Rembulan di Juli Ke-Tiga
Ceritanya lagi kumat melankolisnya. Capek juga jadi orang koplak tiap hari *siapa suruh*
Sedikit kembali berkarya, spesial buat Fia Afifah Mutiksa yang dulu jaman SMA nagih mulu buatin cerpen yang dari sudut pandangnya 'Bulan'. Maaf ya baru jadi sekarang *4 tahun kemudian -____-"
Semoga Ga kecewa ya...
Sedikit kembali berkarya, spesial buat Fia Afifah Mutiksa yang dulu jaman SMA nagih mulu buatin cerpen yang dari sudut pandangnya 'Bulan'. Maaf ya baru jadi sekarang *4 tahun kemudian -____-"
Semoga Ga kecewa ya...
Rembulan di Juli Ke-Tiga
Sesaat lagi, sosok idolaku tiba. Ia
akan bercerita tentang banyak hal – hal-hal yang selalu ingin aku dengar.
Tentang indahnya langit malam dari berbagai sudut dunia, tentang daun yang
berguguran dan terbang melintasi semesta, atau tentang kisah cinta dari
berbagai negara yang selalu mengudara. Romance
is in the air! Begitu katanya.
Aku sengaja menyelesaikan tugasku
lebih cepat agar lebih cepat pula aku menemuinya. Melambatkan langkah,
melamatkan kata agar lebih lama aku bersamanya. Membiarkan helai rambut dibelai
angin malam, menghirup wangi tanah yang basah sesiang di Kota Hujan.
“Kau tidak ingin ikut bersama kami,
Mazka?” tanya seorang rekan kerjaku saat kaki kami tiba di gerbang tempat kami
bekerja. “Rissa sedang ulang tahun, lho.”
Aku menatap ke kejauhan, berharap
menemukan sosok yang kutunggu. Perasaanku sedang carut marut dan kelelahan. Aku
juga takut merusak suasana pesta ulang tahun Rissa malam ini. “Aku…” kutatap
wajah-wajah sahabat yang sudah lebih dari lima tahun kami bersama. “Mohon maaf.
Aku terlanjur sudah ada janji. Maaf ya.”
“Kalau begitu kau harus siapkan kado
teristimewa untukku ya, Mazka!” Rissa menepuk kedua lenganku dengan kedipan
menggodanya. “Aku serius lho.”
“Ingatkan aku lagi besok,” aku
janji, akan kubayar ketidakhadiranku malam ini dengan kado yang kau inginkan,
Rissa. “Dadaaaah!” kulambaikan tangan sambil berlari kecil ke arah berlawanan
dari mereka. Bersiap menemui dan menikmati waktu berdua dengannya.
Dengan dia yang selalu ingin
kudengar kisah-kisahnya saat hati ini terbalut rindu.
***
“Kau tampak…” aku memandanginya. Takjub. Terpikat.
Terpesona. “luar biasa malam ini.” Selalu.
“Kau tampak lelah malam ini.”
Sahutnya hangat.
Aku hanya tertunduk malu. Seperti
biasa ketika aku bersamanya.
Aku sengaja memilih jalan memutar
yang agak sedikit jauh menuju rumahku. Melewati deretan kantor pemerintahan dan
sekolah-sekolah di sebelah kiri jalan. Di seberang jalan terdampar halaman
Istana Bogor dengan rusa-rusanya yang terlelap dalam gelap. Pohon-pohon besar menebarkan
wangi basah sisa hujan sesiang. Gelap memang. Tapi ada dia yang menjadikan
terang jalan. Meneduhkan batin yang lelah seharian – hingga ia bilang wajahku
tampak lelah.
“Ayo cerita lagi!” rajukku manja.
“Kau dulu. Gantian.” Aku masih
menatap wajahnya yang teduh. Ia selalu tampak tersenyum hangat, di setiap malam
aku bisa menemuinya. “Pasti banyak hal yang ingin kau ceritakan?”
Lagi, aku mengangguk. Kali ini
tidak dengan malu-malu. Ia melihatnya, ketika angin meniup rambutku yang
sengaja tidak kuikat. Melihat wajahku yang tertunduk lesu.
“Apa kau sedang rindu?”
Aku terdiam. Berhenti berjalan dan
menoleh menatapnya. “Iya.” Tiba-tiba aku tak ingin melanjutkan langkahku,
ketika aku berdiri tepat di depan gedung Balaikota Bogor. “Dan aku lelah.”
“Lelah akan rindu yang tak
tersampaikan?”
Aku masih menatapnya. Hening. Sepi.
Hanya beberapa angkutan umum yang melintas di malam hari. Kulihat di seberang
jalan, sepasang muda-mudi berjalan bergandengan tangan. Wajah mereka terlihat
samar di bawah temaram sinar rembulan. Wajah itu bukan wajah yang lelah seperti
milikku. Setidaknya lelah fisik, bukan lelah hati. Duhai…mengapa ia harus
melihatnya? Melihat wajah yang kupaksa ceria.
Ia masih menungguku melanjutkan
cerita. Aku tersadar bahwa aku sudah terlalu lama terdiam saat tempat ini
semakin sepi di malam selarut ini.
“Bagaimana kau tahu?” aku bertanya
kembali.
“Aku paham itu,” katanya
menenangkan sembari kembali memulai berjalan. Aku perlahan mengikutinya, tak
ingin kehilangan langkahnya. “Bukankah aku pernah bercerita juga perkara
rindu?”
“Ceritakanlah.” Ia tersenyum tenang
saat aku menatapnya lagi dalam langkah-langkah kecil yang kuperlambat.
Menikmati menatapnya seperti biasanya.
“Aku ingin mendengar kisahmu malam
ini,” kataku. “Aku sedang sangat menunggu cerita-cerita darimu. Kisah cinta
yang luar biasa. Dari negeri-negeri di seluruh dunia.”
“Baiklah. Dengarkan baik-baik dan
perhatikan dengan tenang. Karena aku tak mau bercerita dua kali.”
Aku tersenyum. Menghentikan langkah
di depan sebuah restoran makanan manis siap saji. Tanpa kutanya ia sudah tahu.
Sudah menjadi kebiasaanku saat menemuinya: duduk manis di bangku dekat kaca,
mendengarkan cerita-ceritanya sembari menikmati memandanginya.
***
“Ini kisah cinta. Kisah cinta yang kau masih belum
tahu akan bagaimana akhirnya. Entah bahagia ataupun duka. Kau hanya perlu
bersabar. Dengarkan saja dan kau akan menunggu setiap waktu; menunggu akan
adakah benang dan jarum yang akan merajut tangga rindu itu. Menunggu sampai
akhir cerita sambil membunuh waktu; membunuh nyeri yang tertahan saat merindu.
Ini kisah cinta yang tak biasa.
Tidak hanya seperti Romeo si miskin yang amat mencintai Juliet sang bangsawan. Atau
Sampek dan Engtay yang harus berakhir tak berbeda dengan Romeo dan Juliet –
mereka hanya beda negara. Ini kisah cinta yang berbeda karena belum ada
akhirnya. Kisah dari cinta yang mungkin tak akan pernah termiliki, namun tiada
bisa berganti hati. Tapi hey! Kau tidak akan pernah melangkahi mimpi. Mimpi itu
masih hak bagi dua pencinta itu, sebelum sebuah pena takdir harus memberi titik
di ujung cerita dan menggoreskannya sebuah judul. Tanda kisah diakhiri.
Ini tentang Rembulan yang mencintai
Matahari.
Ia mencintai kegagahannya, Sang
Raja Hari. Tanpanya dunia berhenti berputar, yang kehadirannya selalu
dinantikan makhluk yang masih ingin melanjutkan kehidupan, yang cahayanya
memberi nyawa. Walau siang berganti malam ia masih saja memberi pinjaman cahaya
pada Rembulan yang ditatap jutaan manusia di dunia. Sungguh, Rembulan tiada
indah tanpa sosok yang selalu dikaguminya sejak Big Bang terjadi dan mereka lahir ke semesta.
Kadang ia merasa menjadi yang
istimewa bagi Matahari. Mana ada benda langit lain yang lebih indah dari
dirinya di malam hari? Gemintang punya cahayanya sendiri, namun redup untuk
dilihat dari bumi. Dan dengan kelembutan di balik perkasanya, Matahari
meminjamkan sedikit sinarnya bagi Rembulan agar tampil memukau hati manusia.
Sungguh, Rembulan benar-benar telah
jatuh cinta. Tenggelam dalam permainan rasanya sendiri. Ia bukan apa-apa tanpa
Tuhan mempertemukannya dengan Matahari. Seharusnya ia tahu diri, tak mungkin
Matahari yang perkasa itu mau meliriknya sedikit saja, untuk berdiri bersisian
seperti pasangan bahagia lainnya. Ia hanya seperti budak yang lancang terkubur
perasaan terlarang pada tuannya.
Lihat saja di bumi sana!
Bunga-bunga indah itu selalu tumbuh menghadap padanya. Menyodorkan
kelopak-kelopak hijau yang perlahan merekah menjadi mahkota dengan aneka warna
yang memukau. Mereka tumbuh dan dibesarkan dengan cinta Matahari, disirami
hujan yang dibentuk di awan juga dari air bumi yang menguap karena Matahari.
Lukisan alam karya Tuhan yang tiada dua indahnya pun bisa terjadi jika Matahari
memancarkan sinarnya usai hujan menghidupi bunga-bunga itu. Pelukis hobi sekali
menggoreskan kuas dan tintanya dengan panorama itu. Rembulan sangat tahu,
bunga-bunga itu juga pasti jatuh cinta padanya. Sama seperti dirinya yang
sengaja menyimpan dan membesarkan rasa.
Pernah ia mencoba bertanya pada
Matahari saat gerhana terjadi. Dunia tak perlu melihat bahwa keduanya sedang
berada pada titik terdekat. Kesempatan bagi Rembulan untuk menikmati langsung
bersisian dengan yang dicintainya.
“Apa kau pernah jatuh cinta,
Matahari?” tanya Rembulan.
“Selalu. Aku selalu jatuh cinta.
Pada Tuhan yang menciptakan kita. Pada alam yang hidup berdampingan dengan
kita.”
“Adakah yang istimewa di antara
semuanya?” Rembulan berharap namanya yang tersebut. “Bunga-bunga nan rupawan
itu?”
“Mereka cantik,” kata Matahari sambil
tersenyum mengingat bagaimana mereka berebut menyodorkan mahkota padanya. “tapi
tidak istimewa.”
“Kenapa?”
“Karena aku tak bisa memilikinya,”
Rembulan takjub mendengar kata-kata Matahari padanya. “Aku mencintai mereka.
Tapi aku tak bisa memilikinya. Aku hanya bisa memandanginya kala tiba waktunya
kita bertukar tempat. Tapi jika aku terlalu dekat, mereka bisa mati. Tak lagi
indah. Manusia tak akan suka jika mereka mati dan tidak lagi menghiasi
taman-taman mereka.”
Rembulan masih mendengarkan.
“Duhai sahabatku, Rembulan,”
Matahari memandanginya di sisa waktu gerhana. “Mengapa kau bertanya demikian?
Apa kau sedang jatuh cinta?”
Rembulan tersipu malu. Tertunduk
dan membisu.
“Apa kau sedang merindu?” tanya
Matahari lagi.
Rembulan hanya mengangguk kecil. Membuat
Matahari tertawa.
“Duhai sahabatku Rembulan.
Terkadang cinta membuat kita tertawa dan tersenyum-senyum sendirian bahkan saat
kita tidak ingin. Tapi saat ia tumbuh liar, duri-durinya mungkin menancap dalam
hati, melukai dan menjadikan kita lemah. Bernafsu ingin memiliki, padahal
mungkin ia tak berhak memiliki. Bisa jadi yang kita suka ternyata tidak baik
untuk kita – dan Tuhan yang paling mengetahui semuanya.
Orang yang jatuh cinta terpaksa
menanggung rindu saat tak jumpa sedetik saja. Terus menerus merangkai mimpi
hingga lupa membawanya ke dunia nyata. Dan saat ia menyadarinya, ia sudah
tenggelam terlalu dalam. Sulit kembali berenang ke tepian, namun semakin
berbahaya jika ia menyelaminya tanpa arahan.”
“Apa kau masih mencintai
Bunga-bunga di bumi?”
“Sebatas yang Tuhan perintahkan
padaku, untuk mencintai apa yang juga dicintai-Nya.”
Rembulan tetap masih berputar pada
garis edarnya. Gerhana mulai mendekati waktu akhir. Ia hanya tertunduk malu.
Malu pada Matahari yang luar biasa itu. Matahari yang mampu menahan diri.
Matahari yang ternyata membagi rata cintanya pada semua yang membutuhkannya.
“Tapi aku juga mencintai sesosok
penduduk langit ini, Rembulan!” teriak Matahari saat Rembulan mulai beredar
menjauhi Matahari. “Mungkin itu yang kau sebut ‘istimewa’?”
Rembulan menoleh, memandangi Sang
Raja Hari yang selalu merajai harinya.
“Aku mencintainya. Aku menikmati
memandanginya dari kejauhan. Menikmati menahan rindu akan penantian saat aku
bisa bertemu langsung dengannya. Aku juga tidak tahu apa aku bisa memilikinya
atau terpaksa kelak kukubur perasaan itu dalam lubang hitam dan ikut mati
bersamanya di akhir dunia. Aku menjaga kehormatannya, agar ia tak terganggu
akan rasa yang juga terkadang menyusahkan itu. Yang jelas, Tuhan kita berjanji
bahwa yang baik hanya untuk yang baik. Dan Tuhan kita tak pernah ingkar.
Percayalah Rembulan, rindumu kelak
terbayar. Jika kau sabar menanti pena Tuhan menggoreskan tintanya hingga di
akhir kalimat dan dibubuhkannya sebuah titik; tanda cerita telah berakhir. Pantaskanlah
dirimu bagi yang kau rindukan!”
Andai ia manusia yang selalu
memandanginya dengan penuh kerinduan di pekat malam, mungkin ia sudah
menitikkan air mata. Bercampur aduk perasaan, tak percaya bahwa yang
dicintainya juga merasakan hal yang sama.
Gerhana berakhir. Ia harus menunggu
bertahun hingga berpuluh tahun lagi hanya untuk menatap Matahari di tempat
terdekat.
Tapi dalam penantian itu – yang ia
tidak tahu akan terjadi lagi atau tidak – ia bersiap menjadikan dirinya pantas
bagi Matahari. Barangkali Tuhan sudi mengabulkannya atau ia akan mendapat ganti
yang jauh lebih baik baginya.
Dan Rembulan…kembali menikmati
kerinduannya dan menghiasinya dengan kesabaran.
***
Secangkir coklat panas di tanganku
mulai kehilangan kepulan asapnya yang membuat kacamataku berembun. Sejenak aku
terbuai akan cerita yang dituturkan padaku malam ini. Sedikit menyegarkan
pikiranku walau tubuhku sudah benar-benar lelah.
Aku membuka tumpukan kertas lembar
kerja yang harus kuselesaikan dalam pangkuanku. Menikmati bunyi gesekan lembar
demi lembar kertas yang kubuka-buka. Beberapa lembar sudah dibubuhi tanda
tangan atasanku yang hanya bisa kutemui di waktu-waktu tertentu.
Persis seperti Rembulan yang hanya
bisa menatap Matahari saat gerhana tiba.
Aku menatapnya lagi, mengulaskan
senyum pada sahabat terbaikku malam ini: Bulan Purnama. Rembulan di Juli ketiga
aku mencintainya. Rembulan yang seolah bercerita tentang kisah cinta tiap kali
aku memandanginya.
Kusesap perlahan coklat panas yang
mulai menghangat ketika pintu kaca di dekat tempatku duduk terdengar terbuka.
Beberapa pelanggan lainnya berdatangan. Ada yang sendiri, serombongan, tentu
ada yang berpasangan. Tak ada satupun yang kukenal, kecuali sepasang mata yang
kutangkap cahayanya sejak bulan Juli dua tahun lalu.
Aku membeku. Semakin mengeras
ketika suaranya menggema ke seluruh ruangan menyebut namaku.
“Mazka?”
Ia mendekat. Wajahnya tampak lelah
dengan penampilan serampangan dan kelelahan di malam selarut ini.
“Sendirian?”
Aku mengangguk kaku.
“Boleh saya duduk di sini?”
Aku tak menjawab. Namun ia seperti
menganggap itu berarti ‘ya’ dengan meletakkan tas kerjanya di bangku di
hadapanku.
“Saya pesankan minuman panas lagi,
ya? Temani saya malam ini. Ada hal yang perlu saya bicarakan tentang
pekerjaan.” Ia tersenyum sambil meninggalkanku yang masih membeku, menuju
tempat pemesanan makanan. “Kau ingin apa?”
Aku tak menjawab, dan ia langsung
pergi begitu saja. Aku menoleh ke arah ia berjalan. Seolah tak percaya bahwa
itu benar-benar ia.
Ia yang membuatku menanggung rindu,
seperti Rembulan pada Matahari.
Kualihkan pandanganku keluar
jendela kaca besar di sampingku, memandang sahabat yang menemaniku sejak pulang
kerja tadi. Perlahan awan malam mulai menutupinya, seolah mengucapkan sampai
jumpa padaku.
“Rembulan,” bisikku. “Terima kasih
atas cerita malam ini. Selanjutnya…” aku memandanginya seperti sejak sekitar
satu setengah jam yang lalu. “kita harus lebih bersabar ya.”
Dan Rembulan malam Juli ketiga ini benar-benar
bersembunyi di balik awan. Bersiap memberiku berbagai cerita untuk kudengarkan
esok hari. Bersama hati orang-orang yang merajut rindu.
***
Bogor, 9 Juli 2013
hmmm... jadi.. dia bercerita bersama rembulan ya her di awal... ?
ReplyDeleteyoi
ReplyDelete