Jawaban dari Doa Seseorang




"Prayers are the very highest energy of which the mind is capable"
Samuel Taylor Coleridge 


Kamu percaya ga, kalo cara Allah menjawab doa, kadang caranya unik? Ga ketebak. Dengan skenario sempurna yang kadang melibatkan hamba-hamba-Nya yang lain. 

Hari itu adalah hari pertama saya bergabung dengan BPH PPI Belanda dan melaksanakan rapat staffing di rumah salah satu kepala departemen di Leiden. Jarak tempuh antara Leiden dan Venlo (kota tempat saya tinggal) adalah 3,5 jam perjalanan kereta. Kurang lebih seperti perjalanan Jakarta-Tegal ya. Maklum orang pinggiran. Segini keretanya Belanda yang mirip dengan Shinkansen (keretanya Jepang). Ketika kereta tersebut melintasi stasiun, deru lajunya mengerikan. Ga kebayang kalo ketabrak kereta tersebut. Pantes lintasan kereta Intercity (jenis kereta di Belanda untuk perjalanan lintas kota/provinsi) sering dijadikan lokasi pilihan terfavorit buat bunuh diri. 

Nggak, saya ga ada niat ke arah sana. Agamanya masih setengah, pengen lengkap dulu #eh hahaha. Astaghfirullah, naudzubillahimindzalik

Iya, lokasi saya tinggal berbatasan langsung dengan Jerman. Bahkan saya bisa cuma naik sepeda sekitar 45 menit saja sudah masuk ke kota Kaldenkirchen yang sudah bagian dari Jerman. Giliran ke Amsterdam yang ibu kota Belanda sendiri malah 2,5 jam kereta. Kadang hidup emang suka bercanda #apasi

Lanjut. Saya minta izin kepada teman-teman BPH apabila rapat belum selesai hingga pukul 8.30 malam, saya izin pulang karena kereta terakhir dari Leiden ke Venlo adalah pukul 09.45 PM. Saya menargetkan untuk naik kereta kedua terakhir pada pukul 09.15 PM dan akan tiba di Venlo pada pukul 12.45 dini hari. Udah biasa jadi ukhti-ukhti alim (anak liar malam) saya ga ada lagi perasaan takut pulang larut malam. Sewaktu di Indonesia pun saya sering baru sampai rumah jam 1 dini hari karena baru selesai mengajar di Jakarta pukul 8 malam. Masih mending kan di Belanda ga ada begal.

Paling pembunuhan di sungai dekat kosan hahaha *ketawa datar. Atau orang2 mabuk berkeliaran di jalanan sambil menghisap ganja. 

Kembali ke soal rencana saya pulang. Alhamdulillah, rapat selesai tepat pukul 8.30 PM dan saya bergegas pulang. Sekjen PPI Belanda, Atika, mengajak saya untuk jalan bareng ke stasiun karena doi juga mau pulang ke tempatnya di Rotterdam. Oke, kami berdua jalan bersama sambil ngobrol haha-hihi diiringi nafas Atika yang terengah-engah karena harus mengikuti langkah kaki saya yang lebar-lebar haha. Mohon maap ya Tik.

Sesuai prediksi dan rencana, saya tiba di stasiun pukul 9.12 PM. Seharusnya saya masih sempat tiba di peron kereta menuju Venlo. Tiga menit untuk urusan perkeretaan di Belanda sangatlah berarti. Sejak tinggal di sini, koordinasi otak, mata, dan kaki saya semakin seperti ninja. Saya bisa bergerak super cepat, navigasi saya terhadap stasiun-stasiun semakin canggih. Tiga menit itu masih cukup untuk melompat ke dalam kereta, nyari bangku bisa nanti.

Namun qadarullah, entah gimana ceritanya peron kereta yang saya perlukan diubah ke peron lain. Pengumumannya juga dalam bahasa Belanda, namun saya sudah bisa menerka dari beberapa kata. Dan yak, belum rejeki akhirnya saya ga dapat kereta tersebut. Saya memutuskan untuk naik kereta terakhir dengan resiko akan sampai di Venlo sudah jam 1 dini hari.

Hari itu seolah saya benar-benar dicegah untuk pulang ke Venlo. Kereta terakhir mendadak dibatalkan, sehingga tidak ada lagi kereta yang bisa membawa saya pulang. Saya mencoba mencari opsi dengan transit ke kota lain demi mencari kereta menuju Venlo. Juga tidak ada. Semua kereta menuju Venlo dibatalkan. Oh meeen

Akhirnya Atika menawarkan untuk menginap di tempatnya saja. Dengan mood yang berantakan karena tidak membawa persiapan menginap, saya putuskan untuk ikut pulang ke kosan Atika di Rotterdam. Iya, mood saya mudah rusak kalau saya ga bawa sikat gigi dan baju ganti saat mau menginap di rumah orang lain haha. Tapi tetep, ini lebih baik dibanding ngebayangin tidur di stasiun. 

Kami tiba di kosan Atika sekitar 1,5 jam kemudian. Saya menemukan kenyataan bahwa Atika dengan ilegal menyelundupkan sesosok manusia bernama Fatimah; yang kemudian menjadi salah satu sahabat saya. Haha

Fatimah adalah salah satu mahasiswi Indonesia di Erasmus University Rotterdam yang sedang menempuh  studi S2-nya seperti saya. Namun Fatimah memulainya lebih dulu yaitu di tahun 2017. Seharusnya Fatimah sudah harus lulus tahun lalu (Agustus 2018) karena programnya hanya satu tahun, berbeda dengan program saya yang dua tahun. Qadarullah, bagian dari rezekinya, Fatimah harus extend atau memperpanjang masa studinya dikarenakan suatu kendala akademik. 

Meski kasus extend di sini tidak bisa dibilang sedikit, menghadapi extend di sini adalah ujian yang sangat menguras mental dan sumber daya. Bagaimana tidak? Sebagai penerima beasiswa LPDP, kontrak Fatimah dengan LPDP hanya tepat selama 12 bulan. Tanpa mendapatkan uang saku, Fatimah harus menyambung sendiri kehidupannya di sini. Tuition fee yang harus dibayarkan juga tidak main-main besarnya dan tidak lagi ditanggung oleh LPDP atau beasiswa manapun yang bukan LPDP. Belum lagi masih harus menyelesaikan urusan2 akademik yang menjegalnya. 

Sampai sini bisa dibayangkan bagaimana perasaan Fatimah?

Beruntung Atika bersedia membantu Fatimah dengan mengizinkannya tinggal bersama; setidaknya Fatimah tidak harus memikirkan biaya tempat tinggal. Biaya housing di kota2 besar cukup sadis untuk membuat mahasiswa mengorbankan keperluan nutrisinya demi tidak tinggal di kolong jembatan *sekalian curhat. Hahaha. Untungnya Venlo ga semahal kota2 besar seperti Amsterdam, Den Haag, Rotterdam, dkk sih. Tapi cukup mahal untuk ukuran kota kecil di perbatasan Jerman. Mungkin karena Venlo termasuk kota industri. 

Sebelum Fatimah menceritakan masalahnya, saya ga menyangka ia sedang menanggung beban dan kesulitan sebesar itu. Ia tetap ceria dan menyambut saya dengan ramah. Kami banyak mengobrol dan bercanda seperti teman lama, padahal kami baru berkenalan. 

Saat Atika sudah tewas, Fatimah dan saya masih melanjutkan obrolan. Kami membicarakan banyak hal, sampai hal sesensitif urusan asmara #uhuk. Sampai pada satu titik, Fatimah menceritakan masalah yang sedang dihadapinya sedetail mungkin. Saya yang mendengarnya sampai bingung mau berkata apa. Saya membiasakan diri untuk tidak mengucapkan kata "Sabar ya" saat ada yang sedang menceritakan kesulitannya. Karena it sounds non sense dan menyebalkan bagi saya. 

"Menurut kamu, aku harus apa Herma? Aku harus bagaimana? Aku udah depresi parah, sampe aku sering berpikir hal2 buruk. Di satu sisi ini berat banget, di sisi lain aku masih mau selesai juga."

Suara Fatimah mulai bergetar menahan tangis. Matanya juga tampak lelah; selain karena mengantuk pastinya karena saat itu jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Saya menahan diri dari kalimat-kalimat motivasi; yang saya juga benci mendengarnya ketika saya dalam kesulitan. 

"Yang pertama, aku ga akan memotivasi kamu buat kuat dan bertahan ya Fat, karena itu satu2nya pilihan yang bisa kamu lakukan dan aku yakin kamu udah tau itu. Aku yakin juga kalo kamu sebenernya udah punya solusi dari masalah kamu, kamu ga sepenuhnya bingung. Kamu cuma perlu dikuatkan supaya ga goyah dan yakin dengan jalan yang kamu mau tempuh." 

Saya mencoba memilih kalimat sesederhana mungkin. Fatimah mengangguk, kedua matanya mulai memerah. Entah karena mengantuk atau menahan tangis.

"Yang kedua, kamu harus tau kalo sekecil apapun hal yang terjadi dalam hidup kita itu sudah Allah gariskan buat kita. Aku tau ini kedengeran biasa aja, ga solutif. Kamu mungkin udah sering denger dari ceramah2 motivasi, ESQ, atau apalah itu. Tapi dengan menyadari, memahami, dan bisa menerima bahwa masalah itu datangnya dari Allah, setidaknya kamu akan sepenuhnya sadar bahwa solusinya juga harus dimintakan kepada Allah."

Saya mulai takut dengan kata2 saya sendiri. 

"Dan yang terakhir, ga pernah ada salahnya kita buat selalu mengevaluasi diri. Dosa apa yang udah kita perbuat sehingga Allah kasih kita kesulitan yang rasanya buntu. Gimana ibadah dan hubungan kita ke Allah sehingga kok rasanya kesulitan ga juga ada ujungnya."

Air matanya mulai menetes; Fatimah mencari tisu. Saya hanya membagi pengalaman saya dalam situasi2 tersulit. Saya rasa, tidak seberat yang Fatimah alami. Belum tentu saya juga sanggup jika harus menghadapi situasi seperti yang ia hadapi. Kami lanjut mengobrol hingga sekitar pukul 3 dini hari. Sebenarnya masih banyak yang ingin kami bicarakan, namun kami menyimpan tenaga agar bisa sholat shubuh sekitar jam 5.30 AM. 

Sekitar 2 atau 3 minggu setelah pertemuan kami, saya kembali mengunjungi Fatimah untuk merayakan kelulusannya. Alhamdulillah, Fatimah dinyatakan lulus dan bisa segera kembali ke Indonesia. Apalagi ia juga mendapat undangan tes dari sebuah perusahaan BUMN yang ia sempat mendaftar. Saya mengajaknya naik bianglaha SkyView Rotterdam. Rusak sudah suasana romantisnya hahaha

SkyView Rotterdam, Rotterdam Blaak
"Herma kamu tau nggak, pas kita ketemu sebelumnya itu aku udah dalam kondisi depresi banget," kata Fatimah ketika kami berjalan menuju SkyView Rotterdam, sebuah bianglala yang menjadi salah satu landmark kota Rotterdam. Saya meminta Fatimah untuk menemani saya naik bianglala sebelum ia pulang ke Indonesia. 

"Beberapa hari sebelum ketemu kamu, aku udah sempet bikin jadwal untuk ketemu sama psikolog. Tapi qadarullah jadwal kita belum cocok. Jadi belum sempat ketemu."

Saya menyimak sambil menggosok kedua tangan yang mulai kedinginan. Musim gugur segera berakhir dan suhu semakin turun menyambut musim dingin. 

"Aku terus berdoa sama Allah buat dikasih solusi dan ketemu sama orang yang bisa ngingatin aku buat kembali ke Allah. Aku lebih butuh orang yang paham agama dan bikin aku semakin tersadar buat minta pertolongan Allah. Bukan sekedar orang yang paham psikologi."

Kami berdua berhenti untuk mengantri di loket karcis.

"Dan makasih banyak ya Herma. Allah menjawab doaku itu lewat kamu."

Saya tersenyum, bingung mau berkata apa. Rasa bahagia, bingung, bercampur juga dengan takut. Saya hanya berkata, "Inget pesen aku ya Fat. Mulai sekarang, jangan lupa istikhoroh ya. Apapun urusannya, sesepele apapun kelihatannya, melibatkan Allah di dalamnya akan membuat kita ga kecewa. Insyaallah. 

"Sesepele hari ini kita mau naik bianglala, hari ini aku istikhoroh dulu. Dan aku mantap mau naik bianglala sama kamu."

"Ya kan jomblo, emang mau naik sama siapa lagi kalo bukan sama aku?" sahut Fatimah. Kami tertawa. Lebih tepatnya saya menertawakan diri saya sendiri #hloh hahaha


----------
Betapa Allah mencintai Fatimah hingga harus membuatku tak bisa pulang hari itu untuk menjawab doanya selama ini. Betapa Allah mencintaiku dengan membuatku tersadar bahwa di titik terlemah diri ini pun, aku masih punya manfaat. Dalam kondisi aku merasa tidak berguna pun, Allah pertemukan aku dengan Fatimah untuk memberitahuku bahwa aku masih bisa berguna.

Semoga Allah berkenan mengampuni hamba-Nya yang sering meremehkan dirinya sendiri ini. Padahal diri ini pun adalah ciptaan-Nya.

----------
PS: tulisan ini telah mendapatkan persetujuan dari Fatimah untuk dibagi ^^

Venlo, 27 April 2019


Ditulis dengan menahan rindu kepada tanah air
Eropa yang indah tidak bisa memberi kenyamanan sebuah rumah
Dan rumah tetaplah Indonesia





























Comments

Popular Posts