Di Tiap Sujudku Aku Merindu




Hamdalah, tasbih, tahmid, dan takbir terus mengalir dari bibirmu kala kau dengar tangis kencang dari bibirku yang masih berlumur darah dari rahim istrimu. Panggilan sholat kau lantunkan lembut di helai daun telingaku yang lembut, memperkenalkanku pada Sang Pemilik Hidup.

Bapak, Arif, dan aku.. dua belas tahun yang lalu..

Kau bekerja keras siang dan malam, semakin keras saat tangisku mulai mewarnai rumah kecil pertamamu, sembilan belas tahun yang lalu. Letih dan lelah pasti menyapa, namun kau bilang semua sirna saat kau lihat wajah mungilku tertidur pulas dalam pelukan wanita yang kau pilih sebagai penyempurna separuh agamamu.

Mengangkat kedua lengan lemahku, memaksa kedua kaki yang dulu rapuh berpijak di atas bumi-Nya. Meski aku menangis menolak dan memberontak, kau tetap memaksa. Hingga tak terasa, kini kedua kaki kecil yang dulu kau latih itu mampu berlari demi merengkuh mimpi.

Mimpi besar yang kau torehkan, kau embankan di bahuku, saat kau mengangkatku penuh cinta, meski tak selembut cara seorang wanita mengangkat bayi kecilnya. Meletakkanku di atas bahumu yang dulu kokoh, membawaku berkeliling kebun binatang seraya mengajakku bicara, "Liat itu di sana, ada anak gajah gendut kayak adek."

Sepeda jingga itu berdiri anggun di teras rumah kedua kita yang sedikit lebih besar saat usiaku yang ketiga. Rodanya ada empat, keranjang mungil tergantung di depannya. Pita merah tersemat di depannya, menggodaku untuk menyentuhnya. Dengan sabar dan semangat, kau membawaku keluar rumah. Tak peduli istrimu yang khawatir putri kecilnya terluka itu berulang kali memintamu berhati-hati.

Jika seorang ibu tidak akan membiarkan anaknya terluka, bagimu luka-luka di kaki dan tanganku saat belajar bersepeda adalah cara terbaik untukku belajar bahwa hidup tak selalu mulus. Ada pengorbanan dan perjuangan dalam setiap angan yang harus menjadi nyata.

Malam itu tubuhku diuji. Aku tidak tahu rasanya sakit dan diletakkan di atas meja operasi. Yang kutahu, aku hanya ingin selalu berada dalam pelukmu ketika petugas berseragam serba putih memintaku untuk tinggal di kamarnya dengan selang berisi cairan menusuk tanganku yang rapuh. Kau bawa aku berkeliling hingga aku terlelap dalam dekapmu yang kuat dan lembut di saat yang bersamaan.

Boneka babi berwarna cokelat masih tersimpan rapi dalam lemari di rumahmu. Hadiah pertama untuk putri pertamamu yang suka bermain boneka dan mengarang cerita. Berjuta angan terbesit dalam benakmu, mungkin kelak anak usil itu pandai merangkai kata. Menyusun imajinasi menjadi sebuah fiksi.

"Anak perempuan itu harus cantik!" sergahmu saat kau lihat aku malas mandi dan terpaku menatap kotak besar mengeluarkan gambar bergerak yang orang sebut tivi. "Masa ga mau mandi kayak gini? Sana mandi!"

Di hadapanku, pujian tak pernah kudengar. Ledekan-ledekan yang menjatuhkan jauh lebih sering kudengar. Tanpa aku pernah tahu bahwa di luar sana, mereka ikut bangga pada gadis kecil yang usil itu karena tuturmu. Mulai dewasa, semakin jarang kudengar suaramu. Pergi gelap, pulangpun langit sudah hitam pekat. Ilmu pengetahuan itu benar-benar menggiurkanku yang gemar belajar. Diam-diam meski rindu, kau bangga padaku yang jarang pulang dengan segudang amanah yang kuemban diluar.

Hingga saat itu datang. Tubuh kuatmu yang dulu tanpa ampun mengais rizki, terkapar lemah tak berdaya. Di ruangan itu, dengan alat penopang kehidupan. Tangan besar yang dulu menggendongku dan melempar-tangkap tubuhku ke angkasa, terdiam lemah ditancapi berbagai macam jarum yang membuatku tak tega melihatnya. Masih saja kau minta aku beristirahat saat kukunjungi tempatmu beristirahat sejenak saat itu, karena kau tahu putri kecilmu itu kurang beristirahat dengan tumpukan tugas yang menuntut terselesaikan. Sempat aku bermimpi, kau bilang rindu suaraku saat tilawah. Senyummu mengembang kala aku terbangun dan membacakan tilawah di dekat telingamu, persis seperti saat kukecil dulu kau berdendang lembut menidurkanku di rumah sakit itu.

Roda hidup terus berputar, fase kehidupan terus berganti. Sembilan belas tahun yang lalu kau lantunkan Adzan di telingaku, mengenalkanku pada Tuhanku, "Allah SWT itu Tuhanmu, Nak...", maka saat itu di usiaku yang ke delapan belas, aku harus bersiap. Bersiap sepertimu dulu di dekat telinga. Kubisikkan "Lailahailallah," dan kau mengikuti. Senyum terakhir mengembang di wajahmu yang renta, wajah yang dulu selalu ceria. Wajah yang dulu berminyak-minyak sepulang kerja dan menciumi wajahku penuh cinta. Wajah yang kucoret dengan pewarna bibir milik ibu dan tertawa berpikir wajah itu dulu lucu.Wajah itu kini tersenyum tenang, seolah menatap pencipta-Nya sambil berkata, "Ya Allah, aku pulang.Terimalah aku, Ya Rabbi.."

Tanpa pernah tahu, ramadhan tahun lalu adalah ramadhan terakhir bagimu. Ayah, sungguh aku rindu. Rindu hingga tiap ujung kuku. Rindu yang semakin menggebu-gebu kala seluruh kawanku pulang ke rumah yang juga mereka rindu.

Dalam tiap sujudku, tersebut nama itu. Tersebut dengan aliran sungai rindu yang tak terbendung. Banjir, tumpah ruah membasahi sajadah.

Bagaimana merangkai tangga rindu, agar tiba di tempatmu?

Bagaimana bunyi denting nyanyian rindu itu, agar kau tahu aku ingin bertemu?

Adakah ayah juga merindu? Adakah ayah bercerita pada Illahi, seperti aku di tiap sepertiga malam dan di tiap-tiap waktuku menegakkan tiang agama seperti yang selalu ia ajarkan dulu?

Pintaku pada Rabbi-ku.. Ya Allah, jaga dan sayangi ayahku seperti ia menjagaku dulu. Jadikan aku seorang yang shalihah, agar baginya, aku bisa menjadi amal. Amal yang tak akan terputus hingga dunia menyapa hari akhirnya. Mengantarnya ke Jannah-mu yang abadi, memberikan kebahagiaan yang dulu belum pernah ia rengkuh di bumi-Mu, Ya Rabb...

Ayah, dengarlah, sungguh dengan seluruh jiwaku, aku rindu...


Comments

Post a Comment

Popular Posts