan bahwa Adek bisa ngajarin saya ngaji."

Saya masih membaca.

"Saya itu udah tinggal di Belanda 24 tahun. Ga pernah ada kesempatan buat belajar ngaji karena guru ngaji terdekat adanya di Eindhoven dan saya selalu dilarang suami buat belajar ke sana. Begitu ketemu Adek kemarin, saya jadi ada harapan lagi."

"Adek, kita bisa ketemu dan saling kenal itu juga Allah yang mempertemukan 'kan ya?"

Mana mungkin saya tega nolak permintaan seperti ini 'kan? Akhirnya saya menjawab pesan-pesan beliau dengan Basmalah, saya akan mencoba membantu beliau. Besoknya dengan kepanikan yang melanda, saya menghubungi Cindy, salah seorang sahabat saya yang juga pernah menjadi guru tahsin saya waktu di kampus.

"Ma, diterima aja permintaan Ibu-nya. Kadang ya, saat kita punya niat melakukan suatu kebaikan, kalo Allah ga ridho ya kita ga jadi-jadi juga ngelakuin kebaikan tersebut. Aku pernah kayak gitu Ma," kemudian Cindy bercerita soal pengalamannya bagaimana ia sangat ingin menolong seseorang, tapi selalu ada saja penghalangnya untuk bisa menjalankan niat baiknya tersebut.

"Jadi mikir kan, dosa apa ya Allah sampe ga bisa-bisa juga melaksanakan niat baik. Nah ini kan disodorin langsung sama Allah jalannya ya Ma, gapapa diambil aja Ma. Itung-itung sekalian jadi belajar lagi kan. Jariyah banget itu."

Satu minggu setelah saya berkomunikasi dengan Cindy, saya mengirim pesan kepada Bu Risa.

"Ibu, periode ini saya cuma ada kuliah tiap Senin, Rabu, Kamis. Selain hari itu insyaallah bisa nemenin Ibu belajar ngaji." 

Saya masih kurang nyaman dengan istilah 'mengajar mengaji', sebab kemampuan saya dalam membimbing membaca Al Qur'an masih jauh dari kata layak. Singkat cerita, akhirnya pada tanggal 23 Januari 2019 saya sepakat untuk mengunjungi Bu Risa di rumahnya. Hari itu salju turun sangat lebat sejak malam sebelumnya. Jalanan dipenuhi tumpukan salju, suhu udara mencapai minus satu.

Saya memutuskan untuk berjalan kaki menuju rumah Bu Risa yg berjarak 4,5 Km dari tempat saya tinggal karena saya belum mahir mengendarai sepeda di atas jalanan bersalju yang licin. Berbahaya bagi amatir. Untuk naik bus juga rasanya sia-sia, karena berdasarkan google maps, saya masih perlu berjalan sekitar 1,2 Km dari bus stop terdekat ke alamat rumah Bu Risa.

Selama berjalan kaki, pikiran saya berkelana. Membayangkan bagaimana ustadz Rahmat Abdullah dahulu berjalan ke pelosok-pelosok daerah untuk mendakwahkan dan mengajarkan Islam. Mengingat bagaimana ustadz Abdul Somad bercerita bahwa beliau rela berdakwah masuk dan keluar hutan. Saya jelas tidak sebanding beliau, tapi saya senang Allah telah memberi saya kesempatan yang serupa dengan beliau-beliau yang saya idolakan.

Jalan menuju rumah Bu Risa, Venlo
Sepulang dari menemani Bu Risa belajar mengaji, saya mengenang bagaimana sulitnya beliau menghafal rangkaian huruf-huruf hijaiyah. Saya teringat bahwa almarhum Bapak juga belum bisa membaca Al Qur'an sampai beliau wafat. Bapak adalah anak yatim piatu sejak usia sangat belia. Belum genap meneguk air susu ibu selama 2 tahun, ibunda Bapak meninggal saat beliau berusia satu tahun. Kemudian ayah beliau juga meninggal saat Bapak duduk di kelas 6 SD. Tanpa bimbingan orangtua, masih syukur Bapak tidak berperilaku buruk hingga bisa dipertemukan dengan wanita yang membimbing dan mengajarinya untuk melaksanakan sholat; Mamaku.

Ada rasa sesal mengapa dulu tidak membantu Bapak belajar mengaji. Tapi apalah dayaku, Bapak pun meninggal saat usiaku masih 18 tahun. Bapak mungkin malu jika harus belajar dengan anaknya yang masih remaja. Bacaan shalat saja diam-diam beliau hafalkan melalui transliterasi latin buku bacaan sholat.

Semoga dengan menemani Bu Risa melajar mengaji, Bapak tercatat memiliki anak yang mewakili kewajiban mengajarkan Al Qur'an kepada sesama hamba-Nya. Semoga...

----------

Betapa kemudahan kita beribadah di Indonesia selama ini adalah sebuah nikmat yang tiada duanya. Sebuah nikmat yang ternyata belum bisa dinikmati oleh Muslim di belahan dunia lainnya. Betapa kita sering menyia-nyiakan nikmat tersebut, ketika saudara kita yang lainnya berjuang dan bersusah payah untuk menjaga ketaatan kepada-Nya.

Semoga Allah memberikan hidayah kepada suami dan keluarga Bu Risa, agar menjadi jalan kemudahan bagi beliau untuk beribadah kepada-Nya.

Ya Allah, terima kasih sudah mengirimku ke Venlo. Sebuah kota kecil yang semoga kelak Engkau berkenan menjadikannya sepenggal surga di tanah Belanda, dengan menjadikan keluarga Bu Risa keluarga yang taat kepada-Mu. Aamiin...

----------

Ditulis di Venlo dengan segenap rindu kepada Bapak

Venlo, 12 Juni 2019











Comments

  1. warbiyassah.
    inspiring.
    izin share, teh.
    semoga ibunya tetap dipertemukan dgn teteh2 amazing magnificent seperti teh herma amminnn. 😁

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts