Yang Mengerikan dari Sebuah Pernikahan #2

Percakapan anak (sekitar 2 tahun) dan ibunya di sebuah angkutan umum...

anak : "Mama mama, itu burung ya?"
ibu : "he em.." (sambil buka instagram)
anak : "Mama mama, itu bus-nya jalan Ma"
ibu : "he em.." (sambil buka path)
anak : "Mama mama, itu ada dolaemon (re: Doraemon) ada dolaemon Ma" (si anak mulai ngeluarin tangan keluar jendela)
ibu : "he em.." (sambil narik ke dalam tangan si anak, lanjut buka Whatsapp)
anak : "Mama mama itu papa ngegandeng mama baru ya?"
ibu : "APAAAA?? MANA?? MANAAA??" (sambil gelagapan dan buang hape)


Well, itu adalah percakapan nyata yang hampir selalu gue temui setiap kali gue berpergian naik angkot. Kecuali dua percakapan terakhir yang hanya terjadi di dalem kepala gue karena gue beranjak emosi melihat kelakuan sang ibu yang asik sendiri sama hapenya.huehehe

Gue belum paham betul sih rasanya jadi seorang ibu, dan (sepertinya) lagi-lagi harus gue katakan bahwa gue belum siap ke arah sana jika harus terjadi secepatnya dan segera. Menghadapi anak kecil yang segala rupa benda, manusia, hewan, tumbuhan, tokoh kartun, budiran debu, partikel atom, gelombang magnetik, bakteri, cendawan makro mikro, apapun yang tertangkap bola matanya bakal jadi pertanyaan dan topik pembicaraan. Pertanyaan yang bahkan kalau dijawab benar dia nggak peduli kalau itu jawabannya, tapi kalau dijawab asal khawatirnya dia bakal inget itu selamanya. Kan ga lucu kalo nanti anak gue ditanya guru TK atau siapapun yang iseng tanya, "Kenapa cendol warnanya ijo?" terus dia jawab, "Bier mirip ingus saya Buuuu."

Bayangkan kalo gue mendadak besok jadi ibu.hahaha

Gue emang suka anak kecil. Banget. Kalo gue lontarkan pernyataan ini di hadapan temen-temen gue, pasti semuanya bakal tertawa dan mengatakan betapa dustanya gue. Muka gue sangar, gaya bicara gue keras, bahkan hobi gue ikut aksi mahasiswa (waktu masih mahasiswa), dan untung di wajah gue belum ada codet sisa tawuran. Kata mereka sih gitu. Imajinasi mereka selalu menyatakan: "Lu suka anak kecil buat lu apain Her? Lu makan? Lu sembelih? Apa lu buat eksperimen di lab?" Respon mereka selalu nggak jauh dari situ kalo gue bilang gue jago ngasuh anak kecil. Tapi pembelaan gue, semua itu adalah fitnah belaka! Sungguh, gue adalah wanita sejati yang hatinya kuat dan rapuh di saat bersamaan. Apalagi melihatnya bersama yang lain, komen-komenan sama yang lain, aku cemburu, aku rapuh... 

Abaikan yang terakhir.

Sayangnya, anak kecil bukan sekedar boneka hidup yang lucunya nggak bisa ditawar lagi kadar lucunya. Bukan mainan yang cuma bisa didandani dengan gonta-ganti baju yang aduhai imutnya. Biasanya anak kecil nggak peduli juga sih dia dipakein baju apa. Iklan popok instan daya serap tinggi aja selalu menampilkan bayi 'mengumbar aurat' kan, bayi-nya hepi hepi aja. Kita orang dewasa yang heboh gemes sendiri (terutama kaum hawa) kalo ngeliat baju-baju bayi dan anak kecil yang 'boros' itu. Bayi-nya? Ga peduli.

Iya baju-baju bayi dan anak kecil itu boros. Karena bayi dan balita sedang dalam masa pertumbuhan yang pesat-pesatnya, jadi pakaiannya cepet nggak muat. Dan pakaian bayi-balita seringnya lebih mahal daripada pakaian dewasa. Dipikir punya bayi lucunya aja!

Dengan membaca beberapa paragraf di atas seharusnya sudah keraba ya topik tulisan kali ini mengarah ke mana. Iya, gue pengen membahas yang satu ini lebih dulu dibanding poin-poin lain yang udah memberondong pikiran gue sejak lama soal pernikahan. Anak dan segala rupa yang menyertainya merupakan salah satu bagian dari Yang Mengerikan dari Sebuah Pernikahan --musik horor mengalun di kejauhan.

Sebelum lanjut, poin penting yang ingin gue tegaskan dari tulisan-tulisan gue dengan judul-judul terkait adalah sebagai upaya Gerakan Stop Galau Soal Nikah (GSGSN). Bukan untuk menakut-nakuti yang belum menikah, apalagi memojokkan mereka yang sudah menikah. Buat yang belum menikah, semoga tulisan-tulisan gue ini bisa membantu menenangkan hati dan berpikir lebih jernih -- toh gue sendiri juga belum menikah. Dan buat yang sudah, mohon bimbingannya untuk meluruskan pikiran-pikiran dalam tulisan ini jika ada yang melenceng. :)

Back to the main topic. Saat ini gue bekerja sebagai guru di lembaga bimbingan belajar. Sudah tiga lembaga bimbel yang pernah gue explore sebagai tempat ikhtiar menyambung hidup dan menyalurkan hobi ngajar sejak masih kuliah hingga hari ini. Berbagai macam karakter anak dari latar belakang yang berbeda, jenjang usia yang bervariasi, lingkungan yang macam-macam, hingga bentuk pergaulan yang udah ga bisa dikotakkan dengan sekedar 'alay dan tidak alay' lagi. Ada yang belajar dengan tekun dan mendengarkan gurunya dengan seksama. Ada yang asik main hape dari bel masuk sampai bel keluar. Ada yang di tengah KBM (kegiatan belajar mengajar) mengajak bermain, ada yang di tengah KBM minta cut dan izin curhat --iya bener-bener curhat. Dan segala rupa kelakuan lainnya yang unpredictable

Suatu hari, setelah sekian lama gue mengajar SMP dan SMA, akhirnya gue kebagian mengajar anak kelas 3 SD. Bayangan gue selama ini adalah anak SD itu rusuh, rame, maunya main melulu, susah diatur, dan bayangan mengerikan soal anak kecil lainnya. Dan benar --meski ga selamanya benar. Ada satu anak yang ketika gue minta mencatat pelajaran justru berseru-seru "Maunya main, Miss. Ayo Miss Herma, kita main ajaaa..." Dan gue ladeni dia bermain selama 10 menit. Kemudian gue kembali minta dia mencatat dan latihan soal. Tapi dia kembali merajuk, "Yaudah kalo Miss gamau main, aku mau pulang aja." Dan dia udah ngegendong tasnya. Okay, you got me baby. Daripada gue yang nggak dapet gaji.

Setelah main, ada kejadian mengharukan. "Dek, kok maunya main melulu si? Emang di rumah nggak main? Kalo di sini kan harus belajar, nanti mainnya di rumah."

"Nggak mau Miss. Aku ke sini kan nyari temen main. Di rumah sepi, aku ga ada temen main. Aku habis dibeliin yoyo ini kemarin malem Miss. Ini 300 ribu lho Miss harganya. Kalo gelap bisa nyala."

Gue menelan ludah sambil melirik yoyo di tangannya. Yoyo itu lebih mahal dari upah gue sekali ngajar dia.  "Lho kenapa? Emang sendirian?" tanya gue dengan lembut dan (sok) penuh perhatian.

Si anak manut-manut sedih sambil ngotak-ngatik yoyo-nya. "Papa mama kerja melulu. Kalo udah pulang nggak mau diajak main. Jadinya aku mainnya di sini, Miss." Tapi namanya anak kecil yang udah dari sana disetting waktunya bermain, ya kumat lagi. "Miss, ayo sekarang Miss mainin yoyo-nya!" Dear Papa mama yang asik bekerja, tolong selamatkan gue please

Teori Perkembangan Anak

Waktu kuliah semester 5, gue pernah ambil mata kuliah Psikologi Anak buat hiburan dari cekaman biokimia yang melelahkan. Di matkul tersebut, gue bener-bener terlarut dalam dunia tumbuh kembang manusia. Hal ini dikarenakan, gue belajar sambil mengaitkan teori-teori yang ada dengan tumbuh kembang diri gue sendiri dan adik-adik gue. By the way, gue punya dua orang adik yang jarak umur masing-masing di antara kami cukup berjauhan; anak kedua saat ini kelas 12 SMA dan anak ketiga kelas 6 SD. Jadi, gue sempat mengalami yang namanya mengasuh dan merawat mereka. Terutama adik yang paling kecil, karena ketika dia lahir, gue saat itu berusia sebelas tahun. Mulai dari mandiin, makein pakaian, ngajarin jalan, ngajarin naik sepeda, cara menghadapi kerasnya kehidupan, sampe ngajarin cara melawan kebathilan, semua gue lakukan.

Ada teori di Psikologi Anak yang menyatakan bahwa Golden Age (0-5 tahun) merupakan fase penting pada kehidupan manusia. Karena di usia inilah anak sangat memerlukan banyak sekali nutrisi penting serta kelekatan (attachment) dengan orang tua, terutama ibunya. Di fase ini pondasi pembentukan karakter anak bisa dibentuk.

Gue pribadi belum mengalami mendidik anak secara langsung, tapi bagaimana pengalaman mengasuh adik-adik gue cukup bisa dijadikan acuan. Kebetulan sesuai teori. Teori perkembangan anak menyatakan bahwa pada usia 2-6 tahun, anak mulai mengerti bagaimana interaksi dengan lawan jenis melalui interaksinya dengan kedua orang tuanya. Anak laki-laki akan berusaha mencari perhatian ibunya dan menganggap ayahnya adalah pesaingnya. Sehingga ia akan meniru sifat dan perilaku sang ayah untuk mendapatkan perhatian ibunya (immitating). Begitu pula dengan anak perempuan yang akan meniru bagaimana ibunya bersikap dan bertindak untuk mendapatkan perhatian ayahnya.

Bagaimana jika anak jarang atau bahkan 'kurang mengamati' kedua orang tuanya?

Gue beri sedikit gambaran. Apa bayangan lo ketika lo mendengar kata 'anak SD'? Tiap kali gue diminta untuk mengajar anak SD, otak gue memberikan gambaran bahwa anak SD adalah sekumpulan manusia-manusia yang baru lahir paling lama sebelas tahun, pake rok merah kemeja putih, imut-imut, suka bermain, meski rusuh tapi cukup menghibur dibanding harus ngajar SMA dan ikut pusing ama tugas-tugas mereka. But I found it disappointing.

Bayangan gue soal anak SD yang masih lucu sirna sudah. Mereka nggak selucu kawan-kawan gue dan gue sendiri di tahun 90an dulu. Anak-anak SD masa kini adalah mereka yang memakai celana jeans dan kaos ketat ke tempat les, membicarakan segala rupa update-an media sosial kekinian (instagram, path, WA, LINE, BBM, dsb) dan bahkan sudah 'menghina' Facebook kampungan. Adalah mereka yang minta izin ke gue untuk menyetel musik sambil belajar, dan lagu 'balonku' sudah tenggelam bersama kenangan masa muda gue. Lagu-lagu barat, Jepang, Korea, dan lagu-lagu Indonesia ter-update mengalun dari ponsel-ponsel canggih mereka. Obrolan mereka pun nggak jauh dari si ini baru jadian dengan si anu, artis ini meluncurkan film baru. Nggak bisa digeneralisir sih, tapi mayoritas kelas anak SD yang gue temui ga jauh beda.

Waktu itu gue mengajar hari Sabtu sore, jelang malam Minggu kelabu. Salah satu dari murid-murid kelas 6 SD bertanya pada gue, "Mbak, mbak udah nikah belum si Mbak?" Gue jawab, "Belum," sambil nerusin nulis materi.

"Punya pacar nggak Mbak?" tanya yang lainnya. "Enggak. Ayo lanjut kita bahas tentang 'Leave Taking' yaa.." gue menjawab singkat dan memulai KBM kembali.

"Yaaaahh Mbak jomblo dooongg...!" sahut yang lain setelah gue menjawab bahwa gue nggak punya pacar.

"Ayo, perhatiin duluuu..."

"Mbak jomblo ngenes dong ya? Kalo aku jomblo tapi nggak ngenes."

"Yah elo sama si Miss Herma sama aja jomblo. Gue dong nggak jomblo."

"Yaelah, cowok lu anak ****** (menyebut nama sebuah SD di suatu daerah) kan? Gue liat kemarin. Ih jelek banget! Lobang idungnya cuma dua!"

"Mba Herma joneeess.... Miss Herma joneeesss... Miss Herma joneeesss.."

Kelas mulai kacau balau macem hewan sirkus lepas tak terkendali. Gue pun berteriak, "Assalammu'alaykuuuumm... ayo kita belajaaarrr..."

"Wa'alaykumsalaaaamm Joneeeeeessss..."

Dan dari sanalah bermula bagaimana mereka memanggil gue Ms. Jones.

Di ruangan itu batin gue menangis. Bukan karena fakta gue emang masih menjomblo dan mereka mempermainkan status yang gue pertahankan dengan kemuliaan di hadapan Allah tersebut --tsaaahh. Tapi karena mereka bukanlah anak SD yang seharusnya masih lucu dan bisa dibodohi --hloh. Gue yakin, nggak ada orang tua yang nggak teriris batinnya kalo mereka tau bagaimana perilaku anaknya ketika sedang tidak bersama mereka. Gue yakin, orang tua mereka pasti orang baik-baik, insyaAllah. Orang tua yang mengharapkan yang terbaik buat anak-anaknya. Gue yakin, nggak ada orang tua yang (dengan sengaja) mengajarkan hal-hal nggak baik ke anak-anaknya. Kecuali tanpa sadar, orang tua punya peran terhadap perilaku negatif dari anak-anaknya sendiri. 

Pertanyaannya : sudahkah para orang tua selalu ada (atau minimal memiliki porsi waktu yang besar) untuk anak-anaknya sehingga dapat menjadi contoh dari perilaku yang baik?

Allahua'lam. Gue nggak bisa semena-mena menuduh orang tua mereka. Tapi dari beberapa contoh yang gue alami, gue khawatir sebenarnya perilaku mereka adalah dikarenakan mereka mencontoh apa yang mereka lihat. Dan apa yang mereka lihat, bukanlah contoh yang baik.

Gue merasa teori yang sebelumnya gue sebutkan --tentang bagaimana anak berusaha mencari perhatian orang tua yang berbeda jenis kelamin dengan dirinya-- ada benarnya. Gue mengamati dari apa yang dilakukan adik-adik gue dan apa yang gue sendiri lakukan. Memang benar, mayoritas anak perempuan lebih dekat/manja dengan ayahnya dan menjadikan ibunya seperti teman curhat. Sedangkan anak laki-laki lebih manja pada ibunya dan cenderung menjadikan ayahnya rekan diskusi. Bagaimana jika pada masa di mana sang anak harus mencari 'panutan' atau contohnya dalam bersikap, sosok orang tuanya digantikan televisi dan ponsel canggih yang isinya udah nggak edukatif lagi?

Mendidik anak zaman sekarang jelas nggak semudah mendidik anak di masa kita, generasi 90an masih anak-anak. Meski mendidik anak emang nggak akan pernah mudah. Bukankah Allah menjanjikan surga bagi kedua orang tua yang berhasil mendidik anak-anaknya menjadi anak yang sholeh dan sholeha? Kalau mendidik anak itu gampang, pasti untuk mendapatkan surga perintahnya bukan lagi 'mendidik anak'. Mungkin mendidik harimau dan gajah agar pandai mengaji atau mengajak beruang grizzly untuk berbusana syar'i. Mungkin hadiah mendidik anak hanya sebuah piring cantik, bukan surga. 

Lagi, ini kesaksian dari adik gue yang masih SD. Gue inget saran Rasulullah untuk memisahkan tempat tidur anak-anak ketika mereka beranjak dewasa. Tapi berhubung di rumah gue terdapat keterbatasan ruang dan tempat tidur, akhirnya gue tetep tidur sama adik perempuan gue yang masih SD. Setelah baca doa dan ritual sebelum tidur lainnya, gue biasanya menyelipkan sedikit perbincangan dengan sang adik yang masa tumbuh kembangnya berbeda zaman dengan gue. Bier gue masih bisa mengontrol pergaulannya.

Suatu ketika sebelum tidur dia cerita. "Iya tau Mbak, si Mawar (bukan nama sebenarnya, sebut saja demikian) itu udah pacaran. Gue pernah pinjem hapenya dan baca-baca sms sama BBM-nya."

"Terus isinya apa?"

"Dia manggil cowoknya Abi coba. Terus cowoknya juga manggil dia Umi. Ih geli gue." Muka gue mendadak pucet ngedengernya. "Ada juga yang manggilnya Papa-Mama."

"Isi BBM-nya tuh gini, 'Umi, nanti Abi mau ke rumah ya. Mau beli makanan dulu. Umi udah makan belum?' gituuuu..."

"Cowoknya udah gede?" tanya gue.

"Udah. Tukang cilok deket sekolah."

Nggak tau gue mau ketawa ampe pingsan atau nangis terpingkal-pingkal. Bukan, bukan maksud gue menghina profesi, sama sekali bukan itu. Tapi adalah soal bagaimana anak SD yang usianya baru sebelas-dua belas tahun sudah meniru gaya pacaran remaja usia jelang dewasa muda. Dan temen sekelas adik gue pun nggak hanya si Mawar yang pacaran. Ada berapa pasang lainnya, bahkan anak kelas 6 dan kelas 5 SD. Gue yakin, nggak mungkin kan dia mendapat perilaku ini dari meniru orang tuanya??

Adik gue sendiri pernah ngambek minta dibelikan smartphone. Gue selalu menyampaikan dengan tegas ke Mama gue sebagai orang tuanya bahwa si Adik belum butuh itu. Nanti kalau dia udah SMP baru boleh pegang hape, tapi tetap bukan smartphone. Gue sama sekali tidak merekomendasikan semua adik gue untuk pegang smartphone sebelum kuat iman. Untuk keperluan internet masih bisa menggunakan modem dan laptop di rumah di bawah pengawasan gue. Setidaknya itu yang bisa gue lakukan untuk menyelamatkan adik-adik gue dari cekaman zaman yang semakin edan. Alhamdulillah mereka mau ngerti, meski konsekuensinya smartphone butut milik gue harus jadi korban penggunaan berjamaah dan semuanya dikepo.

Bagaimana anak kita kelak harus mengalami tumbuh kembangnya?

Anak.... kita....? eeeaaa intermezzo dikit.

Apakah hanya dengan menyenangi anak kecil dengan penuh nuansa galau ingin punya anak sendiri sudah cukup untuk menghadapi kerasnya masa di mana anak-anak generasi kita tumbuh nanti? Apakah dengan aplot foto di sosmed sambil mencium anak kecil milik tetangga sudah cukup untuk menunjukkan bahwa kita siap menjadi orang tua? Apakah dengan mengajak anak kecil bermain kemudian diledekin 'wah udah siap nih jadi ibu' benar-benar bisa membuat kita jadi ibu yang baik?

Kalo ngikutin jalan pikir gue emang seolah-olah everything feels ribet. But that's the fact, bro. Faktanya mendidik anak menjadi sebaik-baiknya manusia yang berkeprimanusiaan dan mengenal Tuhannya dengan baik jauuuuuhh lebih ribet dibanding mendapatkan mereka. Siapa bilang Allah memberikan anak hanya pada pasangan yang siap merawat, membesarkan, dan mendidik anaknya? Nyatanya banyak sekali pasangan yang secara sadar tak sadar justru mengabaikan anak-anaknya setelah mendapatkannya.

Karena anak selain anugrah, ia juga hadir sebagai ujian. 

Persiapan menjadi orang tua nggak semudah persiapan menghadapi SBMPTN. Nggak sesimpel apa yang di kajian-kajian atau buku-buku parenting katakan. Tapi setidaknya memang bisa dijadikan bekal di perjalanan. Karena medan perang emang selalu unpredictable dan (semoga berhasil) memaksa kita benar-benar learning by doing

Masih galau soal menikah yang enaknya aja? Think again, bro. Juntrungan --halah bahasa apa ini-- dari sebuah pernikahan adalah hadirnya anak. Nggak ada anak rumah tangga pasti ada yang kurang, ada anak juga jadi nggak bisa sembarangan. Masalah berkaitan anak berikutnya muncul ketika harus memilihkan pendidikan formal baginya.... [bersambung ke part 3]
---

Karena nikah nggak hanya seimut nyubit pipi akhwat atau memeluk mesra pinggang ikhwan! Karena nikah tujuannya harus ke surga, pasti nggak semudah naik angkot dari Cibinong ke Darmaga!

Bersambung ke Yang Mengerikan dari Sebuah Pernikahan #3

Terima kasih untuk masih bersedia membaca. Semoga bermanfaat :)

Comments

Post a Comment

Popular Posts