Yang Mengerikan dari Sebuah Pernikahan #1

Judulnya aja udah mengerikan ya? Engga, tulisan ini bukan kampanye anti nikah dan membelot ke 'lagibete'. Tulisan ini murni uneg-uneg yang pengen ditumpahkan sejak dulu. Cuma belum tau gimana harus menumpahkannya. Jadi, kalo ada yang seneng ya Alhamdulillah. Kalo kesinggung ya mohon dimaafkan. Piknik dulu yuk? ;)


Berhubung tepat sebelas hari lalu akhirnya gue menginjak usia 23 tahun. Usia di mana gue tidak lagi bisa disebut remaja atau anak muda. Tapi dibilang tua pun engga. Tapi di usia ini pun gue belum jadi apa-apa. Duit ga ada bedanya dari jaman mahasiswa. Sebagian dari orang-orang di usia ini ada yang beruntung sudah bekerja dengan penghasilan yang ga bisa dibilang biasa --inget bayar pajak dan zakatnya ya. Dan sebagian besar lagi yang mendominasi, harus rela kerja apapun dengan status fresh graduate dengan status yang-penting-cari-pengalaman, penghasilan mah bonus sampingan. Sedangkan tuntutan dan ujian hidup pun berkembang dan datang bertubi-tubi menjadi-jadi. Yakin, ga ada satupun manusia yang mau dibilang ujian hidupnya gampang. Semuanya merasa paling kesusahan. Termasuk kalo ditanya: "Kapan mau ngundang? Ga bosen kondangan doang?"

Topik itu ga akan ada ujungnya kecuali ya lo, gue, dan kita semua yang berada di kisaran usia yang sama nyebar undangan. Bukan undangan khitan lho ya. Undangan pernikahan. Agak serem aja kalo tau-tau gue dapet broadcast undangan yang mencantumkan nama seorang rekan gue (entah temen kelas, organisasi, atau mantan cemceman) tanpa didampingi nama seorang perempuan. Itu khas undangan khitan kan.

Abaikan. Efek tetangga lagi gelar hajatan khitan anaknya.

Di usia ini pun, siapapun di antara kita, yang rejekinya udah ada yang Maha Mengatur dan punya takarannya masing-masing, wajib kudu musti menyisihkan sebagian dari penghasilan untuk Anggaran Kado Pernikahan. Waktu gue SMA, kalo gue ke kondangan pernikahan pasti perginya sama Mamah. Makan apapun yang pengen gue coba, amplopnya ditanggung Mamah. Kalo sekarang? Cara berhemat paling baik ketika dalam sebulan lo dapet sekitar 6 undangan pernikahan adalah selalu mendapatkan partner patungan kado. Repot emang jadi orang yang banyak kenalan *gaya sedikit.

Perihnya ga sampai di hanya sekedar membuat Anggaran Kado Pernikahan. Tapi jujur deh, pasti tiap kali nerima undangan ada terbesit pertanyaan, "Gue kapan ya ......" Ngaku! Kalo ga jujur, awas jodohnya nyangkut antara langit dan bumi. Persis pahala puasa Ramadhan yang belum dibayarin zakat fitrahnya.wkwk

Pertanyaan-pertanyaan sejenis pun ga berhenti memberondong gue. Termasuk pekan lalu saat gue menemui dosen pembimbing skripsi untuk bersilaturahim dan berkonsultasi soal karir dan masa depan gue. Iya, alhamdulillah gue masih menyambung silaturahim dengan kedua PS gue jaman S1. Apalagi Sang Bapak ini adalah dosen yang sholeh dan bijaksana. Adem kalo habis dikasih wejangan, bahkan setelah pertempuran gue dengan skripsi berakhir.

"Gimana, Herma jadi ambil S2? Udah sejauh mana persiapannya?" Sang Bapak mengawali pembicaraan. Saat itu di ruangan beliau ada satu orang dosen lagi yang baru saja pulang dari Jepang untuk menyelesaikan S3-nya. Sebut saja Sang Bapak Lain

"Iya insyaallah jadi Pak. Ini makanya saya pengen konsultasi dengan bapak terkait riset dan persiapan lainnya." jawab gue sambil mainin ujung kerudung karena grogi. Perasaan baru kemarin gue nangis-nangis tiap penelitian gue mentok dan konsultasi di ruangan ini pula. Sekarang gaya banget udah ngerencanain riset lagi. Siap-siap nangis lagi.

"Yakin mau di Indonesia aja? Nggak pengen ke luar negeri aja? Saya malah pengennya endorse kamu ke luar negeri."

"Iya, pengen juga Pak ke luar negeri kalau ada kesempatan. Tapi saya fleksibel sama semua peluang Pak. Yang penting buat saya adalah tetep lanjut buat S2. Bayar dosa S1 Pak." Kemudian Sang Bapak tertawa mendengar kata-kata 'bayar dosa'. Berhubung Sang Bapak tahu betul prestasi gue yang benar-benar ternoda. 

Tiba-tiba Sang Bapak Lain ikut menyahut di tengah obrolan kami. "Kamu harus nikah dulu kalau mau kuliah ke luar negeri, Herma."

Ya Allah, haruskah topik ini muncul?? Hamba sudah cukup teraniaya dengan perintah, pernyataan, saran, masukan, kritik terkait topik ini Ya Allah. Bahkan ketika itu temen gue yang ditanya, "kapan mau nikah?" kadang malah gue yang baper. Apalagi keputusan untuk lanjut S2 segera salah satunya karena belum ada gejala ada yang akan khilaf dan mau menikahi gue.hahaha

"Belum bener-bener kepikiran ke arah sana Pak." Ini benar-benar jujur. Karena antara 'Ingin Menikah' dan 'Siap Menikah' berada di ruang yang berbeda. Beda juga sikapnya. Sedangkan gue, rasanya baru sekedar ingin karena faktor umur yang mulai memasuki fase itu. Meski Para Kompor Ikhlaskan atau Halalkan (PKIH) --halah-- di luar sana selalu membela diri dengan pernyataan "Kalau mikir 'belum siap' mulu, sebenarnya ga ada orang yang benar-benar siap menikah!"

Dikata nikah sama kayak memutuskan miara kucing.

"Wah, harus dipikirkan dong. Usia kamu kan udah masuk usia untuk menikah." Sahut Sang Bapak.

Batin gue berkata, duh Pak, usia saya nih bukan lagi masuk usia untuk menikah. Temen-temen saya banyak yang udah punya anak. Ibu saya pun di usia yang sama dulu udah melahirkan saya. Sedangkan saya baru melahirkan ijazah 3 bulan lalu. Jahitan lukanya juga belum kering. Tapi urung gue nyatakan. Alih-alih bier asik, gue malah menimpali, "Belum ada yang khilaf mau sama saya Pak."

Sontak kedua dosen di ruangan itu tertawa puas. Dan gue melanjutkan bicara dengan berani, sambil berharap (sedikit) mana tau rejeki, "Cariin calonnya atuh Pak." Sang Bapak yang duduk di hadapan gue makin tertawa ngakak. 

Sang Bapak Lain menimpali, "Hah cariin? Moso ga bisa nyari sendiri udah segede gini?"

"Makin 'gede' justru makin susah buat nyari sendiri Pak." sahut gue lagi-lagi dengan mempermalukan diri sendiri. Sedih sebenernya, susah emang kalo ga cantik. Ditambah lagi gendut. Iya silahkan ketawa, gue ikhlas. Udah biasa.

"Huahahaha saya paham maksud 'gede' yang kamu bilang," Sang Bapak Lain yang dari percakapan ini gue rasa tipe humoris, menyahut lagi. "Yaudah mana sini CV kamu. Bier saya pajang di mading Biokimia tuh di depan."

Well, bercanda yang menistakan diri gue yang emang udah bertumpuk-tumpuk aib, apalagi soal kejombloan yang menjadi-jadi, gue udah kebal banget. Tapi berhubung ini dosen yang ngomong, rasanya agak perih-perih gimanaaa gitu. Tapi gue tetep stay cool dan ikutan ketawa sih (menertawakan diri sendiri). "Ga sekalian aja Pak di bukalapak.com" Dan lagi, kedua dosen di ruangan itu tidak mampu menahan luapan tawa yang mengguncang ruang kerja mereka.

Biarin, seenggaknya hari ini gue udah sedekah kebahagiaan.

Sepulang dari ketemu dosen, di perjalanan pulang gue juga jadi kepikiran. Jodoh gue lagi ngapain ya? --abaikan kalimat terakhir ini.

Gue pribadi punya pendapat, ketika ada orang yang bertanya pada gue, "Lo kapan mau nikah Her?" meski itu dengan nada bercanda atau menggoda, bagi gue itu pertanyaan persis kayak bertanya, "Lo kapan mau mati Her?"

Bedanya kalo ditanya kapan mau nikah, gue bisa menjawab, "Ya doain aja segera." Kalo ditanya kapan mau mati.... sejauh ini belum pernah ada yang mau nanyain sih. Paling sekedar ngancem-ngancem manja, "Lo udah bosen hidup ya??" sambil ngacung-ngacungin gunting kuku.

Karena jodoh itu persis sama kematian. Sama-sama nggak bisa dipercepat atau diperlambat kedatangannya. Sama-sama nggak tau bakal di mana dan bagaimana dipertemukannya. Sama-sama udah diatur takdirnya sejak kita dalam kandungan. Sama-sama cuma bisa ditentukan kualitasnya dengan usaha-usaha kita sebelum bertemu dengannya. Mau mati khusnul khotimah atau su'ul khotimah. Mau ketemu jodoh yang baik atau yang buruk, semua tergantung kualitas diri kita sendiri. Bedanya jodoh harus diikhtiarkan, kalau kematian dosa jika diikhtiarkan.

Sebagian besar dari kita seringkali risau dengan masalah jodoh dan pernikahan ini. Entahlah, macam-macam faktornya. Gue bicara dari sudut pandang perempuan ya, karena mungkin kalau dari sudut pandang laki-laki beda lagi. Katanya godaan syahwat makin mengerikan di era globalisasi ini. Tapi gue sendiri ga ngerti godaan syahwat itu yang macem mana. Jadi, ya sudahlah gue bicara sebagai perempuan aja --yaiyalah.

Sejak SMA, gue terjerumus ke jurang kebaikan (insyaallah) bernama rohis. Sejak SMA gue bergaul dengan teman-teman aktivis masjid. Meski nggak mengurangi juga intensitas pergaulan gue dengan anak-anak 94H03L di masa ababil gue selama dalam batas kewajaran. Dan hawa-hawa galau ingin menikah tumbuh subur di lingkungan ini. Iya, anak SMA di masa gue aktif rohis banyak yang ingin segera menikah, jauh lebih dari keinginan makan semangkok baso ketika kelaparan dan di luar sana sedang hujan. Bahkan saat ini ketika gue sudah setua ini gue mengajar dan membina siswa SMA, gue jumpai semakin banyak kegalauan yang mengerikan di antara mereka. Sampai ketika kebetulan gue sedang di mushola dan akan melaksanakan sholat bersama murid-murid gue, beberapa di antara mereka membicarakan pernikahan dengan sangat excited.

"Kalo nikah kan enak, ke mana-mana ada yang nemenin dan nganterin. Ada yang ngelindungin. Ngerjain tugas ada yang ngebantuin. Aaaaaaaaaaaa" dan semua temen-temennya berteriak 'aaaaaa' dengan histeris dan merona bahagia. Gue yang kebetulan lagi ngegulung lengan baju buat wudhu malah jadi bengong dan saling tatap dengan seorang guru lain yang dua tahun lebih tua dari gue. Kami sama-sama bengong karena kami berdua adalah lulusan sarjana yang masih membujang, sedang mereka adalah siswa kami yang bulan depan akan Ujian Nasional dan SBMPTN. 

"Susah-susah pusing-pusing kita nyiapin buat mereka UN, SBMPTN ampe jomblo gini, mereka malah galau begitu." kata Mbak Ambar, guru yang tadi saling tatap dengan gue.

"Hng, iya sih mba, nyiapin mereka buat ujian emang bikin pusing, tapi kayaknya penyebab kita jomblo pun bukan itu deh mba."

"Iya juga sih." kemudian kami berdua hening dan mengambil wudhu untuk menghilangkan musik sedih yang mengalun dalam kepala kami masing-masing.wkwk

Well, anak-anak itu tadi adalah aktivis rohis juga. Persis gue jaman muda. Tapi gue sangat menyayangkan jika menjadikan keinginan segera menikah ini karena pelampiasan dari tidak menjalani aktivitas pacaran. Terutama bagi aktivis-aktivis yang berkecimpung di lingkungan yang (terlalu) baik seperti mereka ini.

Gue pun tidak membenarkan aktivitas pacaran, jelas salah. Mana ada sebuah pernikahan yang dalam Al-Qur'an saja disebut sebagai Mitzaqan Ghaliza (Perjanjian Agung) disiapkan dengan kegiatan yang jauh dari berkah Allah seperti pacaran. Nggak ada ceritanya menjadi suami atau istri yang baik bisa dilatih dengan saling memanggil Abi-Umi, Papa-Mama pada teman sepermainan yang duit aja masih nyopet dompet emaknya. Kasusnya beda antara anak SMA yang ribut ingin menikah dengan yang masih sibuk rebutan ini cowok gue ini cowok elu.

Gue sendiri nggak pernah mengalami aktivitas pacaran. Bahkan ketika teman-teman sepermainan gue sudah mulai berpacaran sejak SD. Sampai Mamah gue yang notabene-nya orang awam pernah khawatir kalo gue punya kelainan orientasi seksual waktu gue kelas 2 SMA karena beliau melihat gue seperti tidak pernah menaruh minat pada makhluk bernama laki-laki. Hal ini terjadi karena gue adalah orang yang paling nggak bisa nganggur barang semenit aja. Sejak SD gue selalu punya seabreg kegiatan yang gue lakukan di luar jam sekolah. Entah itu les bahasa, les musik, dan kegiatan organisasi atau ekskul lainnya. 

Gue khawatir, murid-murid dan binaanku tercinta yang sedang merasakan kegalauan dan fantasi menyenangkan soal pernikahan adalah karena kurang kerjaan. Eh bukan kurang kerjaan, maksudnya tidak terlalu sibuk sehingga dalam pikirannya ada celah untuk terganggu pikiran lain. Mau dibilang wajar juga wajar juga sih. Sudah fitrahnya manusia untuk menyukai lawan jenisnya. Dan tidak ada yang lebih indah bagi dua orang yang saling mencintai selain pernikahan. Tapi bukan berarti virus galau ini harus dipelihara dan semakin meliar dalam jiwa. Sayangnya, sudah terlalu banyak orang yang berlindung di balik fitrah ini. Kan sayang, di usia muda yang produktif, di mana seharusnya seorang manusia bisa memperbanyak soft skill dan pengalaman luar biasa lainnya harus terhambat karena kegalauan yang ga jelas ujungnya di mana.

Jujur aja, gue emang pernah galau waktu SMA. Ya benar, sebabnya adalah menahan diri dari aktivitas pacaran. Meluncurlah kata-kata puitis nan galau di status-status facebook gue. Status yang ketika gue baca di masa sekarang akan membuat bulu kuduk gue merinding dan ilfeel ama diri gue sendiri. Seolah-olah orang yang menulis status tersebut berbeda dengan orang yang hari ini di-bully dosennya sendiri dengan CV-nya mau dipajang di mading departemen yang meluluskannya dengan gelar SSi (Sarjana Siwer). Gue inget sensasinya pada hari dimana gue menahan rindu dan galau dengan menumpahkannya di status itu. Betapa tersiksanya gue sampe ga bisa lagi mikir buat belajar. Hawanya juga males mau ngapa-ngapain. Bener-bener ga produktif dan ga guna. Dan gue rasa, meski udah seusia gue hari ini sekalipun ketika terserang galau ya hawanya sama aja.

'Cinta dalam diam' adalah dalih yang sering gue gunakan di kala itu. Iya, cinta dalam diam. Atau diam-diam mendoakanmu menjadi takdirku. Yaelaaaahh, gue inget banget waktu itu gue sok puitis aja, nggak bener-bener menyebut yang-bersangkutan-penyebab-kegalauan gue itu dalam doa-doa gue. Peduli amat. Dia aja nggak tau kalo gue suka. Lha gimana orang bisanya diem aja.hahaha

Tapi 'cinta dalam diam' dan 'diam-diam mendoakan' sama sekali bukan solusi, apalagi kalau kata-kata itu dipajang di status medsos. Kalau yang memajangnya anak SMA kesannya 'mengerikan dan menggelikan' dan kalau yang pasang yang seusia gue, kalimat tersebut hanya semakin menunjukkan 'ketidakberdayaan' yang bersangkutan.

Ya. Ketidakberdayaan untuk menyegerakan pernikahan. Bukan berarti gue menyatakan aktivitas 'diam-diam cinta' dan 'diam-diam mendoakan' itu berarti salah dan sia-sia ya, tapi aktivitas tersebut akan tidak berarti tanpa tindakan nyata. 

Tindakan nyata untuk menghadapi Yang Mengerikan dari Sebuah Pernikahan.

Karena semua orang pasti akan senang hati dan selalu mampu menerima kebahagiaan, tapi tidak semua orang sanggup menghadapi kesulitan dan sisi buruk dari suatu kejadian dan fase hidup. 

Maka, persiapan untuk menghadapi kesulitan tersebut mutlak diperlukan. Dan persiapan tersebut tidak sekedar 'Cinta dalam diam' atau 'Diam-diam kepo' eh 'Diam-diam mendoakan' apalagi disebar ke mana-mana. Udah ga diam-diam lagi itu namanya. Meski nggak ada nama yang dimensyen, sudah pasti itu adalah sebuah kode yang bertujuan. Bertujuan pada seseorang dan harus diartikan.

Stop terlihat 'tak berdaya' di hadapan manusia! Cukuplah Allah yang tau bahwa memang kita benar-benar sedang tidak berdaya. Karena pernikahan bukan sekedar gandengan tangan, boncengan di tengah hujan, atau wefie berdua dan mengganggu pemandangan seantero instagram (bagi yang belum mampu menyempurnakan.mwihihii).

Pertimbangkan juga sisi mengerikan dari sebuah pernikahan, agar tidak tersesat dan tertatih ketika menjalankan. Salah satunya adalah soal pendidikan anak yang sudah berbeda zaman...  
***

bersambung ke Yang Mengerikan dari Sebuah Pernikahan #2

Comments

Popular Posts