Izinkan Aku Bercerita

Mungkin tuturku tak sesantun yang engkau kira. Banyak cela terselip di antara kata yang kusuarakan. Namun untuk kali ini saja, jika engkau berkenan, izinkan aku bercerita.

Izinkan aku bercerita;
Bercerita tentang yang tak terkata. Bercerita tentang hal yang (menurutku) engkau harus mengetahuinya. Untuk itu kau harus rela mendengarkannya, atau saat ini sekedar membacanya. Aku tau, teori ilmuwan menyatakan bahwa mendengarkan adalah aktivitas paling membosankan, sedang berbicara adalah yang banyak orang menikmatinya.


Pantas saja kau, aku, dan kita semua pasti pernah tertidur di kelas. Meninggalkan pemateri, jauh di alam bawah sadar kita masing-masing. Sungguh, tak patut ditiru kawan -- jika selalu kau lakukan.

Izinkan aku bercerita;
Walau sebatas hasil tarian jemariku yang tiada lentik di atas papan kunci yang memberikan sejumlah perintah pada kawan-kawannya. Kawan-kawan yang mengirimkan sinyal untuk diterjemahkan dalam kombinasi angka-angka 1 dan 0 yang tak mampu otakku mencerna. Menjadikan rekan-rekannya menderu lembut, cepat -- lebih cepat dari kejapan mata. Kemudian menjadikanmu menikmati rangkaian huruf menjadi kata, rajutan kata menjadi kalimat, dan kalimat menjadikannya bermakna.

Ah, kini mulai lah babak baru dalam tarian jemariku: memerintahkan mesin-mesin itu menyusun namamu dalam halaman panjang paragraf tentang cerita.

Izinkan aku bercerita;
Walau tak seindah kisah mawar dan lebah. Yang bermula dari lebah menghisap nektarnya, kemudian serangkaian kisah panjang memunculkan mawar-mawar lain yang merekah. Walau tak semenakjubkan kisah asam di gunung dan garam di lautan; yang kata pujangga akhirnya bersatu jua dalam belanga.

Sebab ini hanya ungkapan hati yang tak bisa dilantunkan dalam getaran pita suara dengan melodi. Sebab bibir manusia sering berdusta atau sekedar terkunci gengsi.

Maka izinkan aku bercerita; hanya dengan rangkaian huruf menjadi kata, rajutan kata menjadi kalimat, dan kalimat menjadikannya bermakna.
Dan inilah cerita, yang sedari tadi bertele-tele aku bertutur. Hanya untuk mengantarkanmu pada cerita.

Ah, kini kita bersaudara. Hanya bermula dari sebuah wawancara, kemudian kau dan aku bertemu dalam suatu wacana. Yang kata mereka kitalah para penerus bangsa. Yang dengan idealismenya bergerak membela. Membela yang tertindas, membela yang teraniaya.

Itu katanya. Sungguh, itu normatif belaka. Jika saja bukan engkau yang berkata. Jika saja tak dilakukan tanpa aksi dan kerja nyata. Benarkah?

Maka izinkan aku bercerita; tentang hati yang berkata tanpa kata. Sungguh berat berkata dengan bibir dan bersuara. Sebab aku masih belum mengenalmu lebih dari sekedar rekan. Namun harapan itu jelas ada. Agar suatu ketika usai perjumpaan, ketika ada perpisahan hendak menyapa, doamu dan doaku terlantun. Berputar di udara, menyatu, tiba di langit ke tujuh. Aih, indah bukan? Ketika insan yang saling mengasihi saling berkirim doa yang menghias rindu.

Maka, mari kita lunturkan ego-ego yang sebelumnya membelenggu jiwa. Dari aku menjadi kita. Dari milikmu menjadi milik kita semua. Dari 'yang kuharapkan' menjadi 'yang akan kuberikan'. Dari 'itu salahmu' menjadi 'pasti ada juga kesalahanku'. Memaafkan walau tanpa diminta, memohon maaf walau tanpa dipaksa.

Sungguh, untuk itu ingin kuucapkan: ahlan wa sahlan, welcome, accueil, willkommen.

Selamat datang. Selamat membuka lembar baru dalam buku kehidupanmu. Yang akan kutuliskan namamu di dalamnya, dan kau tuliskan namaku dalam buku milikmu. Selamat berjuang bersama, menanamkan niat dalam hati-hati kita, apapun yang kita akan lakukan kelak menjadi kenangan.

Selamat datang, saudara baruku.... :)

Comments

Popular Posts