Menjemput Takdir

Malam itu, ada dua porsi siomay dan dua gelas teh hangat yang ditakdirkan menjadi makan malam dua anak manusia. Dengan gratis, cuma-cuma, tanpa mengeluarkan biaya dari dua anak itu. 

Tapi malam itu mereka berdua pun tidak menduganya. Semuanya benar-benar di luar rencana. Seolah alam memang menuntun mereka untuk bertemu dua porsi siomay dan dua gelas teh hangat yang malam itu mungkin sudah menanti mereka semenjak sore.

Alay? You'll not say that if you know the entire story. :)

Here it goes.
*****


Hari itu Jumat, 20 Maret 2015. Sepekan yang lalu lebih sehari. Seharusnya satu dari dua anak itu menunaikan tugasnya sebagai asisten praktikum di kampus diploma, institusi tempatnya terseok-seok berjuang keluar dengan terhormat sekarang. Tapi sejak kemarin malamnya, lambung yang sudah menampung dan membantu mengolah jutaan liter makanannya selama 22 tahun itu masih meronta. Membuatnya tidak bisa menikmati makanan-makanan yang diinginkannya meski ia lapar dan ingin makan. Alhasil tubuhnya lemas dan hanya bisa tidur sepanjang pagi dan siang, di bawah pengaruh obat dan lemasnya tubuh karena kekurangan asupan energi. Meski sore harinya, ia sudah membuat janji dengan seorang kakaknya untuk bertemu.

Sudah jam 2 siang, sang kakak belum juga datang. Ia berencana untuk pulang saja, sampai tiba-tiba sang kakak mengabari bahwa ia akan segera datang. Ternyata kakaknya tertidur. Untung segera terbangun sebelum akhirnya ia memutuskan untuk berpulang ke pangkuan ibundanya di suatu kota pinggiran di kabupaten sana.

Cerita selanjutnya masih berjalan sesuai rencana. Mereka belajar dan berdiskusi bersama, persis yang direncanakan mengapa mereka harus bertemu. The Present Perfect Tense adalah salah satu bahasan di siang menjelang sore hari itu. Tibalah waktu adzan ashar yang memanggil untuk melaksanakan sholat ashar beserta panggilan perut keduanya yang mulai lapar.

Oke, sampai sini bahasa gue mulai ga jelas.

Intinya, sore itu setelah makan bareng sosok kakak yang bernama Siti Nur Arifah a.k.a mba Ifah a.k.a sesmen Jaknas BEM KM IPB 2014, gue harus pulang ke Cibinong. Rumah emak dan adik-adik gue yang rusuh menghabiskan waktu bersama selain keperluan di luar rumah --yaiyalah. Sore, bier ga kemaleman nyampenya. Karena meskipun rumah gue masih wilayah Bogor, butuh perjalanan panjang untuk mencapainya dari kampus. Melewati gunung, melewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera. 

Dan karena mba Ifah yang dibalik keeroran dan kocaknya itu super baik hati dan tidak sombong, beliau memutuskan untuk mengantar gue sampai ke Laladon bier ga kena macet yang udah kayak si komo lewat. Melewati perkampungan sekitar kampus, mba Ifah yang ternyata anggota geng motor ini (ngawur) begitu lihai mengendarai motornya dan jeng jeeeenng tibalah kami berdua di pertigaan semplak (apa salah nama ya? hadeh dasar orang Bogor coret) sebelum waktu maghrib yang ternyata lebih cepat dari waktu prediksi, rencana, dan perkiraan kami.

Di situ kami terkadang merasa galau. Ketika maghrib masih 20 menitan lagi tapi rasa rindu pada rumah sudah membucah di dada. Mau segera pulang. 

Seolah alam menuntun kami pada takdir yang akan menyapa dan kami belum tau itu takdir apa, mba Ifah tiba-tiba dapet sms yang meminta beliau untuk menginap di rumah salah seorang kerabatnya di Bukit Cimanggu City, minta ditemani karena suaminya sedang pergi. Mba Ifah memutuskan untuk pergi menginap dan sekalian mengantar gue sampai sekitar Cimanggu.

Langit semakin hitam. Senja telah tenggelam di balik awan pekat yang mengandung banyak air yang siap dimuntahkan. Awalnya gerimis. Mba Ifah memacu motornya lebih cepat dengan diiringi perasaan yang semakin galau. "Duh dek, mulai hujan nih." kata mba Ifah. Dalam hati gue berkata, "Gue juga tau mbak." huehehehe. Tapi dengan polosnya gue malah berkata, "Terus gimana dong mbak?"

Mba Ifah belum menjawab, dan langit keburu emosi duluan karena gue terlalu berharap ia sudi menunda sejenak hujannya sampai minimal gue sampe rumah. Hujan terlanjur turun dengan deras, sedang di samping kiri kami belum ada tempat berteduh. Tibalah kami di sekitar ruko Yasmin. Dibelokkannya motor ke jajaran ruko tersebut dengan tujuan menunda basahnya pakaian kami.

Emang dasar mungkin tukang makan kali ya, begitu berhenti di ruko yang dilihat adalah gerobak siomay yang bertengger dengan kepulan asap harum daging ikan yang menggoda --padahal waktu itu baru selesai makan. "Mau beli dek?" tanya mba Ifah. "Masih kenyang mba," jawabku santai --dan emang masih kenyang sih, baru juga selesai makan sekitar tiga puluh menit yang lalu.

Hujan semakin deras mengguyur kota hujan. Kami berdua masih berjalan mondar-mandir di deretan ruko-ruko, mencari tempat duduk. Tidak ada tempat duduk, kami memutuskan masuk suatu mini market walau bingung mau beli apa.haha

Ternyata modusnya adalah membeli minuman untuk numpang sholat maghrib, sodara! Mba Ifah emang cerdas! Wehehehe. Singkat cerita, setelah kami numpang sholat di sebuah ruang (yang sebenernya gudang), kami keluar mini market dengan perasaan datar, sedatar jidat gue sendiri. Sedangkan sang hujan masih saja bahagia menari-nari di atas kota hujan, membasahi siapapun yang keluar ruangan tanpa perlindungan.

Mba Ifah dan gue kembali mencari bangku untuk duduk. Nihil, semua orang berteduh. Kami memutuskan untuk duduk ngemper (baca: duduk di lantai) di depan sebuah toko yang entah toko apa, tapi malam itu sudah tutup. Sebuah kaleng minuman bekas sisa modus numpang sholat, sengaja gue taruh di hadapan kita berdua untuk menambah kesan dramatis penantian panjang kami malam itu. Sudah cocok untuk menengadah tangan sambil merintih-rintih kelaparan, "Teh, kasian teh. Belum makan seminggu." Dan kita berdua benar-benar melakukannya -___-"

Meski malam itu pasti tidak ada yang percaya bahwa kami berdua belum makan seminggu. Yaiyalah, baru makan sejam yang lalu, walau jujur, mungkin karena efek hujan atau porsi makan sore tadi tidak mencukupi kebutuhan kalori tubuh gue, gue mulai kembali lapar. Ditambah lagi postur kami berdua yang 'banyak cadangan' di sana sini.huehehehe peace mba Ifah. Alhasil, orang-orang hanya berlalu lalang tak peduli setelah sesekali melirik ke arah kami berdua yang masih ngemper dengan sebuah kaleng bertengger di hadapan kami.

Kecuali satu orang.

Satu orang yang mengubah nasib kami malam itu.

Satu orang yang ternyata mengantar kami berdua lebih dekat pada takdir malam itu.

"Dek, kamu ngapain di sini? Kasian amat?"

Wanita itu berlutut dan bicara pada kami berdua. Mba Ifah berupaya mengingat siapa wanita ini sebenarnya, sedangkan gue malah salah tebak orang -___-"

Dengan sok akrab dan sok kenal serta sok inget gue berkata, "Iya mba, kasian nih kita mba. Shodaqoh-nya mba, mba shodaqoh-nya mba." Mba Ifah mungkin udah malu ama kelakuan gue, kemudian beliau mengambil alih pembicaraan, "Iya kita nunggu hujan reda nih mba."

"Emang kamu mau ke mana dek?" tanya wanita yang terlihat baik hati itu.

"Mau ke Cimanggu, Mba. Ifah mau nginep di rumah temen, sekalian nganter Herma pulang." jawab mba Ifah mulai normal setelah sebelumnya juga sempat eror dan akhirnya mulai ingat siapa sosok mbak-mbak baik hati di hadapan kami.

"Eh kalian mau siomay ga?" mbak yang akhirnya aku tahu bernama mba Intan itu menawarkan.

Mba Ifa dan aku saling bertatapan. Mungkin kami punya pikiran yang sama? Setelah sedikit bernegosiasi dan ber-basa basi, akhirnya kami menerima tawaran mba Intan untuk dibelikan siomay.

"Eh seriusan mba?" tanya mba Ifa dan gue ragu-ragu antara mau malu dan serta sadar gatau diri.

"Iya gapapa ih. Ga usah malu-malu gitu deh. Rejeki ga boleh ditolak." kata mba Intan seraya beranjak berdiri menuju gerobak siomay. "Ayo sini, kalian pilih sendiri maunya apa."

Seperti dua bocah ilang yang bertemu tante baik hati, kami mengikuti mba Intan dan akhirnya menikmati masing-masing seporsi siomay. 

"Tadi aja katanya udah kenyang," bisik mba Ifah menggoda gue. "Kan gratis mba, rejeki ga boleh ditolak.huehehe," jawab gue.

Belum selesai kebaikan mba Intan, beliau mengajak kami masuk ke kantor tempatnya bekerja (mengajar di salah satu bimbel ternama). "Sini ke kantor aku. Kalian mau teh anget ga?"

"Mau banget mbaaaa," sahut mba Ifah dan gue dengan girang riang gembira.

Sambil menikmati siomay dan teh hangat di ruang sholat bimbel tempat mba Intan mengajar, kami mengobrol. Singkat cerita, ternyata mba Intan ini adalah pengurus DPM KM IPB tahun 2012. Ya! Akhirnya gue inget. Di tahun yang sama, gue adalah pengurus BEM KM IPB, makanya saling kenal karena sering ngobrol di SC. Waktu itu mba Intan adalah mahasiswa tingkat akhir, sedangkan gue masihlah anak TPB yang masih imut polos lugu dan menggemaskan. Mba Intan masih inget dengan gue begitu melihat gue ngemper dengan mengenaskan, sedangkan gue baru inget beliau setelah dibeliin siomay dan dikasih teh hangat gratis. Dasar adik gatau diri emang  -____-"

Setelah saling mengobrol dengan mba Intan dan mba Ifah yang ternyata masa lalu kami saling berkaitan (halah), hujan mulai reda dan siomay di tangan kami sudah pindah ke perut. Kenyang, puas, alhamdulillah. Rejeki Allah emang begitu dekat, tinggal bagaimana kita berupaya meraihnya. Bahkan tanpa sadar usaha kita untuk yang lain ternyata mendekatkan dengan takdir-takdir baik lainnya.

"Tuh kan dek, emang Allah tuh maha baik ya," kata mba Ifah. "Rejeki tuh ga ke mana."

"Iya mba, bener banget." kata gue. 

Malam itu gue bener-bener jadi mikir. Selama ini kita sering banget berupaya jungkir balik demi mencapai sesuatu yang kita inginkan. Segala daya dan upaya kita kerahkan, berdoa juga terus dilantunkan. Tapi kita lupa soal satu hal: takdir. Takdir yang udah Allah tetapkan buat kita. Mungkin ga sih, upaya-upaya kita itu seolah-olah buntu dan ga menghasilkan seperti yang kita inginkan, bukan karena usaha atau doa kita kurang tapi memang yang kita inginkan itu tidak ditakdirkan untuk kita.

Atau terkadang, kita ga merasa telah mengupayakan sesuatu, tapi malah mendapatkannya. Dan kita seneng-seneng aja, menganggap itu sebagai rejeki atau keberuntungan kita. Padahal mungkin, hal itu emang udah ditakdirkan menjadi milik kita.

Pasti pernah kan merasakan hal yang demikian?

Ini bukan soal siomay dan teh hangat yang mba Ifah dan gue nikmati malam itu. Ini soal takdirnya. Takdir malam itu memang kami mendapatkan rizki berupa siomay dan teh hangat cuma-cuma dari seorang saudara yang Allah pertemukan dengan kita berdua. Adzan maghrib yang masih 20 menit lagi, sms yang meminta mba Ifah menginap di Cimanggu, hujan yang ga main-main derasnya (dan kita ga bawa jas hujan malam itu), tidak adanya bangku kosong yang menyebabkan kita berdua harus duduk di emperan, merupakan cara Allah menuntun kita menghampiri takdir berupa rizki malam itu.

Berawal dari niat baik mba Ifah untuk mengantar karena mengkhawatirkan adiknya kena macet, Allah membimbingnya menemui rizki malam itu. Juga soal bagaimana kita menjalin persaudaraan dengan orang-orang baik yang Allah kasihi, karena bisa jadi dari saudara-saudara kita lah pertolongan Allah itu hadir untuk kita. Dan yang pasti...

ada doa dari seorang ibu yang menghawatirkan anaknya yang tak juga tiba di rumah malam itu. "Allah, lindungilah anakku. Selamatkan ia di manapun ia berada." Dan doa-doa kebaikan lainnya yang menyebutkan nama kita di dalamnya.

Maka yang manusia seperti kita bisa upayakan cukup berharap dan berupaya. Berharap dengan doa dan berupaya dengan berbagai cara yang Ia ridhoi.

Ini bukan sekedar soal siomay dan teh hangat, ini soal takdir-takdir baik yang Allah tetapkan bagi kita untuk kita jemput. Untuk kita hampiri, untuk kita miliki. Sebab takdir itu tidaklah berpindah. Ia diam di sana, hanya bisa bergeming dengan doa. 

Dan bisa jadi, di luar sana, ada seseorang yang sedang Allah tuntun jalannya menuju dirimu. Untuk menjemputmu sebagai takdirnya.

Siap untuk menjemput dan dijemput? :)
********

Maaf atas ketidakjelasannya. Semoga tetap bermanfaat :)

Bogor, 28 Maret 2015
Obat penat malam ini... ^^

Comments

Popular Posts