Jeda




Ada waktu untuk terdiam yang kadang setiap kita harus ambil sejenak. Bahkan untuk sekedar mengatur nafas antara tarikan dan hembusan, tetap ada jedanya bukan? Walau hanya sepersekian detik yang setiap kita pun sering tidak menyadarinya.

Kecuali dalam kondisi hidung tersumbat atau ketika terengah karena aktivitas berat.

Ada waktu untuk terdiam sejenak, yang biasa kita gunakan untuk berpikir ketika kita saling berbicara. Waktu diam ketika kita berdiskusi sambil bertatap muka, ataupun melalui telepon. Pernah merasakannya bukan? Pesawat telepon seolah sudah tertutup --sama-sama tak ada suara dari seberang sana-- dan kita sama-sama belum tahu apa yang harus dikatakan berikutnya. Sama-sama berpikir, bagaimana selanjutnya?

Maka jeda tersebut, meski singkat, terkadang memberikan hal baru bagi kita --seperti ketika kita sama-sama terdiam pada waktu yang bersamaan.

Ada waktu untuk terdiam sejenak, yang disediakan penggubah lagu bagi penyanyi untuk mengumpulkan nafas. Berisi musik tanpa syair yang membawa kita merasakan apa yang dirasakan oleh sang penggubah melalui lagunya. Jeda tersebut tetaplah bisa dinikmati bagi kita sendiri menciptakan kekata yang mungkin tidak terdapat dalam syair lagu tersebut. Sebelum pada akhirnya sang penyanyi harus meneruskan lagunya hingga ke akhir lirik penutup.

Seperti jeda dalam lagu, ia bisa dinikmati sekaligus memberikan waktu. Waktu bagi penyanyi untuk sekedar mengistirahatkan paru-paru agar tetap bertenaga ketika melanjutkan syairnya hingga ke lirik terakhir yang syahdu.

Ah, mungkin sama persis dengan perjalanan manusia. Kita butuh jeda. Butuh jeda dari segala hiruk pikuk dunia. Terdiam sesaat untuk merenung, meluruskan kembali niat-niat kita yang mungkin sempat berbelok karena pengaruh sekitar, mengumpulkan tenaga untuk meneruskan perjalanan kita. Kadang juga kita butuh jeda untuk sekedar menarik nafas, menghembuskannya bersama gumpalan sesak yang telah lama mengganjal dalam dada, lantas terdiam dan meneteskan air mata. Hanya ditemani angin.

Memang, terkadang juga, jeda paling nyaman ketika dinikmati bersama angin.

Sekuat apapun manusia, ia tetap butuh jeda. Butuh jeda untuk terengah usai berlari sejauh yang ia bisa dari sepersekian perjalanannya. Butuh jeda untuk sekedar mengistirahatkan dan memijat-mijat kakinya yang kelelahan. Butuh jeda untuk bicara dengan siapapun yang bisa kembali menguatkannya. Butuh jeda untuk dirinya sendiri bersama angin yang mengeringkan air mata di pipinya. Butuh jeda untuk mengobati luka.

Dan mungkin juga... saat ini kita sedang menikmati jeda kita. Jika dulu kita bertemu kemudian menikmati petualangan yang ditakdirkan harus kita jalani bersama, maka jeda berupa perpisahan haruslah dihadapi.

Iya, perpisahan itu hanya sekedar jeda. Jeda bagi kita untuk beristirahat dari petualangan kita sebelumnya. Jeda bagi kita untuk memikirkan rencana berikutnya. Jeda bagi kita mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Jeda bagi kita menemui orang-orang baru yang bisa kita ajak jalan bersama.

Jeda bagi kita untuk sama-sama memupuk rindu dan menyiramnya dengan doa. Agar di ujung jeda, jika kita bertemu lagi, kita bisa sama-sama bertukar cerita.

Meski memang, setiap orang punya dan butuh jeda yang berbeda-beda lamanya.

Dan pada masa jeda itu berakhir, serta takdir mengizinkan kita berjumpa, aku ingin menjadi seseorang yang berbeda. Seseorang yang telah menjadikan jeda dalam perjalanannya, waktu-waktu terbaik untuk berubah menjadi seseorang yang lebih baik.

Dan pada akhirnya, kita akan sama-sama mengerti mengapa jeda harus kita nikmati, hanya ketika jeda itu telah terlewati...
***

Titip rasa, kota hujan. 
Bagaimana aku bisa pergi kemudian lupa, kalau padamu lah kutitipkan jutaan rasa?


















Comments

Popular Posts