Sepanjang Bogor-Jakarta: 'Ditertawakan' Allah

Emang pernah denger Allah ketawa??

Begitu respon adik gue yang masih kelas 6 SD ketika gue baru sampai di rumah jam 6 sore tadi. Bukan karena gue nyampe rumah terus salam gue dijawab dengan perkataan itu sih. Tapi itu respon dia waktu gue bilang "Rasanya seminggu ini gue 'diketawain' Allah deh." ketika gue ngelus-ngelus kaki yang berdarah-darah dan pegel banget rasanya.

"Ih lu mah ada-ada aja ih. Ada juga yang suka ngetawain tapi ga keliatan itu kuntilanak. Bukan Allah. Ga pernah ngaji ih lu mah."

Ini anak SD satu ngeselin juga. Tapi emang kalo ga gue ceritain dari awal kenapa gue tiba-tiba melontarkan kalimat tersebut, ya emang. Omongan gue kayak orang ga pernah ngaji aja. 
***

Jadi ceritanya, sejak tanggal 15 sampai 28 Februari ke depan, gue harus melaksanakan suatu tugas negara di Rawamangun. Gue yang sejak belajar jalan sampai dapet gelar SSi (Sarjana Siwer), dari jaman presiden Soeharto sampai Jokowi, semuanya gue lewati dengan bahagia di Kota Bogor tercinta, pulang-pergi Bogor-Jakarta tiap hari itu sangat... mengerikan. 

Berangkat saat adik-adik gue masih lanjut tidur di atas sajadah, jalanan masih gelap, pulang jalanan udah gelap lagi, it's really something yang gue ga pernah bayangkan. Naik motor ke stasiun kereta terdekat, terus berdiri dan berjempet-jempetan --ini bahasa apa deh-- selama hampir 3 jam termasuk jalan kaki ke lokasi, dan sorenya pun diulang kembali. Rasanya pengen ikutan demo naikkan gaji! Eh salah. Rasanya lelah banget. Karena begitu sampai di rumah, bawaannya langsung terkapar. Ga produktif jadinya :( 

Lanjut. Ceritanya hari Kamis kemarin adalah hari ke-empat bolak-balik Bogor-Jakarta-Bogor. Tenggorokan mulai sakit, kepala muter-muter, dan kaki seolah ga napak adalah dampak anak manja yang mendadak harus pontang-panting cari nafkah ke luar kota. Bier tau rasanya bapakmu dulu mbayarin sekolahmu, Her! Nyari duitnya sengsara, yang disodorin rapot yang bikin sakit mata. Dipikir nikah itu enaknya aja! Oke abaikan kalimat terakhir.

Pagi tadi, sengaja izin datang agak terlambat karena mau menenangkan kepala sebentar. Agak serem juga kalo mengendarai motor sendiri dengan kondisi kepala yang mengilusikan dunia serba muter-muter. Sampe minta didoain sama Mama, "Ma, doain atuh bier aku dapet tempat duduk di kereta sama di busway. Cape banget Ma berdiri mulu nih pulang pergi.hiks."

Manja!

Berangkat agak telat pun gue pikir awalnya adalah strategi untuk bisa duduk manis sampai di stasiun Manggarai. Tapi ternyata rencana gagal ketika pintu gerbong terbuka dan di dalam sudah penuh dengan penumpang yang memperjuangkan kaki dan pegangannya masing-masing. Di dalam pun gue masih berharap penumpang yang duduk di hadapan gue berdiri bakal turun di stasiun terdekat. Nyatanya, sampai gue turun pun dia masih tidur.

Huft.

Lanjut jalan kaki menuju halte busway terdekat. Hati kecil ini masih berharap, Ya Allah, hamba pengen duduk di busway Ya Allah. Gue adalah orang yang sangaaaaatt percaya kekuatan doa, apalagi doa emak gue. Bahkan doa terkonyol sekalipun --kayak doa minta bangku begini-- gue percaya Allah pasti punya rencana buat gue. Dengan dag-dig-dug berharap doa gue dan emak gue diijabah --berharap ada bangku kosong-- doa gue pun dijawab: Silahkan Anda Coba Lagi. 

Busway yang membawa gue menuju lokasi tujuan pun penuh. Menghibur hati bier ikhlas, gue berdiri di Ruang Khusus Wanita. Thanks to Commuterline and Trans Jakarta yang memuliakan wanita dengan tersedianya ruang khusus wanita. Jadi ga perlu berdesakan sama kaum Adam kalo kendaraan lagi penuh :D

Bus pun berhenti di halte terdekat dengan lokasi. Gue lanjut jalan kaki. Rasanya badan udah gemeteran. Tapi pusingnya alhamdulillah hilang. Entah mengapa. Mungkin Allah mau gue berdiri aja, mungkin di bangku kereta atau busway banyak kumannya, jadi Allah hilangkan pusing di kepala gue bier kuat berdiri, Mungkin...

Nah cerita tadi itu baru prolog. Ini baru masuk ke cerita intinya.hehe

Karena badan rasanya emang udah ga bener, sinkronisasi antara otak dan anggota tubuh gue mulai berantakan. Sore hari saat menuju jam pulang, gue melaksanakan sholat Ashar. Sebelum sholat, gue ke kamar mandi buat ber-thoharoh dan bersuci --halah bahasanya. Entah mengapa saat masuk kamar mandi dan mau menutup pintunya, gue LUPA MEMBAWA MASUK KAKI KANAN gue! 

Demi apa??

Seolah-olah bagian-bagian tubuh gue dijual terpisah, gue bener-bener lupa. Kaki kanan gue masih di luar kamar mandi, sedangkan kaki kirinya sudah di dalam. Belum masuk kaki kanan, gue sudah mendorong pintu begitu aja. Walhasil, kaki kanan gue kejepit. Dan saat menarik masuk kaki kanan, pintunya pun nggak gue longgarin. Bonus tambahan : kelingking kaki kanan gue yang kejepit dan ketusuk sudut bawah pintu yang tajam. Akhirnya, kelingking yang imut itu nyaris copot kukunya dan berdarah-darah.

Awalnya ga sadar kalo berdarah, ga sakit juga. Tapi begitu wudhu dan sampai di bagian membasuh kaki, itu darah udah bercucuran dan meper-meper ke sandal. Padahal lukanya tergolong kecil, cuma cukup dalam. Ah, kalo paham sirkulasi darah manusia, pasti paham deh kenapa darah luka di kaki lebih mudah bercucuran dibanding luka di jari tangan. Sayangnya, sejak terima ijazah, sudah lupa tuh -- jangan ditiru.

Begitu melihat darahnya, rasa sakitnya mulai menjalar. Pikiran langsung melayang-layang ke gimana pulang nanti. Mesti berdiri sampai Bogor, desek-desekan, injek-injekan, dengan kondisi jari kaki yang ga beres buat berdiri begini. Horor. Dipakai sholat juga nyut-nyutan. Ditetesin obat luka malah makin ngilu. Dibungkus kaos kaki tambah nyeri. 

Dan gue pun berhenti menginginkan bisa duduk di busway ataupun di kereta. Tanpa sadar, hati gue ikhlas gitu aja. Padahal kondisi sore ini lebih nggak banget dibanding pagi tadi. Mungkin karena kalo pas pulang, pulangnya bareng temen. Kalo berangkat kan sendiri. Sendirian kan emang ga enak gitu ya. Ngaruh di psikologi. Paham lah ya rasanya yang jomblo.

Thanks to Maryam and Dea yang udah pulang bareng.

Jadi, waktu harus berdiri saat di busway di jalan pulang pun, gue cuma ketawa-ketawa dan diketawain sama Dea karena kaki gue yang ga beres ini. Beberapa kali keinjek sama orang dan itu memperparah pendarahannya. Gue pasrah. Dalam hati cuma berkata, Ya Allah, gapapa deh ga duduk. Yang penting ini kaki tolong Ya Allah, jangan izinkan orang lain nginjek-nginjek bagian yang luka. Sakit banget Ya Allah.

Lanjut jalan kaki menuju kereta. Kembali berdiri seperti biasa. Hati gue masih berdoa minta dihilangin nyut-nyutan yang gue rasakan. Nyerinya mulai menjalar ke betis. Gue jadi ngeri sendiri. Dua stasiun sudah berlalu sejak gue berdiri. Masih berdoa bier keretanya ga makin padet, bier ga jempet-jempetan dan keinjek-keinjek, sambil ngitungin masih berapa ratus stasiun lagi menuju stasiun di mana gue memarkir motor gue. Gue sama sekali udah lupa buat ingin duduk meski justru sekarang kaki gue yang ga bersahabat diajak berdiri apalagi diinjek orang lain. Gue sadar, strategi apapun buat bisa duduk di rush hour begini rasanya ga ada yang mungkin kecuali gue masukin helm ke dalam baju bier dikira hamil. 

Sampai akhirnya ibu-ibu yang awalnya tidur pules di hadapan gue yang nyengir-nyengir nahan nyeri, tiba-tiba berdiri. Bukan karena ibu ini peduli pada kebodohan gue yang melukai kaki sendiri, tapi karena beliau siap-siap mau turun di stasiun berikutnya. Gue bersyukur-se-syukur-syukurnya. Sayangnya ga cukup buat sujud-sujud. Mendapat bangku buat duduk di momen seperti ini sungguh ga bisa diungkapkan dengan kata-kata. 

Dibanding duduk saat gue berangkat tadi, duduk sore tadi saat pulang nikmatnya jauh lebih terasa. Dan hikmah yang gue rasakan adalah benar bahwa Allah menjawab doa dan harapan dengan berbagai cara. 

"Barangkali sesuatu ditunda karena hendak disempurnakan;
dibatalkan karena hendak diganti yang utama;
ditolak karena dinanti yang lebih baik."
- Salim A. Fillah

Benar sekali. Mungkin jatah gue duduk di kereta cuma sekali dalam sehari ini. Maka Allah tunda hingga sore hari ketika takdir gue adalah terluka di kaki dan jauh lebih membutuhkan duduk dibanding karena lelah dan bosan. Mungkin keinginan gue duduk pagi tadi adalah karena permintaan sisi manja gue, sedangkan Allah ingin gue meluruskan niat ketika menginginkan sesuatu. Dan mungkin, Allah benar-benar menunggu. Sampai sejauh mana gue percaya kalau hanya doa-lah yang mampu mengubah takdir seseorang, bahkan meski itu hanya sekedar doa sederhana seperti 'ingin duduk saat naik kereta'. Sampai sejauh mana gue sanggup berusaha dan mengandalkan logika gue seperti menyusun strategi agar bisa duduk saat naik kereta.

Di sini gue merasa Allah seolah 'menertawakan' gue. Bukan dalam makna sebenarnya seperti manusia menertawakan manusia lainnya, jelas tak bisa dibayangkan. Seolah Allah melipat lengannya sambil berkata, "Biarin aja tuh anak usaha sampe cape gara-gara pengen duduk di kereta. Seberapa jauh dia usaha, seberapa yakin dia berdoa." Dan Allah pun 'tertawa'. "Lupa apa jika hanya Aku-lah yang bisa mengatur semua kejadian di hidupnya??"

Dan ketika gue sudah mencoba segala cara, ketika gue udah pasrah se-pasrahnya, ketika gue melupakan keinginan tersebut dan hanya berani meminta hal terkecil yang bahkan gue sebagai manusia ga mampu melakukannya, Allah menertawakan gue. Kemudian menjawabnya dengan cara yang tak terduga. Menjawabnya dengan sempurna.

"...Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia (benar-benar) berdoa kepada-Ku..." 
(QS Al-Baqarah: 186)

Selalu ada cara bagi Allah memberi pelajaran bagi hamba-Nya. Termasuk soal ingin-duduk-di-kereta ini. Karena Allah (pasti) ingin gue mengerti, bahwa doa-doa gue sedang Allah catat dan akan dikabulkan dengan cara tak terduga. Sabaaaaarrr

Iya, sore ini Allah 'menertawakan' gue yang sebagai makhluk ciptaan-Nya, diciptakan sebagai tempatnya salah dan khilaf. Dan di akhir, Allah menjawab doa sederhana gue dan ibu gue dengan begitu indahnya. Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah...

"Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan?"
(QS Ar-Rahmaan: 55)

Anyone, ada yang ingin didoakan? Yuk saling mendoakan. Sebab kita tidak pernah tahu, dari doa siapakah harapan kita akan dikabulkan :')
***


"...Dan tidak ada yang bisa menolak taqdir kecuali do’a, maka berpeganglah wahai hamba Allah pada do’a”. (HR Tirmidzi)

Bogor, 19 Februari 2016
21:47 WIB











































Comments

  1. Menggugah....
    kekuatan doa ya..
    #genkzz tgs negara RM

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. wah keren nih ceritanya, bisa di bikin buku nih hehehe,

    Tapi saya kerasa seperti bikin ceritanya kayak buru buru, tapi tetap keren kok, tetap semngat dan mengispirasi lebih banyak orang lagi, Amiin :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts