Titip Rasa, Kota Hujan...

Dear Kota Hujan...

Sudah berapa lama ya, aku berpijak, melangkah, terduduk, atau sekedar membunuh waktu menunggu di atas tanahmu? Sudah berapa juta liter oksigen yang kuhirup dari udara dan atmosfermu? Sudah tak terhitung mungkin waktu yang kuhabiskan hanya sekedar termenung mendengarkan gemercik bulir air hujanmu yang menerpa atau menghujami apa saja yang ada di atas tanahmu. Tapi nyatanya aku masih menyukainya. Selalu. 

Jutaan kenangan yang kusimpan atau sekedar kutitipkan padamu karena ingatanku terbatas, seolah menyeruak kembali tiap kali kusambangi sudut-sudutmu yang menyebar. Mungkin tanpa sadar aku sendiri yang membiarkannya berserakan di beberapa tempat di atasmu, Kota Hujan. Peduli amat akan komentar mereka betapa aku betahnya tak berpindah. Bagaimana aku bisa pergi kemudian lupa, kalau padamulah kutitipkan jutaan rasa?

Jutaan rasa yang menjadi rahasia kita. Jutaan rasa yang bisa menyeruak kapan saja. 

Ah, Kota Hujan...

Malam ini ada rasa yang lagi-lagi tertinggal padamu. Kutitipkan hingga saat yang akupun tak tahu hingga sampai kapan. Mungkin sampai pada saatnya, aku menghabiskan sisa waktu yang Tuhan berikan padaku. 

Sayangku, Kota Hujan...

Di atas tanahmu aku bertemu dengannya. Dengan cahaya matahari yang merambat di ruangmu aku melihat wajahnya. Udaramu bahkan bisa sampai membuatku mengenali wangi tubuhnya. Waktu yang berlalu bersamamu pun berlalu juga bersamanya.

Dan padamu --lagi-lagi-- kutitipkan kenangan tentangnya. Usai kau pertemukan kami dalam indahnya kebersamaan yang terbungkus ukhuwah berhias cinta. Cahaya yang terbias dan melengkung dengan tujuh warna pun kalah indahnya jika kubandingkan dengan saat-saat kami pernah memandangnya bersama. 

Yang kucinta, Kota Hujan...

Tepat sepekan yang lalu, sehamba-Nya yang kucinta, pergi membawa segenggam rasa lepas dari dalam dada. Tapi segenggam itu bukan genggamku yang bahkan jika diisi beras tak menjadikan yang lapar menjadi kenyang. Segenggam rasa yang dititipkan-Nya padaku untuk suatu hari diambil kembali jika Ia ingin. Segenggam rasa yang ketika kutahu harus kurelakan pergi membuat sekujur tubuh hilang tenaga. Sendi-sendi seolah lepas dari tulangnya. Udara keluar dari paru-parunya, berganti segumpal rasa sesak yang tak mengizinkan aku menghirup nafas barang sekali tarik.

Tepat sepekan lalu, kulalui jalan-jalan yang dulu pernah kusambangi bersamanya. Meski tak lagi kulalui bersama gelak tawanya yang pernah masuk ke kedua telinga dan menginap hingga hari ini dalam sebongkah daging perasa. Langit pun menahan tangisnya agar tak menyulitkan mereka mengantar dirinya untuk yang terakhir kali dalam tanah Kota Hujan yang kucinta. 

Sekali lagi, dear Kota Hujan, sejengkal tanahmu menyimpan kenangan yang aku sendiri tak sanggup menyimpannya. Seluas langitmu menyimpan doa-doa yang aku dan mereka panjatkan baginya. Semasa waktumu menghantar malaikat yang membawa kasih-Nya bagi ia dan semesta...

Ah, kisah ini, biar yang terkasih Kota Hujan dan Tuhan yang tahu. Berpasang-pasang mata itu punya persepsinya masing-masing tentang aku dan dirinya. Cukup hingga hari ini, kutitipkan semuanya di kota penuh berkah ini.

Semoga rahmat-Nya terus mengalir lebih banyak dari air yang menghujam tanahmu karena takdir, Kota Hujan... 

******

Didedikasikan untuk almarhumah Keninda Firmana...
Yang dari dan kembali di tanah Kota Hujan. Yang menemui lantas pergi pun di bawah langit Kota Hujan...
Adikku sayang, saudari kembarku... 

Semoga Alloh perkenankan kelak kisah kita di Kota Hujan bersambung di surga-Nya, in sya Alloh...









Comments

Popular Posts