Sepotong Pakaian Surga


Sebenernya ini cerita udah lamaaaaa banget. Kalau liat di file komputer sih tanggalnya 20 Agustus 2008. Masih SMA kelas 1 ya?hehe
Makanya maklum kalo gaya bahasanya masih sangat terbatas. Cerpen pertama yang ditulis dengan amat sangat terlalu serius nih karena untuk PR Bahasa Indonesia. Tapi waktu lomba cerpen islami asrama TPB 2011, alhamdulillah cerpen ini dapet juara pertama lho! *gaya*
Cerpen ini juga pernah terbit di majalah rohis alghufran SMAN 3 Bogor *makin gaya*

Hiburan setelah penat ujian dan udah dihantui laporan lah ya. Selamat menikmati :)

***************************************************************************
"Nenek," rengek seorang anak kecil di atas ranjang tidurnya yang hangat. "Ceritakan cerita yang lebih seru dong..." ia protes tentang cerita pengantar tidur yang biasa dituturkan neneknya. "Jangan kancil melulu. Aku bosan."

Neneknya termenung sejenak. Memikirkan cerita apa yang cocok untuk membuat cucunya tertidur. Kemudian ia teringat sebuah cerita, sebuah cerita di bulan ramadhan, sama seperti bulan ini.

"Baiklah, nenek akan cerita," ia meletakkan buku dongeng yang tadi ia bacakan untuk cucunya. "Tapi kau janji harus tidur. Besok kita akan piknik."

Cucu kecilnya mengangguk dan bersiap mendengarkan cerita dari neneknya. Ia menaikkan selimutnya yang hangat dan memasang telinga, bersiap untuk tahu, cerita yang seperti apa yang akan dituturkan neneknya.


***

 Nayla, seorang anak perempuan berusia 11 tahun, berjalan menyusuri jalan setapak yang membawanya keluar dari desa tempatnya tinggal bersama ibu dan seorang adik perempuannya. Ayahnya sudah meninggal sejak ia masih berusia enam tahun dan saat adiknya barulah dua minggu dilahirkan.

Kehidupan ekonomi keluarganya jauh dari cukup – bahkan kekurangan – meski saat ayahnya masih hidup. Ibunya menghidupi kedua anak itu dari penghasilan sebagai buruh cuci ataupun pembntu rumah tangga. Pikiran gadis kecil yang biasa dipanggil Nayla ini pun sudah berkembang. Ia memiliki banyak keinginan yang tak terpenuhi mengingat kondisi keuangan orang tuanya. Maka, di bulan Ramadhan ini, ia berusaha membantu ibunya untuk mewuudkan keinginannya; membelikan baju baru untuk adik perempuan yang disayanginya.

Setiap hari selama bulan Ramadhan, ia pergi keluar desa, menuju rumah seorang Haji yang kaya, Haji Ghoffur. Sekolah diliburkan selama 2 minggu terakhir ramadhan hingga seminggu setelah idul fitri. Itulah mengapa ia senang sekali karena ia sedikit bisa mencari uang demi membahagiakan adiknya, yang selama ini hanya mengenakan pakaian sisa miliknya.

Terik matahari membuat tubuh kurusnya kepanasan dan kering dalam puasanya. Jalan setapak gersang, menambah deritanya. Namun ia tak peduli dengan semua itu. Atas kasih sayangnya yang tulus pada ibu dan adiknya. Dan Nayla tahu, sebentar lagi, perjuangannya akan tuntas karena Idul Fitri akan segera tiba – satu hari lagi – dan ia ingin sekali – yang menurutnya suatu keharusan – membeli sebuah baju baru untuk adiknya yang mulai merengek menginginkannya untuk berlebaran.

Sesekali ia terjatuh, bukan akibat ia lemas karena berpuasa. Ia tak pernah, tak pernah sedikitpun menyalahkan puasa atas tubuhnya yang melemah. Sejak usia enam tahun, ia sudah divonis dokter mengidap kanker darah, sesuatu yang diturunkan ayahnya – yang mana menyebabkan kematian ayahnya pula. Namun gadis sekecil itu, tak begitu mengerti betapa bahayanya penyakit itu bagi tubuhnya. Yang ia tahu hanyalah sekedar rasa sakit yang hebat pada kepalanya sewaktu-waktu bisa muncul, darah mengalir deras dari hidungnya dan ibunya tak punya uang untuk membawanya berobat. Ia hanya berdo’a kepada Allah SWT, Tuhan yang selama ini memeliharanya, Tuhan yang ia dan seluruh umat muslim percaya akan memberikan apa yang hamba-Nya minta jika mereka tak mudah berputus asa dan selalu meminta kepada-Nya.

Setibanya ia di toko Haji Ghoffur, ia disambut baik oleh keluarga yang terkenal akan kedermawanannya itu. Bahkan mereka bersedia membantu Nayla, si gadis miskin yang mengambil hati Ibu Maryam, istri Haji Ghoffur, apapun yang gadis itu inginkan – mereka tak punya anak. Namun Nayla selalu ingat nasihat Almarhum ayahnya saat beliau hidup. “Meski kehidupan ini sulit, janganlah kita suka berpangku tangan. Allah tidak suka hamba-Nya yang pemalas ataupun berputus asa.” Kalimat itulah yang ia ingat dari ayah yang sangat disayanginya, yang ia percaya, menurut ibunya, sudah diambil Tuhan untuk diberikan pada surga-Nya.

“Kau mau mengantarkan ini ke rumah Ibu Hasna, Nayla, Sayang?” tanya Ibu Maryam. Ia menyodorkan seplastik besar yang berisi barang belanjaan pesanan salah satu pelanggannya. “Kau sudah tahu rumahnya, ‘kan?”

Gadis kecil hitam manis itu mengangguk semangat. “Dengan senang hati, Ibu. Aku sudah tahu di mana rumahnya. Lalu ada lagi yang bisa kuantar.”

“Ah,” Ibu Maryam mengambil satu lagi kantong plastik hitam. Yang ini tak begitu besar. “Kalau yang ini, berikan pada rumah keluarga Hasan. Ini alamat rumahnya.”

Nayla sudah sangat mahir mencari alamat tempat tinggal orang di daerah luar desanya. Ia mulai terbiasa dengan rutinitas ini. Meski ia mulai lemas saat matahari meninggi, jika ia teringat wajah ibunya ketika Salma, adiknya, menangis, semangatnya kembali seolah mengguyurnya dengan air hujan yang segar. “Aku tak boleh menyerah,” pikirnya sambil berjalan menghentak-hentakkan kakinya agar tak lemah saat rasa pusing karena penyakitnya datang. “Tabunganku hampir cukup untuk membeli baju baru hari ini jika ditambah dengan uang yang akan kudapat hari ini.”

Ditengah perjalanannya, tak dinyana, hidungnya kembali mengalirkan darah seperti biasanya. Ia terjatuh dan barang bawaannya berantakan. Tak ada yang membantunya – tak ada orang di jalan. Hari semakin terik. Pakaian yang dikenakannya sama sekali tak melindunginya dari panas – selembar rok tipis dengan lengan pendek dan benang terburai di ujung-ujung jahitan pakaiannya. Ia tahu apa yang harus dilakukannya. Mengeluarkan sapu tangan dari saku baju lusuhnya dan menutup hidungnya. Ia kembali berjalan menerjang panas yang sadis dengan kaki-kaki kecilnya yang kurus.

Dua barang amanat sudah dibawakannya. Para pelanggan merasa puas dengan pekerjaannya dan merasa iba mengingat siapa dan bagaimana kondisi orang yang membawakan barang pesanan mereka. Tersenyum riang dengan kerah bajunya yang terciprat tetesan darah yang bercampur keringatnya. Kemudian ia mengulurkan tangannya untuk mengambil uang belanjaan yang harus diberikan pada Ibu Maryam, si pemilik toko dan barang belanjaan mereka. Nayla, kembali menyusuri jalan yang sama tanpa beban seperti saat ia pergi.

“Astaghfirullah, Nayla,” Ibu Maryam terkejut saat melihat Nayla kembali dengan baju yang ternodai darahnya sendiri. “Kau tidak apa ‘kan, Nak?”

“Aku baik-baik saja,” katanya sambil tertawa kecil. “Yang seperti ini sudah biasa. Malah aku merasa hari ini tubuhku ringan sekali. Seperti sangat sehat.”

Ibu Maryam baru mengenal Nayla selama dua minggu. Namun ia sudah tahu ibunya karena ibu Nayla bekerja sebagai buruh cuci di rumahnya. Ia tak pernah tahu penyakit apa yang diderita si gadis kecil yang bersemangat ini. Yang ia tahu, Nayla sangat ingin memberikan hadiah untuk adik kecilnya, dan meski ia berusaha membujuk Nayla untuk membelikan saja apa yang ia inginkan, gadis itu menolak.

“Cukup sudah tugasmu, Nak,” kata Ibu Maryam sambil membersihkan wajah Nayla. “Hari ini kami tutup lebih awal karena esok adalah lebaran.” Ia mengeluarkan uang untuk membayar Nayla hari ini dari dompetnya. “Ini untukmu. Terima kasih untuk hari ini, ya.”

Nayla menerimanya dengan terkejut. “Ini bukan jumlah upahku, Ibu,” katanya sambil menghitung jumlah uang yang Ibu Maryam berikan padanya. “Jumlahnya terlalu banyak.”

Ibu Maryam mengusap rambut Nayla yang panas dan bau matahari. “Kau ingin membelikan hadiah lebaran untuk adikmu, ‘kan?” Nayla mengangguk. “Kau juga harus beli untukmu sendiri. Anggap saja, ini hadiah dari Allah atas ketulusan dan kasih sayangmu pada adikmu.”

Jika Ibu Maryam mengatakan ini adalah usaha atas kerja kerasnya, gadis shalehah itu tak akan menolaknya. Kemudian ia mencium tangan Ibu Maryam sebagai tanda terima kasihnya yang tak terkira.

“Terima kasih, Bu,” katanya bersemangat. “Terima kasih banyak.”

“Bersyukurlah pada Allah, Nak…” kata Ibu Maryam. “Ia yang memberikan semua ini.”

Nayla mengangguk bersemangat, kemudian berdiri dengan kuat. “Terima kasih, Ibu. Aku akan segera ke pasar dan membelikan baju baru untuk Salma. Ia pasti senang!”

Dan gadis kecil itu berlari dengan semangatnya menuju pasar untuk membeli apa yang telah ia inginkan selama ini. Ia bahkan lupa kalau tubuhnya lemah. Sinar matahari melemah karena hari mulai sore. Jalan yang mudah baginya.

Setibanya ia di tempat tujuan, ia langsung melihat pakaian anak yang menurutnya bagus untuk adiknya yang berkulit cerah, tidak seperti dirinya. Ia membayangkan betapa cantiknya adik kecil kesayangannya itu jika mengenakan pakaian yang ia lihat. Syukurlah ia bisa mendapatkannya karena harganya tidak begitu mahal. Dan untuknya, pakaian yang agak gelap warnanya, menurutnya cocok. Pedagang yang menjualnya memberinya dengan harga yang sangat murah. Ia ingin beramal, mumpung ramadhan belum berakhir hari itu juga. Dan Nayla, menganggap ini adalah rizki yang tak oleh ditolak. Toh, ia mendapatkannya tidak dengan cuma-cuma.
***

Adzan maghrib berkumandang, saatnya berbuka puasa. Sederhana saja. Air putih, nasi, dan ikan asin sudah menyegarkannya setelah seharian ia melawan teriknya matahari yang membuatnya kering kerontang. Kemudian ibunya yang penyabar dan penyayang menuntun kedua anaknya untuk shalat bersama.

Suasana hening seusai shalat – bahkan hingga waktunya shalat isya’ tiba. Ibunya hanya diam karena tak bisa berkata apa-apa. Kumandang takbir mulai disuarakan seusai masjid terdekat melaksanakan shalat isya’ berjamaah. Salma tak lagi menangis, tapi menggigit-gigit roknya, berusaha menahan tangis. Nayla ingin sekali segera memberikan kejutan untuk adiknya itu. Kemudian ia berdiri menuju kamarnya dan mengambil pakaian untuk adiknya dan dirinya.

“Jangan nangis lagi,” katanya pada adiknya seraya menyodorkan lipatan pakaian baru pada adiknya. “Besok kita pakai baju bagus untuk lebaran.”

Adiknya sejenak diam. Memandang baju di tangan Nayla, memandang wajah Nayla, memandang baju, memandang Nayla dan begitu seterusnya. “Ini untukmu,” kata Nayla, ia sadar adiknya bingung. “Kau senang ‘kan?”

“Kau bisa membelinya, Nak?” tanya ibunya heran. “Bagaimana bisa?”

“Ibu tenang saja, ini halal kok, Bu.”

“Lalu untukmu, Nak?” ibunya menghawatirkan putrinya. “Apa kau juga punya untukmu?”

“Iya, aku punya,” ia menunjukkan baju miliknya yang berwarna hijau dengan hiasan coklat. “Ibu Maryam, istri Haji Ghoffur membantuku.”

Ibu yang pendiam dan sering kehabisan kata itu memeluk erat anaknya. Air mata bahagianya terurai begitu saja, membasahi pipi dan bahu Nayla. Dibalik wajah ibunya, Nayla tersenyum senang.
Kemudian malam pun turun. Pukul sepuluh malam, ibu Nayla menggiring kedua anaknya untuk tidur. Si kecil Salma sulit sekali tidur karena tak sabar ingin mengenakan pakaian terbaik yang pernah ia punya. Ia bahkan memeluk baju itu hingga tertidur. Namun ibunya mengambilnya saat ia mulai terlelap kelelahan. Dan ibu itu ikut terlelap jua.

Nayla yang memang tak bisa tidur karena gelisah, bangun dari tempat tidurnya. Bukan karena pakaian itu, ia tak seperti adiknya. Jam dinding menunjukkan sudah pukul dua dini hari. Ia segera mengambil air wudhu dan mendirikan shalat malam, seperti yang sering diingatkan oleh ibunya. “Mungkin aku bisa lebih tenang seusai shalat.”

Usai shalat, ia memandangi pakaian barunya yang tergantung di dinding sambil tersenyum. Namun kemudian ia mengalirkan air mata di pipinya. Ia menangis.

“Untuk apa aku membelinya kalau aku tak bisa mengenakannya? Ini mubadzir…” ia mulai menangis di tengah kumandang takbir yang menggema. “Ya Allah ampuni aku…”

Nayla mengambil secarik kertas dari laci meja di sampingnya. Ia menulis sesuatu untuk ibunya, sebuah pesan karena ia tak tega membangunkan ibunya yang kelelahan. Air matanya menetes dan membasahi kertas tersebut. Tinta yang tergores pun sedikit memudar karena air matanya.

Kemudian hidungnya kembali mengeluarkan darah. Dan kali ini jauh lebih banyak dari biasanya. Namun sesuatu yang aneh terjadi. Nayla tersenyum. “Sakitnya hilang…” katanya. “Alhamdulillah…”

Ia melihat ayah yang disayanginya berdiri di hadapannya. Beliau tampak bersih, jauh lebih tampan dibanding saat beliau hidup.

“Ayah…” bisiknya lirih. “Ayah pulang? Ayah mau berlebaran bersama kami?”

Ayahnya tak menjawab. Beliau hanya tersenyum dan mengulurkan kedua tangannya pada Nayla. Tanpa buang waktu, Nayla langsung melompat pada ayahnya dan memeluknya.

“Ayah…” ia menangis. “Ayah jangan pergi lagi.”

Dan Nayla merasa nyaman berada di dekat ayahnya. Kemudian pria yang sama penyabarnya seperti istrinya itu membawa serta putri yang ia sayanginya itu pergi bersamanya.
***


Pagi hari saat Salma terbangun dan mulai menangis lagi karena baju yang seingatnya ia peluk semalam tidak ada di tangannya. Ibunya segera mengambilnya di lemari dan mengatakan pada Salma untuk mandi dulu lalu bisa mengenakannya dan pergi ke masjid bersama.

Ia agak bingung karena Nayla tak ada di ranjang bersama mereka bertiga. Dan ia agak lega saat menemukan putrinya itu tertidur di lantai. “Mungkin ia tertidur seusai shalat semalam,” pikirnya. “Astaghfirullah, aku sendiri lupa shalat karena tidur terlalu larut.”

“Nayla…” ia mengguncangkan tubuh Nayla agar ia terbangun. Tak ada respon meski sudah diguncang keras-keras dan berkali-kali. “Nayla…” ia mulai panik, nada suaranya meninggi.

Ia membalikkan tubuh Nayla, dan di sana, ia menemukan Nayla tetap memejamkan matanya dengan wajah pucat dan tersenyum sambil menggenggam secarik kertas. Ia membacanya dengan tangan gemetar.

Ibu… aku tak bisa mengenakan pakaianku itu. Jika ibu tidak keberatan… berikanlah pakaian itu pada orang yang jauh lebih membutuhkannya, agar aku bisa mengenakannya di surga. Ibu… maafkan aku, ya…

Ibu itu menjatuhkan kertas yang tadi digenggamnya dan memandang anaknya dengan air mata yang jatuh dengan derasnya. “Nayla… Nayla…” ia menangis. Kemudian si kecil Salma yang tadinya sedang asyik memainkan bajunya, heran mengapa ibunya menangisi kakaknya.

“Ibu kenapa?” tanyanya. Ia melihat kakaknya sangat pucat dan ibunya memeluknya sambil menangis. Ia tahu sesuatu yang buruk terjadi pada kakaknya. “Kak Nayla kenapa, Bu? Kok dia nggak mandi? Ibu, kakak kenapa?”

“Kakak…” napas ibunya tersengal-sengal. “Kakak sudah nggak ada, Nak… Kakak sudah pergi…”

Kata pergi berarti sudah tak ada di sini lagi. Salma pun ikut menangis dan memeluk kakaknya. Mungkin ia belum begitu mengerti apa arti meninggal, tapi ia tahu, kakaknya tak bangun dan memeluknya seperti biasanya. Ia sudah kehilangan kakak yang begitu ingin membahagiakannya dengan susah payah. Ia sudah kehilangan kakak yang memberikan hadiah pertama dan terakhir baginya… sebuah pakaian baru.
***


Satu tahun kemudian setelah kematian Nayla, ibu dan adiknya sudah tidak begitu sedih atas kepergiannya. Rasa kehilangan mungkin masih ada, tapi tidak seperti waktu pertama kali merea kehilangan anak yang begitu baik hati itu.

Menjelang idul fitri, ibu yang penuh kesabaran itu memandang baju yang dibeli putrinya dengan susah payah itu. Kemudian ia teringat akan pesan Nayla sebelum ia pergi, untuk memberikan baju itu pada yang lebih membutuhkannya.

Ia keluar rumah dengan membawa serta pakaian anaknya. “Maafkan ibu, Nak,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Ibu telat, ya?”

Ia melihat seorang anak kecil bertubuh kurus, seperti Nayla dulu. Pakaiannya robek di sana sini. Sama sekali tak melindungi tubuhnya. Ia menghampirinya dan menawarkannya pada anak kecil malang itu.

Respon anak kecil itu sungguh mengejutkan dan menggetarkan hati ibu yang sudah kehilangan dua orang yang amat dicintainya di dunia – putri dan suaminya. Anak itu mengatakan, “Alhamdulillah, terima kasih, Bu. Kebetulan adikku sudah menangis di rumah ingin baju untuk lebaran,” anak itu mencium tangan ibu Nayla dan berlari dengan semangat. “Terima kasih banyak, Bu!”

Nayla… bisiknya dalam hati. Apa kau baik-baik saja di sana, Nak? Ibu sudah menjalankan amanatmu. Kenakanlah pakaian itu di surga, Sayang… semoga kau bahagia, selamanya …


***

Nenek tua itu menyelimuti cucunya sampai ke dagu anak kecil di baliknya. Ia tersenyum, teringat akan cerita yang telah ia tuturkan pada cucu kecilnya. Sebuah cerita yang ia alami sendiri, cerita tentang putrinya yang bersemangat hidup tinggi. Cerita dengan alur yang sama, dengan sedikit sentuhan imajinasinya saat putrinya berjuang untuk adiknya.

"Apa kabar kau, Nak, di sana?" bisiknya keluar jendela sambil membayangkan wajah putrinya, andai saat ini ia ada di sampingnya.

***

Comments

Post a Comment

Popular Posts