The Chronicles of LPDP - Jaket Musim Dingin

"Tidak ada kesuksesan yang hasil kerja tunggal seseorang. Pasti dan akan selalu ada tangan-tangan lain yang Allah kirimkan untuk memudahkan jalan kita menujunya."

----

Bismillahirrahmannirrahiim
Assalammu'alaykum Wr Wb

Been very long time nggak nulis di mari. *brb beberes kain kafan berserakan

Tapi terlanjur janji sama diri sendiri dan banyak orang yang nagih, kalo setelah lama puasa nulis di blog karena nunggu sesuatu, entar kalo lolos harus nulis. Harus!

catatan yang ditulis sejak baru mau ambil tes IETLS :')

Jadi, si (mantan) Mahasiswa Biokimia IPB yang paling rajin tidur di kelas ini, dipercaya negara buat lanjut sekolah. Ke luar negeri pula.

Si Orang-yang-sering-kena-Karma ini akhirnya kemakan omongan sendiri saat dulu ngeliat penderitaan temen kosannya yang lagi ambil S2. Katanya, "Ogah gue ambil S2, cukup sudah penderitaan S1 ini membunuhku." *lagunya D'Nasip diputer
Disumpahin soalnya Syekh Ria Fahleny Al Banna, katanya "Liat aja nanti kamu beneran ambil S2."

Percaya ga, Awardee LPDP ini pernah direndahkan sama atasannya sendiri. "Emang yakin kamu bisa S2? IPK kamu kan kecil. Jongkok malah." Mengakibatkan ia tidak memperjuangkan kontrak kerjanya agar dilanjut. Mending udahan.

Oh iya, dia dinilai juga segala kompetensi dalam dirinya rendah di lembar evaluasi pegawai :'). Sambil ditunjuk-tunjuk di wajah juga, kalau dia itu kemampuan kerjanya ga sesuai jabatannya, jadi kayak makan gaji buta. Dinilai ga pernah mengerjakan tugas2 yang diberikan, jadi Sang Atasan merasa menderita karena kerja sendiri, kayak ga punya rekan kerja :'). Terus dia juga dinilai anti kritik dan diancam kontraknya ga dilanjutin. Inget ya, semuanya dilakukan dengan wajah penuh emosi dan tangan nunjuk-nunjuk.

Bukannya nggak maafin sih, insyaallah udah maafin. Cuma ga akan pernah lupa. Soalnya Sang Atasan itu orang yang dinilai paham agama, bahkan kader dakwah :')

Bener kata salah seorang sahabat saya sih ya, ga semua yang agamanya baik itu akhlaknya juga baik. Tapi yang akhlaknya baik kalau dia belum paham agama, biasanya orangnya mau belajar agama lebih baik.

Curcol banget ya? Haha. Ga maksud ngumbar aib pribadi sih, cuma mau menjawab pertanyaan dan pernyataan teman-teman ketika tau saya dapat beasiswa LPDP: "Kok keren banget sih, Her. Gimana caranya? Ajarin dong Her bier lolos LPDP juga.."

Iya itu salah satunya. Saya udah berdarah-darah, jauh sebelum dapat LPDP. Bahkan belum daftar LPDP. 

Saya inget kata Ustadz Khalid Basalamah soal 'ujian sebelum berhasil' ini. Kata beliau, 

"Sebenarnya ketika kita meminta sesuatu pada Allah, mengungkapkan cita-cita kita kepada-Nya, sesungguhnya Ia telah meletakkan di mana garis akhir kita harus berjuang. Itu sudah ada. Tinggal kitanya aja yang harus kuat jalan terus sampai ke garis finish. Apapun yang terjadi.

Makin besar permintaannya, ya bakal makin susah jalannya. Dan kadang, Allah juga nyiapin jalan tol buat kita segera sampai ke garis finish. Gimana bentuk jalan tol-nya?

Yaitu ujian yang kamu belum pernah dapat sebelumnya. Lebih berat, lebih susah. Kalo kamu sabar, kamu bakal nyampe di ujung jalan tol itu. Beberapa langkah lagi buat ke impian kamu. Yang selama ini kamu minta ke Allah."

Kalo secara logika sih, seorang Herma punya apa sih bisa sampe jadi awardee LPDP yang Maha Bergengsi itu?

IPK-nya kecil. Sampe dijadiin bahan olok-olok sama Sang Atasan. Waktu kuliah ga pernah ikut lomba-lomba, selain PKM yang cuma sampe dapet dana, itupun sama kakak kelas dan beliau2 yg mengerjakan. Selalu tidur di slide ke-3 dosen untuk beberapa matkul yang ga tahan godaan ngantuknya.haha

Track record juga ga ada yang bagus. Ga pernah ikut pertukaran pelajar, jadi asisten praktikum cuma sekali, penelitian skripsinya juga ga rumit atau keren kayak temen angkatan yang lain. Ga ada dosen Biokimia yang kenal Herma selain Pak Syaefudin yang super sabar punya bimbingan skripsi kayak saya (jazakallah khoir Pak). Pak Waras inget nggak ya kalo beliau pernah jadi Pembimbing Akademik seorang Herma yang apa-banget-ngantuknya ini.

Kok yang model begitu bisa dapat LPDP?

Karena Tuhannya si Herma bukan IPK, bukan latihan persiapan buat seleksi, bukan nilai IELTS yang pas-pasan, apalagi uang yang selalu aja kepepet urusan ini.haha

Tuhannya adalah Allah SWT. Yang Maha Baik. Yang kurang ajar banget kalo sebagai muslim ibadahnya ga taat. T^T *nangis guling-guling

Waktu saya dibilang,  "Emang yakin kamu bisa S2? IPK kamu kan kecil. Jongkok malah."  tau ga saya jawab apa?

"LPDP bukan sekedar milik Negara. LPDP itu miliknya Allah SWT. Jangankan LPDP, seluruh dunia dan seisinya juga milik Allah kali."

Terus dijawab, "Ya, silahkan aja." Dengan wajah meremehkan. 

Dan habis itu, mulai sholat dzuhur di hari itu dan sholat2 seterusnya, saya berdoa sama Allah, 

"Ya Allah, meski hamba ingin sekali dapat LPDP dan sekolah di Luar Negeri, sesungguhnya hamba takut dengan konsekuensi yang mengikuti setelahnya Ya Allah. Tapi hari ini, ketika Engkau diremehkan hanya karena IPK hamba, hamba ingin mendapatkannya Ya Allah. Kelak akan hamba tunjukkan pada mereka, bahwa Engkau adalah sebaik-baik tempat meminta. Tunjukkan bahwa Engkau adalah Tuhanku ya Allah, bukan IPK, bukan kemampuan berbahasa Inggris, bukan kontribusi pada negeri ini, apalagi sekedar uang ya Allah. Tunjukkan pada mereka ya Allah, bahwa hambamu yang dinilai oleh manusia tidak pantas mendapatkan LPDP ini, mendapatkan LPDP murni hanya keridhoan-Mu ya Rabb. Jadikan hamba sebagai bukti, bahwa keridhoan-Mu lebih dari cukup untuk sekedar mendapatkan isi dunia-Mu. Karena kuminta surga sekali pun, Engkau pasti memberi."

Hari-hari sisa waktu hidup di kantor itu adalah hari-hari di mana hidup rasanya kelam. Apalagi kejadian ditunjuk-tunjuk muka, I felt...nyesek-se-nyesek-nya. Bahkan lebih dari nyesek daripada waktu ditinggal Bapak selamanya. Mungkin karena efek sudah nggak ada yang mbelain lagi :').

Hari itu mungkin saya merasa super sedih --apapula istilah ini. Tanpa saya sadar, hari itu Allah sedang memberikan saya e-money buat melewati jalan tol menuju impian saya: dapat LPDP. Dan ketika rasa sakitnya hilang, serta Allah sudah ganti dengan hal yang lebih baik, baru deh mesam-mesem. Bener kan kata ustadz Khalid.


-----------

Terus apa hubungannya sama judul tulisan ini?

Sabaaarr

Saya mendadak ingin lanjut S2 ya memang karena terkena kompor Instagram-nya temen-temen yang wuah-bikin-ngiler tentang mereka sekolah di Luar Negeri. Dan negara sedang besar-besaran membiayai rakyatnya untuk berkesempatan lanjut sekolah dengan beasiswa LPDP.

Tapi saya belum benar-benar niat. Karena Mamak saya sepertinya tidak ingin saya pergi terlalu jauh dari beliau. Sejak TK sampai kuliah saya di Bogor. Kerja pun bolehnya di Bogor. 

Bahkan kenapa saya S1 di Institut Pertanian Bogor pun, semua karena Mamak (dan Bapak). Saya pengen banget ambil kedokteran di UGM, Jogja. Nggak diizinin, karena katanya kejauhan. Nanti kalo saya sakit, nggak ada yang ngurusin. Minta di UI, mau ambil HI juga ga boleh, padahal cuma di Depok. Bolehnya IPB. Titik. Terserah mau jurusan apa juga, yang penting IPB.

Dan singkat cerita, tanpa belajar keras, saya masuk di kampus paling inovatif di Indonesia ini. See? Ridho Allah, ridho orangtua.

Untuk S2 pun saya tidak banyak berharap. Selain saya harus berperan sebagai penjemput nafkah keluarga, saya rasa Mamak nggak akan mengizinkan. Terus saya cuma curhat sama si Arif, adik laki-laki saya yang tiap hari nganter jemput saya di motornya. Dan Arif menyarankan, doakan aja Mamak bier kebuka hatinya.

Suatu hari, saya cerita ke Mamak tentang niatan saya ingin ambil S2. Saya meyakinkan Mamak kalo saya sudah tua dan insyaallah bisa hidup mandiri, menceritakan kenapa mau ambil S2, dan menceritakan rencana-rencana saya nanti bila lulus S2. Mamak iya iya aja. Katanya, yaudah kalo mau mah. Tapi saya nggak berharap banyak. Pikir saya, paling kayak S1 dulu. Luarnya iya iya boleh ke UGM, dalemnya IPB aja. Mungkin karena ga ingin bikin sakit hati ya, namanya juga orangtua.hha

Di hari yang lain sepulang saya kerja, tiba-tiba Mamak excited banget. "Mbak, ini tadi Mama beli jaket di Ibu Penjahit." Mamak mengeluarkan jaket dari lemari. "Ini bisa kan ya kalo buat di luar negeri? Bier anget kalo pas musim salju."

Ya Allah. Mamak sampai beli jaket musim dingin reject produk impor dari tetangga yang suka jual baju produk rijek memang. 

"Bagus kan Mbak? Suka nggak? Tadi pilihannya pink, item, sama krem ini. Mama pilihnya krem aja, habis kamu mana mau pake pink. Item juga kayak serem gitu kalo dipake."

Adik saya berkata pelan, "Siap-siap lu Mbak. Mamak udah ridho."

Ya. Saya yakin tindakan Mamak hari ini adalah bukti bahwa ia meridhoi keinginan saya untuk lanjut sekolah di luar negeri. Bahkan ketika tetangga yang menjual jaket itu bertanya untuk apa Mamak beli, Mamak menjawab, "Anakku mau sekolah ke luar negeri. Kan di sana ada musim salju, jadi bier dia nggak kedinginan nanti. Jaket biasa mah nggak anget."

Ya Allah.

"Mbak ini tadi harganya xxxx ribu, entar ganti ya." Mama nyengir. Saya mengambil tangan kanannya dan menciumnya. Terharu. 

"Mamak nih aneh-aneh aja. Bikin duitku berkurang." sambil nyengir.

"Lha orang duit Mama juga kan kamu yang ngasih. Sama aja kamu beli sendiri. Entar kalo duit belanjanya abis juga Mama mintanya sama kamu kan," Mamak tertawa puas.

Dan sejak hari itu, betapa kemudahan-kemudahan di antara kesulitan dan ujian berdatangan. Menunjukkan bahwa, selama Mak-mu ridho, insyaallah Allah pasti ridho. 

-----

Kisah seleksi akan bersambung di postingan berikutnya ya. Stay tuned dan sampai jumpa! ;)












Comments

  1. terharu mba baca nya..... kern.... semoga tetap terus istiqomah dan diberikan kemudahan 😘😘😘

    ReplyDelete
  2. Wah mba terimakasih atas tulisannya.. Saya jadi semangat lagi untuk meniatkan S2 di luar negeri meskipun IPK pas2an :")

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts