Mengeja C-I-N-T-A : Sudahkah?

Ada yang kadang dalam tenangnya, menahan buncah rindu yang menggumpal-gumpal...
Sedang yang dirindukan sudah benar-benar bergolak rasa rindunya. Sebab setiap saat ia menjadi cermin bagi yang dirindukannya...
Saling bertatap tapi tak pernah bisa bersapa. Membiru karena birunya, tapi tak pernah saling bersentuhan...

Seperti lautan dan langit di atas bumi. Siang ia membiru, malam ia pun gelap pekat...

Apa mereka benar-benar tak akan pernah bertemu? Sampai laut sering mengamuk dan memakan banyak pelayar di atasnya. Sampai langit sering melontarkan kilat dengan gemuruh bersahutan. Lantas menangis dalam rinai hujan...




Ada yang dalam diamnya, tertahan rasa kagum yang luar biasa...
Pada gagahnya, pada kebesarannya, pada keluarbiasaannya. Sebab setiap malam ia setia menerima takdirnya...
Meski yang dikagumi pun dicintai banyak makhluk selain dirinya. Tapi ia tak henti mencintai dalam diamnya...
Sedang ia tak pernah tahu, bahwa yang dikagumi pun terpesona pada kecantikannya. Tentu dalam diamnya...

Kecantikan yang hadir karena tulus menerima takdir yang tercatatkan baginya. Takdir bahwa mereka hanya bisa berjumpa setiap kali makhluk bumi bisa menyaksikan gerhana.

Seperti matahari dan rembulan. Siang matahari menerangi, malam rembulan menghiasi.

Apa karena ketulusan rembulan itu kah, hingga ia bisa secantik yang sering kita saksikan? Dari tiada, kemudian purnama yang menyabit dari waktu ke waktu.
Hingga ia memiliki kesempatan --meski sebentar-- untuk berjumpa dengan matahari yang senantiasa ia kagumi dalam satu fenomena gerhana.

Ada juga yang sudah selalu membersamai sejak dulu. Dalam kesulitan, dalam kebahagiaan. Terbakar terik siang, terbungkus dinginnya malam, terhujam hujan musiman.
Yang selalu saling membutuhkan. Yang satu memberi kenyamanan, yang satu memberi jaminan kehidupan.
Tapi rasanya yang begitu pasti berat saat takdir memisahkan. Saat terpaksa yang satu tiada, pilihannya hanya ada dua: ikut tiada ataukan hidup harus terus berlanjut seperti biasanya.

Seperti batang-ranting pohon dan dedaunan. Yang tanpa pohon, daun tak mungkin tumbuh. Yang tanpa daun, pohon tak mungkin hidup.

Saat salah satunya harus pergi, maka yang satunya harus belajar bagaimana melanjutkan kehidupan.

Ada juga yang belum pasti, bagaimana ia akan menutup paragraf kisahnya saat ini. Masih bingung di mana harus meletakkan titik untuk menyelesaikan satu paragraf fase kehidupannya. Untuk kemudian melanjutkan paragraf berikutnya dalam buku baru. Kisah baru.

Maka bersama laut dan langit ia harus belajar untuk bersabar. Dari rembulan dan matahari ia teladani bagaimana bersyukur'. Serta dari pohon dan daun ia belajar bagaimana mengikhlaskan.

Ikhlas, sabar, dan bersyukur. Bahwa ketiganya benar-benar tak terpisahkan jika ia ingin menuliskan berbagai kisah luar biasa yang akan ia amati, jalani, dan lalui. Sebab baik langit dan laut, rembulan dan matahari, ataukah pohon dan dedaunan, tak pernah tahu bagaimana rahasia penulis nan agung yang menulis kisah mereka. Entah pada masa yang mana.
***

Sebuah ucapan selamat untuk kedua kakakku yang bersamanya, selalu kutemui kehangatan seorang kakak yang sesungguhnya. Yang akan membersamai dalam keikhlasan seperti pohon dan dedaunan, usai pernah melewati masa menjadi lautan dan langit dengan kesabaran, usai pernah menjadi rembulan dan matahari dengan penuh rasa syukur.

Barokallohu laka, wa barokallohu 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khoiir

teruntuk:

Kak Elysa dan Kak Ramdan
3 Agustus 2014 -- jannah-Nya
***

Ikhlas, sabar, dan bersyukur
sudahkah?


juga sebuah catatan untuk diri sendiri
yassarollohu lanal khoiro haitsuma kunna :)

Comments

Popular Posts