Mengeja C-I-N-T-A : Terima Kasih

Bismillahirrohmannirrohiim...

Sebenarnya aku bingung, apa yang harus kutuliskan dalam lembar digital ini. Sangat bingung. Lebih bingung dibandingkan bagaimana aku harus menghitung perbandingan antara bensin yang dibakar dengan jumlah pohon yang harus ditanam untuk menyerap emisinya.

Kalau begitu akan kuawali dengan kata-kata yang senantiasa menenangkan hati setiap orang yang mendengarnya, jika ia diucapkan dengan tulus.

Terima kasih...

Terima kasih atas waktu yang telah kamu beri. Waktu yang mungkin menurutmu sama sekali tak ada artinya, sebab kita sering menghabiskannya hanya untuk tertawa. Waktu yang mungkin menurut mereka yang melihat kita seolah tersia-siakan, sebab mereka hanya melihat luarnya saja. Tanpa mengetahui, dari tawa kita itulah, hati-hati kita semakin tertaut.

Ah, mungkin kamu lupa, kapan pertama kali kita berjumpa. Sebab aku tahu kamu pelupa. Dan kita memang sama saja.

Yang aku ingat adalah kita pernah makan bersama di kantin asrama. Berbincang-bincang tentang hal-hal mendasar sebagaimana orang baru berkenalan; darimana asalnya, di SMA mana kita pernah belajar, di mana berencana akan tinggal selepas dari asrama, dan lainnya. Tanpa pernah kita tahu, bahwa kita akan sama-sama berjuang di jalan yang sama dan menghabiskan angka-angka berikutnya dalam hidup kita.

Ah, saudari yang kucintai. Kadang antara kehidupan nyata dan maya kini nyaris tiada ada batasnya. Kita cenderung lebih berani berkata dan bicara di dunia maya dibanding nyata. Sama seperti aku saat ini. Yang selalu tertawa seperti orang gila ketika berada di sampingmu, namun begitu mendayu-dayu dalam tulisanku.

Entah sisi mana yang sebenarnya nyata. Anggap saja memang keduanya benar nyata. Sebab maya dan nyata kini melebur menjadi satu. Tidak memiliki batas yang jelas.

Dan hanya di tempat ini, mungkin, kau akan menjadi saksi, bahwa aku akan melaksanakan petuah dari idola kita bersama: Rasulullah SAW.

“Apabila seseorang mencintai saudaranya, hendaklah dia mengatakan cinta kepadanya.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi)

Kamu tahu, aku dulu tidak pernah berpikir akan menuntut di tempat ini, di tempat yang sama denganmu. Ridho Alloh adalah ridho orang tua. Dan berangkatlah aku di tempat ini, meksi setengah hati.

Dan waktu pun terus berjalan. Semakin banyak hal yang menjadikanku mencintai tempat ini dan segala dinamika yang mengiringi di dalamnya. Kamu adalah salah satunya. Kamu adalah salah satu hal yang kusyukuri atas takdir Alloh yg menetapkan aku harus menuntut ilmu di sini. Bersamamu.

Akhirnya tiba saatnya aku memenuhi janjiku. Janjiku pada idola kita. Untuk menyatakan cinta. Kepadamu. Bahwa aku benar mencintaimu karena Alloh. Maafkan jika bibir ini masih sering terkunci gengsi dan hanya ada kata-kata menyakiti yang keluar darinya. Tapi jemari ini membantu mempermudah segalanya. Dan biarlah semuanya bekerja dengan harmoni, mengiringi hati yang memiliki cinta.  

Terima kasih atas usia ke- 19, 20, dan kemarin ke 21 yang telah kau lewatkan bersamaku. Terima kasih atas berjuta pengalaman, kasih sayang, tawa canda keceriaan, bahkan hingga pertengkaran-pertengkaran kecil yang terjadi dan menguatkan ukhuwah di antara kita. 

Semoga kita bisa melewati usia-usia berikutnya bersama-sama. Melukis kanvas kehidupan kita dengan tinta-tinta doa, usaha, dan ketawakkalan yang semakin mempesona. Menyusun bata cita-cita, menjadikannya sebuah istana masa depan dunia dan akhirat. Menjadi orang-orang yang berada dalam jajaran kebermanfaatan yang luar biasa, menjadi penyejuk hati sesiapapun yang mengenal kita.

Ya Alloh, sayangi saudariku yang memiliki ghiroh luar biasa ini untuk terus berjuang bersama di jalan dakwah yang Engkau Ridhoi...

Teruntuk saudari yang kucintai,
yang semakin dewasa, semakin sholihah...

Dicka Wahyu Setiasari


















Comments

Popular Posts