The Chronicles of LPDP - Modal Bolu, Bakso, dan Baju Baru

Bagian 2

"Ya Allah, jika dari hati yang merasa disakiti ini Engkau gugurkan dosaku, aku rela ya Allah. Jika dari diri yang merasa didzolimi ini Engkau ganti dengan hal yang lebih baik, aku ikhlas pada ketetapan-Mu ya Rabb. Bukakanlah bagiku pintu-pintu yang tidak akan pernah tertutup, deraskanlah mata air yang tidak akan pernah kering, dari rejeki-rejeki yang halal dan baik bagiku. Agar aku bisa menjadi umat-Mu yang bermanfaat bagi sesamanya."

----
Jadi, ustadz Yusuf Mansyur (YM) pernah mengajari dalam salah satu kajian yang diisi oleh beliau. Kita itu boleh, menyebut amalan-amalan kebaikan kita saat berdoa dan meminta pada Allah. Kita juga boleh, mengadu tentang kesulitan-kesulitan, rasa sakit, bingung, dan sebagainya pada Allah. Karena memang kita hanya bisa mendapat pertolongan dari Allah.


Misalnya, Ya Allah tadi saya sedekah seribu perak ke pengemis. Emang nggak besar, tapi itu duit satu-satunya punya saya ya Allah. Mau buat beli air, tapi nggak jadi. Kasih hamba uang yang lebih banyak ya Allah. Nah ini dibolehkan.

Hasilnya yaa nggak dalam bentuk tetiba ada yang nimpuk duit segepok sih. Pasti, Allah berikan cara untuk menjemput apa yang tadi kita minta. Entah tau-tau ada orang minta tolong bawain barang dan udahnya dikasih uang kah, entah tau-tau ada yang lagi nyari tukang kebun kah dan orang itu bersedia beberes kebun. Nanti dikasih upah dari beberes kebunnya itu. Yang pasti, jalan Allah nggak pernah ketebak sama akal kita yang pendek ini.

Sama Allah mah gapapa lah ya cerita soal amalan kita. Yah kalo ke manusia mah ngapain nyeritain amalan kita, ya nggak? Dibilang sombong iya, pahala hilang juga iya.haha

Di lain kajian (yang kurang lebih isinya begini), ustadz Khalid Basalamah pernah menceritakan suatu riwayat tentang seorang pemuda yang sedang terbelit kesulitan. Pemuda tersebut difitnah, dan fitnah tersebut mengakibatkan ia harus dipenjara puluhan tahun lamanya. Ia bingung, karena ia benar-benar tidak bersalah, namun tidak ada saksi yang bisa mematahkan tuduhan yang dialamatkan padanya. Sebelum menjalani sidang, pemuda tersebut minta izin untuk bertemu seorang Syaikh, guru ngajinya. Ia diberi waktu satu jam lamanya.

Setelah bertemu Sang Syaikh, ia bertanya kepadanya tentang apa yang harus dilakukannya. Syaikh memberinya nasehat, "Pulanglah, bahagiakan ibumu."


"Tapi Syaikh, saya hanya punya waktu satu jam."


"Pulanglah," Syaikh menegaskan. "Dan bahagiakan ibumu."

Sang pemuda yang masih kebingungan, bergegas pulang. Sebelum tiba di rumah ibunya, ia membeli sebungkus nasi dan lauk-pauk kesukaan ibunya. Setibanya di rumah ibunya, sang ibu begitu bahagia menyambut putranya. Putranya itu hanya memberikan nasi yang ia beli untuk ibunya dan tidak menceritakan apa-apa soal kesulitannya.

"MasyaAllah, kau membeli nasi ini Nak?" Sang ibu nampak bahagia dengan nasi yang anaknya belikan. "Kudoakan lancar semua urusanmu, Nak."

Singkat cerita, pemuda tersebut kembali ke pengadilan. Tiba-tiba ada dua laki-laki yang hadir sebagai saksi bahwa hal yang dituduhkan kepada pemuda tersebut adalah fitnah. Entah dua orang tersebut datangnya dari mana. Yang jelas, pemuda tersebut dibebaskan dari hukuman dan kembali kepada ibunya.

--------------

And I am the living proof of those words.

Gimana ya mau mulai ceritanya?haha

Pertama-tama, bermimpilah. Saya kenal beberapa teman yang punya potensi sangat baik untuk berkembang. Tapi terhambat oleh dirinya sendiri. Karena bermimpi aja dia nggak berani. Berarti ga tidur --halah.
Salah satu gedung fakultas di Universiteit Maastricht. Ngimpi aja dulu :')

"Bahasa Inggris aku nggak bagus, Her."


"IPK aku juga ga cukup buat S2"



"Kalo aku kuliah, siapa yang nyari nafkah buat keluarga aku Her? Meski aku pengen banget pastinya."


dan lain-lain.

To be honest, saya juga demikian. Track record saya yang apa-banget-nggak-banget bisa diliat di postingan sebelumnya (bosan juga kalo harus cerita lagi.hha). Dan ditambah lagi, kondisinya ayah saya sudah meninggal. Tanpa meninggalkan harta, selain rumah untuk kami tinggali --alhamdulillah. Adik saya masih kecil-kecil, mereka harus sekolah dan butuh biaya. Ibuk juga tidak bisa bekerja.

Berbekal Beasiswa Bidik Misi, alhamdulillahilladzi bini'mathihi tathimusshalihaat, saya bisa menyelesaikan S1 meski dengan IPK syalala-oh-may-gat. Karena semasa kuliah, saya sambil cari uang, sambil organisasi juga.

Pembelaan? Iya sih sedikit. Tapi tak kasih tau ya, kuliah di IPB itu kalo dapet nilai C terlanjur apes: nggak bisa ngulang. Di kampus lain, nilai B aja kalo mau ngulang bier A yang nggak masalah. Di IPB, cuma nilai D dan E yang bisa ngulang.

Nggak papa. IPB mengajari kami bahwa dalam hidup, kita tidak bisa memperbaiki masa lalu. Tapi kita bisa belajar dari masa lalu dan memperbaikinya di masa berikutnya :') #tsaaahh banget nggak ini.hha

Saya juga kepikiran, kalo saya S2 mau di dalam ataupun di luar negeri, gimana saya cari nafkahnya ya?

Bingung, satu-satunya tempat saya nanya ya Allah. Saya dibiasakan dalam keluarga, setiap mau apapun, libatkan Allah. Bahkan sesepele mau makan apa hari ini, mau ngerjain apa hari ini, dsb. Kalo udah nanya Allah, ngambil tindakan apapun hasilnya selalu lebih efisien dibanding nggak nanya Allah dulu :') Alhamdulillaaahh. Tindakan berikutnya, nanya temen yang sekiranya bisa bantu jawab.haha

Saya putuskan, saya harus pakai beasiswa LPDP di Luar Negeri. Kalo nggak dapet LPDP LN, saya nggak usah jadi kuliah lagi. Karena uang sakunya banyak. Jadi nanti bisa menyisihkan buat kirim Mamak di rumah. Mwuahaha

Motivasi awalnya begitu. Tapi setelah dapet, Ah, sepertinya Indonesia memilihku untuk membangun dan memajukannya :') #eeaaa

Selanjutnya, yaa seperti yang umum dilakukan manusia-manusia pengabdi LPDP lainnya: menyiapkan segala keperluan untuk seleksi. Singkatnya begini:

Karena IPK saya kecil, maka saya harus punya LoA Unconditional untuk menggugurkan syarat tersebut. LoA Unconditional bisa didapat jika saya memenuhi seluruh syarat yang ditetapkan oleh kampus tujuan. Salah satu syaratnya adalah...jeng jeng... paspor dan sertifikat IELTS/TOEFL.


Berikutnya, terus memantaskan diri untuk apapun yang kita inginkan.


Dan perjuangan pun dimulai.

Saya punya keinginan untuk menjadi ahli di bidang Pangan & Gizi. Kampus mana dari list LPDP yang punya jurusan tersebut?

Umumnya, kampus memisahkan dua bidang tersebut. Kalo ga Food Science sendiri, ya Nutrition Science sendiri. Pun di IPB demikian. Maka, tantangan banget sih nemuin yang cocok. Makanya belum ketemu kamu juga --laaahh.

Spoiler Alert: ini salah satu jawaban dari pertanyaan saat interview

Karena saya ga punya preferensi harus di negara mana --asal nggak amriki dan yang penting belajar-- maka semua list kampus LPDP selain Amerika saya kepoin (ga pengen Amerika karena ribet ada syarat GRE sagala rupa.hha). Nemu lah di 3 kampus, yaitu Seoul Daehakgyo (Seoul National University, Korea Selatan), Lund University di Swedia, dan Maastricht University di Belanda. Setelah pokepo dan ta'arufan, singkat cerita insyaallah jodohnya Maastricht saudara-saudara :')
Doakan kami langgeng yaa.

*) Alasannya, SNU harus bayar formulir dan saya nggak punya uang, Lund pendaftarannya waktunya ga cucok kalo mau daftar LPDP pake LoA.

Landjoet. Syarat admisi di Maastricht itu Motivation Letter, Ijazah & transkrip in English, pas foto, IELTS, dan paspor. Nah dua terakhir itu yang butuh duit.hiks

Iya, jujurly, duit selalu menjadi ujian buat saya dan keluarga. Tapi alhamdulillah, selaluuuuu aja ada rejeki.

Saya curhat sama Mamak, sekitar bulan Mei 2016.

Herma: "Ma, aku pengen tes IETLS tapi harganya mahal. Hampir tiga juta coba Ma."
Mamak: "Mahal banget ya."
Herma: "Iya. Apa aku nabung ya, nyisihin uang 500 ribu tiap bulan. Tapi baru bisa ujian 6 bulan lagi kalo gitu."
Mamak: "Alah, Mbak. Uangmu kan habis terus buat urusan rumah. Entar bier Allah aja yang kasih, rejeki khusus IELTS. Kalo nabung malah uang rumah ga cukup gimana?"
Herma: "Iya sih. Yaudah lah ya, minta Allah aja lah."

Saya nggak tau kapan saya bakal punya rejeki untuk ambil IELTS. Saya tetap belajar, mempersiapkan kalau-kalau nanti ada rejeki, bier hasilnya maksimal dan bisa dipakai admisi. Emang, Allah tuh....bener-bener pembuat skenario terbaik.

Dia sengaja bikin saya ngemis-ngemis, sengaja bikin saya ga punya tempat minta tolong selain Dia, sengaja bikin saya selalu berusaha memantaskan diri untuk setiap yang saya minta.

Sekitar akhir Agustus 2016, salah seorang Mas-mas Kece (M) ngajak ngomong saya waktu kami mau jalan ke lapangan olahraga di kantor.

M: "Her, kamu mau tes IELTS nggak?"
Herma: "Ya mau lah Mas."
M: "Tapi kamu bisa dapet nilai bagus ga kalo ga ikut les?"
Herma: (feeling mau dibayarin tes IELTS) "Bisa Mas insyaallah. Aku udah belajar terus kok."
M: "Kamu bilang ke Mas Badai ya, kalo beliau acc entar saya daftarin."

Sepulang dari kantor, saya mampir ke toko kue. Saya beli sekotak Bolu Sangkuriang, kesukaan Mamak saya. Tapi Mamak jarang banget beli, karena yaaa uangnya abis buat beli lauk. Huehehe. Gapapa lah ya, duit udah tinggal buat beli bensin sambil nunggu gajian. Besok bekel indomie aja buat makan siang. Huahaha --malah seneng, emih kan enaaakkk.

Sampai di rumah, saya kasih kue ke Mamak. Diomelin dulu sih, takut saya udah ga punya uang. Terus saya cerita sama Mamak soal tawaran siang tadi. Dan Mamak mendoakan semoga memang rejeki. Singkat cerita, Mas Badai yang selalu mendukung saya sejak awal perjuangan saya itu menyetujui saya dibiayai tes IELTS.

Masyaallah.. Dan, alhamdulillah. Skornya sesuai yang diperjuangkan, sertifikatnya bisa dipakai daftar admisi :')

Misi berikutnya: Bikin Paspor

Ini juga nggak kalah bikin pusing, karena selain bikinnya ngantri dari sebelum Shubuh, harganya juga 565 ribu kalo ga salah :')

Yang saya lakukan berikutnya: pulang kerja beli bakso kesukaan Mamak. Nggak mungkin beli sebungkus doang tho? Mesti harus 4 bungkus. Saya dan adik-adik pasti pengen laaahh hahaha

Biasa lah ya, saya ngadu sama Allah dan Mamak soal paspor, setelah diomelin karena beli Bakso. Tapi dimakan juga. Mak, Mak. Dan lagi, Mamak selalu mendoakan, semoga nanti Allah yang biayai langsung.

Tak dinyana, dari kantor turun uang bonus sebesar sekitar separuh gaji yang kata teman lain udah ga turun selama empat tahun :')

Terharu nggak? Saya Ge Er banget, Allah sayang banget sih sama saya. Kayaknya baru Allah turunin uang itu pas saya kerja di situ deh. Tau aja nanti saya bakal butuh uang buat bikin paspor. Huaaaaaaaaaaa ya Allah T^T

Paspor done. Tinggal daftar admisi demi LoA. Huh Hah!!

Lanjut, daftar ke Maastricht University.

Lagi-lagi, ada keterangan biaya pendaftaran sebesar berapa euro gitu yang kalo dikonversi besarnya sekitar 1,5 juta rupiah. Tapi tergantung kebijakan masing-masing jurusan. Galau lagi lah. Tapi mulai biasa aja sih. Simple, kalo Allah ridho, pasti ada jalan. Dan ridho Allah, itu ridhonya Mamak. Stepnya sama ya, curhat lagi curhat lagi.wkwk

Ternyataaa jurusan saya nggak perlu bayar! Alhamdulillah Ya Rabb!!

Dan karena --lagi-- IPK saya kecil, alhamdulillah Maastricht ini ga ada syarat IPK. Tapi ada testnya dong :') Testnya persis sidang skripsi, tapi jauh lebih super duper horor pemirsah. Karena berbahasa Inggris dan profesornya satu orang Belanda tulen, satu lagi Prancis tulen. Tau yaa lidahnya orang Prancis itu lho kalo ngomong Inggris. Seksi-seksi piye ngono :')

Lagi, selalu ada kemudahan. Saya punya sahabat yang Masya Allah baiknya, saya ditampung di kosannya demi wifi yang lancar buat skype-an. Wis lolos, dikasih LoA, sujud syukur, bismillah~ daftar LPDP.

Habis keterima, saya galau dan cerita ke adik saya yang laki-laki pas di atas motor mau pulang.

"Rip, gue bisa dapet LPDP nggak ya?"

Jawaban adik saya entah mengapa sangat bijak. Padahal bajunya gue yang nyuci.

"Ga mungkinlah Allah PHP. Masa lu udah dikasih segala kemudahan buat IELTS, bikin paspor, sampe keterima, tapi ga dikasih duit buat sekolah. Ga mungkin Allah matahin semangat dan impian lu. Kalo dikasih kampus, ya dikasih duitnya juga. Allah mah baik, Allah nggak gitu."


"Iya ya. Kok lu abis gue beliin jus jambu jadi pinter sih.hahaha"


Habis itu, persiapan LPDP. Pendaftaran dibuka pas puasa kalo ga salah. Lagi, dengan uang THR, saya traktir Mamak belanja beli baju. Yang udah lama nggak beliau lakukan sejak Bapak meninggal :')

Mamak: "Jangan ah, duitnya disimpen aja, entar butuh lho."
Herma: "Mak, duit itu harus dihabisin. Yang dipakai itu baru rejeki kita. Kalo disimpen namanya bukan rejeki, entar dihisab lho. Udah buruan beli baju. Entar dapet lagi lah duit mah, cincaaaayyy."


-----------


Apa yang saya lakukan pada Mamak jelas nggak akan pernah sebanding dengan kasih sayangnya ya. Saya melakukannya cuma bier Mamak seneng, kayak yang diceritain ustadz Khalid. Selama ini baru cuma bisa bikin Mamak sedih, susah, dan diem-diem nangis.

Liat saya mimisan aja Mamak mah nangis bingung, lha anaknya mah cuma asik ngupil bersihin hidungnya pake tissue.hahaha 

Kalo Mamak senang, insyaallah urusan kita akan Allah mudahkan. Apalagi Mamak berdoa. Duh, kalo ibarat doa itu barang kiriman yang kudu make JNE bier nyampe langit, doa Emak mah beda. Kayak langsung nyampe di depan Allah, langsung dipungut sama Allah. Ga usah pake kurir lagi :D

Semoga kita sama-sama bisa mengambil hikmah dari cerita ngalor ngidul ini ya. Dan teman-teman yang punya modal lebih bagus dari saya, jangan patah semangat!

Akhirul kalam, nantikan episode berikutnya ya. Jangan bosen ;)


Comments

  1. Maasyaa allah.. Terharuu kakkk 😭 Love you because Allah kak herma💕 bkin ketawa jg ceritanya:v

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts