Mengeja C-I-N-T-A : Agar Kamu Mengerti...

Tanah itu menggunduk lebih tinggi dari sekitarnya. Masih basah, bertabur bunga. Dikelilingi orang-orang yang semuanya menundukkan wajah. Menatap bergantian satu sama lain. Kemudian menatap tanah di hadapannya, lagi. Beragam ekspresi ditunjukkan di sana; muram, durja, bersedih, ada juga yang meraung. Tapi tak satupun yang tersenyum.

Siang tadi seseorang dipanggil. Dipanggil yang telah meminjamkannya tubuh dan nyawa. Saatnya mengembalikan apa yang telah dipinjam selama 47 tahun hidupnya. Seperti ketika kau mungkin kehilangan ponselmu yang berharga; ponsel itu hanya berpindah tangan, tapi kau yang memilikinyalah yang akan merasakan kehilangan, ponsel itu jelas tidak merasakan.

Ada yang menangis tersedu sedan. Di sana, di tepian. Memeluk nisan.

Kau tahu mengapa yang tersedu sedan tadi enggan beranjak? Terlepas dari andai ia seorang aktris dan aktor yang jago akting, mereka pasti merasa kehilangan. Rasa kehilangan itu muncul jika sebelumnya ada rasa cinta.

Katanya sih begitu. Kupikir cinta hanya bualan saja. Diucapkan hidung belang bermulut manis hanya untuk menyita waktumu yang menjadi sia-sia. Saat kau menyadarinya, habis sudah semuanya. Waktu hidupmu berkurang tanpa guna.

***

"Bukan seperti itu, Sayang..." suara hangat itu memecah keheningan. Ia beranjak berdiri. Langkah kakinya terdengar mendekati tempatku berdiri membelakanginya, menatap ke luar jendela.

"Lantas apa? Mereka di luar sana mudah saja mengucapkan cinta. Namun begitu melihat yang lebih seksi, atau lebih berharta, mereka pergi begitu saja."

"Itu namanya nafsu belaka. Bukan cinta."

Hening. Aku masih menunggunya melanjutkan kata-katanya.

"Kau mungkin bosan jika kukatakan, 'Ayolah, kau baru hidup dua puluh tahun. Aku sudah hidup dua setengah kali lebih lama darimu'. Kau pasti akan berkata 'kau seperti kaset rusak'." Ia menyentuh bahu kananku, memintaku berbalik badan menatapnya. "Aku hanya ingin tanya saja kalau begitu. Apakah kau mencintaiku?"

Aku hanya diam. Tersedak. Aku bahkan tak mengerti apa maksud pertanyaannya.

"Sayang," ia mengusap lenganku lembut. "Sungguh, setiap orang mungkin punya definisi yang berbeda tentang cinta. Tapi ada hal yang kau harus tau. Aku rasa kau wajib memahaminya di usiamu yang sudah terhitung dewasa ini.

"Tak perlulah aku menyusunkan kata, menerangkan padamu apa itu cinta. Yang jelas, ketika kau menyenangi sesuatu, merasa membutuhkannya, merasa kehilangan dan seolah tak berdaya ketika ia tak ada, itulah cinta. Dan cinta...hanya berlaku dan terjadi di antara makhluk hidup.

"Jika yang kau pikir cinta adalah sekedar bualan dari mulut manis durjana --astaga, kasar sekali sebutan itu-- kau salah besar, Sayang. Kau harus memperluas pola pikirmu. Bahwa cinta tidak hanya dilakukan antara laki-laki dan perempuan. Tapi seluruh makhluk yang hanya menumpang tinggal di bumi-Nya ini harus saling mencintai.

"Setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam mencintai, Sayang. Tidak selalu dalam rangkaian kata yang terajut dalam puisi syahdu, misalnya. Seperti kau membantu temanmu mempelajari pelajaran yang ia tak mengerti, itu caramu mencintainya. Seperti kau yang selalu memikirkan nasib saudaramu, kau yang menjaga prasangka-prasangka buruk hatimu terhadap saudaramu, memberi kepercayaan kepada temanmu, itu juga wujud bahwa kau mencintai mereka."

Aku masih terdiam, datar. Ia menatapku masih sambil tersenyum hangat.

"Mencintai dan dicintai memang anugerah, Sayang. Tapi akan selalu ada ujian di dalamnya. Tidak selamanya yang kau cintai akan selalu berada di sampingmu dan mencintaimu dengan cara yang kau inginkan. Tidak, mereka bukan tidak lagi mencintaimu. Mereka masih mencintaimu, dengan caranya sendiri. Terkadang manusia memang egois, Sayang. Ia ingin dicintai dengan cara yang diinginkannya, tapi lupa mencintai dengan cara yang diinginkan saudaranya. Kita semua pasti pernah mengalaminya.

"Dan jika itu yang terjadi, hanya ada dua kunci untuk menjaga cinta itu tetap tumbuh. Berbaik sangkalah dan saling pengertian. Kau tahu? Jika kau ingin orang-orang menjauhimu, berburuk sangkalah. Sebab buruk sangka adalah cara terampuh untuk merusak sebuah jalinan kasih sayang antar umat manusia, tanpa kau perlu pernah menghajar fisiknya atau menyakiti hatinya.

"Dan satu lagi. Aku percaya kata-kata para pujangga. Benar adanya bahwa cinta itu buta."

"Maksudmu?" aku mulai bicara, tak setuju. "Yang benar saja. Mana ada orang yang mau mencintai tanpa alasan macam cinta buta."

"Ada," ia menatapku sendu. Kedua matanya nampak berkaca-kaca. Meski selama ini aku tak pernah melihatnya menangis. "Seperti aku yang mencintaimu."

Aku terdiam. Tersentak. Tak pernah berpikir bahwa ia akan mengatakannya. Selama ini yang aku tahu, ia nampak tak peduli kepadaku. Selalu meninggalkanku, tidak tahu menahu apa yang kupikirkan, apa yang kurasakan. Hingga aku menjadi sosok yang dingin; tak peduli macam cinta.

"Aku mencintaimu, sejak aku tahu kau telah hidup dalam tubuhku. Aku mencintaimu, bahkan tanpa pernah aku melihat dirimu. Aku mencintaimu dan rela mengorbankan banyak hal termasuk nyawaku demi melihat dan menua bersama dirimu.

"Maafkan aku yang membesarkanmu dengan cara yang salah, Sayang. Pergi saat kau masih tidur, dan pulang saat kau sudah tertidur. Aku sadar betul, akan ada saatnya ketika kau bisa saja membenci perbuatanku. Namun ketahuilah, Nak, hingga saat ini aku masih mencintaimu."

Ia berbalik badan. Meninggalkanku di belakang. Aku tahu, ia pasti sedang menyembunyikan air matanya.

"Aku..." kataku serak. Membuatnya menghentikan langkahnya. "Kau bilang setiap kita punya caranya sendiri dalam mencintai."

Ia diam, menunggu. "Aku percaya. Kau memang seperti dia. Persis seperti dia. Ayahmu dulu juga tak mampu mengungkapkan cinta dengan kata. Aku tahu. Kau memang mencintaiku. Jangan paksa dirimu." Ia tersenyum, kemudian melangkah pergi.

Tentu saja. Aku selalu mencintaimu dalam doa. Walau aku tak mencintaimu dengan cara yang kau inginkan. Tapi beginilah caraku mencintaimu.

Terima kasih telah membuatku mengerti...

***



Comments

Popular Posts