Takdir dan Hujan

Pada tiap bulirnya kutitipi rahasia. Bulir yang jatuh dan terhempas ke tanah, pecah. Menyatu dengan tanah, meresap bersama hara, menghidupi nafas yang terhembus di bawahnya.
***

Perempuan itu masih saja terdiam. Hening menatap kosong ke depan. Dia menggenggam erat jari jemarinya, gemetaran. Hatinya berbisik padanya untuk maju, logikanya memintanya untuk diam saja dulu.

Dia seperti bulir hujan yang tertahan di awan.

Saat langit menghitam, saat cahaya matahari pagi tadi sulit menembus permukaan bumi, hujan pun turun. Bersamaan. Deras. Membuat bumi berwarna-warni dengan payung-payung yang terbuka untuk melindungi diri. Namun satu bulir enggan ikut turun menjadi hujan.

Tapi dia masihlah menjadi bulir hujan yang tertahan di awan.

 Perempuan itu masih ragu melangkah maju. Seperti hujan yang tertahan di awan. Ia enggan turun bersama bulir hujan lainnya. Sebab ia terlalu takut menghadapi segala kemungkinan. Kemungkinan-kemungkinan yang akan ia hadapi setelah turun ke bumi. Kemungkinan yang ia takut tidak bisa ia hadapi.

Ia ingin menjadi jalan terkabulnya doa saat turun hujan. "Allahumma shoyyiban naafi'aan" menjadikan hujan yang turun adalah rahmat dari Tuhan. Menjadikan hujan yang turun membasahi tanah yang telah gersang sesiang. Menjadi hujan yang turun di sekitar akar pepohonan. Menjadi hujan yang larut bersama hara dan menghidupi kehidupan.

Atau menjadi bulir hujan yang jatuh di kelopak bunga yang mewangi. Mempertemukan serbuk sari dengan putik yang darinyalah bunga-bunga indah tercipta menghiasi bumi. Padahal ia hanya bulir hujan kecil. Bagaimana bila bulir hujan itu jatuh di sawah-sawah tadah hujan? Yang sudah lama menanti kehadirannya, yang para petaninya telah banyak meminta dengan segala ritual agar Tuhan berkenan menurunkan hujan. Ah, betapa menyenangkannya menjadi hujan yang tertakdir jatuh di sana. Hadirnya dinanti, hadirnya menjadi berkah, hadirnya menjadi kehidupan banyak orang.

Tapi bagaimana bila ia hanya menjadi bulir hujan yang jatuh ke kubangan? Terinjak kaki-kaki angkuh di perkotaan. Menggenang di jalan-jalan yang berlubang. Lantas menjadi keruh karena kecipak roda kendaraan. Atau lebih buruk lagi...jika ia kemudian menjadi banjir yang meluluh lantakkan seisi kota? Banjir yang membuat sekolah-sekolah terpaksa diliburkan. Banjir yang membuat rumah-rumah orang tenggelam. Banjir yang... yang ia sendiri tak inginkan -- menjadi hujan yang membawa kehancuran.

Sebab perempuan yang bagai hujan tertahan di awan itu hanya lupa, tentang betapa selalu ada hikmah di balik cerita yang telah Tuhan tuliskan baginya. Bahwa sebagian kisah tentang hujan yang turun ke bumi, tidak semuanya telah ia ketahui dan pahami. Ada berjuta kisah bulir hujan dan kisah-kisah lain yang mengiringinya. Ia sering lupa bahwa meski seluruh samudera, bahkan termasuk bulir hujan seperti dirinya dijadikan tinta, tak akan cukup untuk menuliskan kisah tiap makhluk di dunia.

Ikhlas lah! Bahkan ikhlas tidak melulu hanya dilakukan setelah suatu peristiwa terjadi. Ikhlas akan meyakinkan hati yang ragu, menggerakkan tubuh untuk berlaku, dan menenteramkan hati untuk menerima. Menerima segala cerita yang telah dituliskan, untuk kita.

Seperti bulir hujan yang tertahan di awan. Ia memutuskan untuk ikut turun ke bumi bersama hujan deras pagi itu. Dengan ikhlas, ke manapun angin akan meniupnya, ke manapun sungai akan membawanya, atau bagaimanapun nantinya. Lakukanlah apa yang seharusnya dilakukan. Seperti bulir hujan yang memutuskan untuk menjadi hujan pagi itu.

Tanpa ia mengetahui, pagi itu ada bulir hujan lainnya yang sempat ragu untuk menjadi hujan. Di gumpalan awan lainnya. Yang akhirnya memutuskan untuk turun bersamanya pagi itu. Sama-sama tidak tahu.

Bahwa hari itu, takdir mereka untuk sama-sama mengalir ke samudera. Untuk bertemu. Dan... berbahagia.
***

Bagaimana mungkin aku pergi lantas lupa, kalau padamulah kutitipkan jutaan rasa?
Titip rasa, Kota Hujan...

Bogor, 23 Januari 2015

Comments

  1. gimana ya rasanya jadi bulir hujan.... thanks for the story

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts