(Tiada) Tuhan Selain Allah

Bismillahirrahmannirrahiim..

Ini judul pertama agak berat dari topik-topik tulisan saya selama ini. Tulisan saya selama ini berkisar tentang pengalaman pribadi, atau pandangan-pandangan pribadi saya terhadap suatu fenomena atau kejadian dalam kehidupan manusia *halah apaan sih sok bener.

Bismillahirrahmannirrahiim..

Kenapa tiada-nya dikurungin? Nyontek penulis-penulis kece di luar sana, biasanya suatu kata dalam kalimat yang diletakkan dalam tanda kurung, dimaknai sebagai kata tersebut bisa ada, bisa juga tidak ada dalam kalimat tersebut. Kayak buku pertama Azhar Nurun A'la yang berjudul Ja(t)uh, beliau seolah ingin menyampaikan bahwa judul tersebut adalah tentang Jatuh dan Jauh.

Bagi seorang muslim, Tiada Tuhan Selain Allah adalah arti dalam bahasa Indonesia dari lafadz Laa ilaha ilallah. Sebuah kalimat dengan makna dahsyat, yang selalu diucapkan dalam sholat-sholat kita. Makna bahwa kita mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan. Bagi umat agama lain pun, mereka pasti meyakini bahwa satu-satunya Tuhan adalah yang disembahnya.

Tapi tulisan ini tidak akan membahas terkait "Tuhan yang mana lantas yang benar-benar Tuhan?" Bahkan kotoran kuku ulama pun belum cukup menggambarkan seuprit-nya ilmu yang saya punya. hiks

Fyuh, sesungguhnya agak berat dan cukup bingung bagaimana saya harus memulai tulisan ini. Berhubung pikiran ini sudah lama bergelayut, tulisan ini pun sudah lama membuluk (bahasa apa ini) lama di folder draft. Maka dengan keyakinan dan memohon keridhoan Allah SWT, saya bertekad untuk menyelesaikan tulisan ini.

Bismillahirrahmannirrahiim..

Bier afdhal, basmalahnya tiga kali ya. Oke kita mulai.

-------

Saya yang gede, Elvira yang kecil. Kali aja belum tau.
Hari Sabtu lalu, saya menghadiri Info Day dari University of Queensland di Fairmont Hotel, Jakarta bersama sahabat saya, Elvira. Awalnya, saya berencana tidak jadi hadir ke sana setelah tau El pergi sudah bersama temannya yang bernama Hadiana. Bukan karena cemburu sih, saya sedang kurang sehat karena belakangan ini kurang olahraga dan banyak kerjaan *what an excuse.  Dan karena El bilang ada temannya yang akan ikut, saya cukup tenang andai saya tidak jadi pergi karena El tidak sendirian. Tapi ternyata El sedih, kecewa, sakit hati (lebay, El mah baik hati ya El.haha) kalau saya tidak jadi datang dan El memohon agar saya tetap hadir.

Okelah, sampai jam 9.30 saya masih pakai baju tidur karena baru selesai beberes rumah, sedangkan El sudah di perjalanan. El pasti udah cantik, sedang saya masih bau ketek. El udah di kereta, sedang saya baru jalan ke kamar mandi dengan lunglai. El mengiming-imingi saya kalau di acara tersebut ada Admission Board yang memungkinkan kita melakukan pendaftaran. Ga ngefek sih sebenernya, karena saya udah punya kampus idaman di negeri lain. Saya kan tipe setia gitu, ga mudah bergeming sebelum disakiti. Akhirnya saya berangkat, just because I feel nggak tega sama El dan udah pernah janjian juga.haha

Setiba di sana, saya menemui El yang sedang berkonsultasi dengan Faculty Representative dari UQ setelah saya melewati serangkaian drama bersama abang gojek yang bikin make up saya luntur tersengat panas Jakarta --padahal gatel-gatel kalo make alas bedak. Saya bertanya pada El, mana temannya yang ikut tadi. El menunjuk seseorang yang tinggi, nggak pake kerudung, dan jenggotan.

Ternyata itu Mas Hadi, bukan Mbak Hadiana -____- Pantesan El bersikeras saya harus datang ke sana.haha. Meski kami sesama alumni IPB, seangkatan pula, kami nggak pernah kenal waktu jadi mahasiswa *ketauan kurang gaul. Pun dengan El sendiri. Padahal saya taunya Mas Hadi itu temennya El. Nah lho.

Singkat cerita, waktu El sibuk tebar jaring(an) ke Mbak-mbak panitia yang alumni UQ, Mas Hadi ngobrol dengan saya. Lupa sih awalnya gimana, intinya Mas-nya cerita kalo beliau sedang memperjuangkan cita-citanya untuk melanjutkan S2 ke luar negeri. Beliau sedang menghadapi dilema-dilema anak muda dalam perjuangannya*apaan sih. Sampai di satu waktu, Mas Hadi bilang, "Kan ada tuh ungkapan, 1% ide usaha 99%. Mungkin usaha saya belum maksimal."

Saya cukup terhenyak, ketika Mas Hadi mengatakan kalimat tersebut. Mungkin usaha saya belum maksimal. Padahal dari apa yang diceritakan beliau, Allahumma, saya belum pernah sengoyo dan sekuat itu dalam memperjuangkan sesuatu. Entah standar kita yang beda, apa saya kelewat nyantai, atau entahlah. Ada yang kurang sesuai bila kalimat itu diucapkan oleh seorang muslim. Menurut saya.

"Hmm...okelah, itu mungkin pemikiran Barat, karena saya pernah baca kalimat itu diucapkan sama Thomas Alva Edison. Tapi saya sebagai muslim lebih suka menilai mungkin doa saya kurang khusyuk, kurang mintanya sama Allah," kata saya menanggapi Mas Hadi. "Buat saya, usaha itu cuma 'pemanis', bukan yang paling utama."

Mas Hadi keliatan terperangan dengan pernyataan saya. "Wah, gimana gimana tuh Mbak? Kok bisa?"

Sebenarnya saya gemetaran kalau mau menyampaikan pemikiran saya terkait hal ini kepada orang lain. Saya masih takut menyesatkan orang lain karena minimnya ilmu saya. Kalau saya mendengarkan kajian, saya hanya paham intinya. Lupa ayat berapa yang dijadikan rujukan oleh sang ustadz, hadits-hadits yang dipakai riwayat siapa aja, astaghfirullah. Kebanyakan dosa kayaknya (pastinya).hiks

Tapi ya, jika niatnya kebaikan, saya selalu berdoa semoga Allah menolong saya dalam berkata-kata. Semoga bukan kata-kata yang sesat.

"Bagi saya, usaha yang mastatho'tum atau semaksimal-maksimalnya yang kita bisa, itu cuma 'pemanis' buat di hadapan Allah. Cuma buat 'meyakinkan' Allah kalau kita nggak main-main dengan harapan-harapan yang kita sebutkan dalam doa. Kan nggak lucu, kalo ada orang lapar butuh makan, seharian berdoa doang tanpa ada upaya. Berharap ada sebungkus nasi Padang jatuh dari langit. Mungkin kalo levelnya iman sahabat, bisa aja. Meski jalannya juga bukan nasi jatuh dari langit. Entah tiba-tiba ada yang nganterin kah, ada yang ngajak makan dan ditraktir kah. Tapi emang level iman kita sama ama sahabat?

Doa itu tetap senjata utama seorang muslim. Usaha, mencari jalan keluar dan solusi, sambil berharap Allah tunjukkan jalan. Meski kadang jalan yang Allah kasih nggak sesuai yang kita harapkan, bayangkan, atau rencanakan. Tapi percaya, kalo udah Allah langsung yang milihin, Allah langsung yang ngasih, kita bakal sadar bahwa diri kita itu terlalu sok tahu ngatur-ngatur Allah kita maunya gimana.

Dan kita, hanya bisa menyadari hikmah dari apa yang kita alami kalo hati kita udah bisa ikhlas terhadap peristiwa tersebut."

Habis ngomong saya nyari air minum. Kehausan. Tapi nggak nemu air.hiks

Mas Hadi kelihatan syok. Seperti baru mendengar pernyataan sejenis itu. Tapi mungkin bukan baru pertama kali mendengar, hanya biasanya manusia punya respon perasaan yang berbeda-beda terhadap suatu pernyataan yang (bahkan) sama, tergantung kondisinya saat itu.

"Tau nggak sih, belakangan ini, sampai saat mau berangkat ke sini, pikiran saya tuh lagi 'berkecamuk'. Ibarat langit, awannya lagi gelap-gelapnya, dan sekarang setelah mendengar kata-kata tadi mataharinya kembali bersinar," kata Mas Hadi. "Ibarat kapal, tadi itu kapal saya lagi diamuk badai, terombang-ambing ombak laut, dan sekarang anginnya udah tenang lagi."

Ini yang alay saya apa Mas Hadi deh. Kurang lebih redaksinya begitu lah. Saya belum pernah menerima 'ucapan terima kasih' se-alay itu dari orang yang baru kenalan.hahahaha *ampuni saya, Mas Hadi.

"Maaf ya Mas, saya jadi banyak nyerocos begini." Baru sadar, saya kebanyakan ngomong dari tadi, padahal ketakutan. Takut apa yang saya sampaikan sangat tak berdasar.

"Nggak papa, senang bisa sharing dan dapat ilmu. Allah kan selalu punya maksud untuk mempertemukan manusia satu dengan lainnya."

Tsaaahh banget kata-kata penutup diskusinya. Kemudian El nimbrung, "Apaan sih ngediskusiin apaan tadi?" El tengak tengok, minta diulang kata-katanya. Tapi mulut saya udah pegel.hahaha maaf ya El.

---------

Well, mohon maaf untuk Epilog yang cukup panjang. Lantas, apa hubungannya dengan judul tulisan yang 'wicked' ini?

Waktu saya SMA, saya inget Teteh  pernah membawakan materi liqo tentang 'Makna Laa ilaha ilallah'. Materi itu salah satu materi yang paling berkesan sampai hari ini (sudah 8 tahun berlalu sejak materi tersebut disampaikan). Salah satu maknanya adalah 'Allah adalah satu-satunya tempat meminta pertolongan'.

Masuk usia 24, rasanya justru lucu kalau hidup datar-datar saja tanpa ada masalah. Waktu SMA dan kuliah mungkin kalau lagi ada masalah curhat ke temen itu cukup melegakan. Tapi setelah usia segini, rasanya masalah yang ada terlalu kompleks untuk disampaikan ke orang lain. Dan saya pribadi sih yakin, teman-teman terdekat saya dulu pun pasti sedang menghadapi problematika kehidupannya masing-masing. Apalagi salah satu sahabat terdekat saya adalah tipe yang langsung action dan berupaya membantu saya jika dia tahu saya menghadapi masalah. Meski dia sendiri juga sedang kesusahan. Jadi, kenapa saya harus menambah beban mereka?

Dan benar. Dalam kondisi-kondisi paling sulit, hanyalah Allah yang bisa membantu kita. Bukannya melarang curhat ke orang lain sih, saya pribadi juga masih butuh teman curhat. Toh bisa jadi, pertolongan Allah juga kan datangnya dari orang lain. Mungkin solusi yang mau Allah kasih juga datangnya dari teman curhat. Tapi, udah minta tolong dulu sama Allah belum? Ya kali minta Allah peka sama kita, minta ditolong tapi nggak bilang.hahaha

Mungkin itu ya enaknya nikah, bisa curhat *minta dibunuh. Becanda.

(Tiada) Tuhan Selain Allah.

Kita, umat muslim tau bahwa kalimat itu adalah terjemahan dalam bahasa Indonesia untuk Laa ilaha ilallah. Tapi apakah kita sudah menjalankan substansi sesungguhnya dari kalimat tersebut?

Kita ini sering mengandalkan IPK yang tinggi, skor IELTS yang outstanding, kemampuan komunikasi yang wow, jaringan yang super luas, dsb untuk (mungkin) mendapatkan beasiswa. Kita ini sering menganggap bersekolah setinggi-tingginya bertujuan untuk memiliki masa depan yang baik. Kita ini sering mengandalkan otak dan kemampuan kita untuk menggapai apa yang kita inginkan; pekerjaan dengan gaji tinggi kah, sekolah bergengsi kah, kampus terbaik kah, dan lain-lain. Kita ini sering berupaya menabung sebanyak-banyaknya uang, untuk membeli rumah masa depan. Kita ini sering mengandalkan gembok berkode,duri-duri di atas pagar, alarm maling, sampai anjing penjaga untuk menjaga rumah dan harta yang kita cintai. Kita ini akan menyalahkan orang lain atas kerusakan dari barang yang kita pinjamkan kepadanya. Kita ini akan memaki copet atas berpindah tangannya harta yang kita bawa ke tangannya, kemudian menyalahkan sistem keamanan atau diri sendiri yang sedang lalai.

Dan banyak lagi makhluk atau benda-benda lain yang tanpa sadar telah kita 'Tuhan'-kan.

Kita sering lupa bahwa Tuhan itu bukan IPK, bukan skor IELTS, dan bukan otak kita. Kita sering lupa, bahwa Tuhan lah yang memiliki pekerjaan-pekerjaan bergaji besar, sekolah-sekolah bergengsi, dan kampus-kampus bonafide. Kita sering lupa, Yang Maha Menjaga (harta) kita itu bukan satpam, bukan gembok, bukan kunci, bukan pagar. Semoga kita hanya lupa, bahwa hanya Tuhan lah yang bisa mengambil apapun dari kita. Kita juga mungkin lupa, sedekah itu menyucikan harta, dan syukur melipatgandakan rejeki. 

Dan bahkan, lalainya kita dalam menjaga harta yang berpindah tangan dari kita adalah bagian dari skenario-Nya.

Tuhan adalah Allah. Lebih dari itu, Allah-lah yang memiliki segalanya.

Kita (atau saya) sering menuhankan kemampuan-kemampuan kita untuk meraih apa yang kita inginkan. Lupa bahwa kemampuan kita sendiri hanyalah sebagian kecil anugerah yang Allah amanahkan pada kita.

Beberapa teman dan adik-adik saya di Beastudi Etos sering bercerita pada saya tentang keluhannya, kegagalannya, masalah-masalahnya. Menjadi pengingat diri juga, bahwa kita akan diuji dengan kata-kata yang pernah kita sampaikan pada orang lain, entah itu tulisan ataupun lisan. Saya ingat beberapa kalimat dalam buku Mencari Tuhan yang Hilang 2 karya Ustadz Yusuf Mansur yang kurang lebih intinya begini:

"Justru, dalam kondisi terlemahnya seseorang, lagi jatuh-jatuhnya, lagi diuji-ujinya, saat itulah Allah dateng meluk dia. Jangan sia-siakan! Nggak usah dulu nyari orang lain buat cerita. Kalo mau, samperin dulu tuh Allah yang udah lama dianggurin. Habis itu, samperin ibu, emak kita, minta doanya. Minta dipermudah urusannya. Insyaallah, bakal meleleh kalo sadar betapa Allah selalu mencintai hamba-hamba-Nya yang berdoa, meski hamba-Nya itu sering bandel."

Faghfirlana yaa Rab... Faghfirlana.. astaghfirullahaladzim..

Ada ibadah kita yang harus diperbaiki. Ada hati dan perbuatan kita yang harus dibenahi. Ada niat kita yang harus kembali diluruskan dan ditata kembali. Semoga Allah senantiasa membimbing kita semua untuk selalu ingat bahwa tiada tempat memohon pertolongan selain kepada-Nya.

Karena Allah jua lah yang Maha Membolak-balikkan hati. Semoga Allah bersedia menjaga hati kita hanya condong kepada-Nya dan hanya pada yang diridhoi-Nya. Allahua'lam bishawab.

-------

Selamat berjuang bagi rekan-rekan, baik yang namanya disebutkan secara langsung maupun tidak di tulisan lain. Kita saling mendoakan ya! Sebab kita tidak pernah tau, dari mulut dan hati siapa kah doa akan diijabah.

“Doa seorang muslim untuk saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui olehnya adalah doa mustajabah. Di atas kepalanya (orang yang berdoa) ada malaikat yang telah diutus. Sehingga setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan, “Aamiin dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu.” (H.R. Muslim)

Semoga yang di foto ini berhasil mendapatkan beasiswa untuk lanjut S2
dan mampu menjalaninya sampai lulus dan amanah dengan apa yang sudah diterima
*selain Mrs. Julie, hyaelah






















Comments

Popular Posts