Sekali Lagi, di Waktu yang Sama

Suara itu masih berceloteh serius, serasa berada di sekitar bagian belakang tempatku duduk dan tertidur. Menerobos mimpi-mimpi singkat tidur tak nyenyak yang kulakukan sejak kemarin. Terguncang-guncang, kedinginan, sesak, sempit, dan rasa-rasa terganggu lainnya yang akan kau alami dalam perjalanan. Berusaha mengacuhkan, kujejalkan kepala yang sudah berkunang-kunang ini ke bantal kecil yang disediakan untuk penumpang. 

Tapi suara itu kembali menyeruak kesadaranku yang tinggal setengah. Menggagalkan rencanaku untuk menikmati rasa kantuk yang mendera setelah seharian tadi terkurung kemacetan di daerah Subang. Mata sipitku mengerjap lelah, memandang keluar jendela yang berembun. Aku kenal kota ini.

Kota kelahiran ayahku: Semarang.

Tapi aku sedang tidak ingin bernostalgia di bawah temaram lampu jalanan, seperti yang dulu kulakukan bersama ayah tiap kali kami pulang kampung. Aku sedang tidak ingin tersedu sedan disergap rindu mengenangnya. Tidak dengan suhu bus yang rasanya semakin rendah; aku menggigil hingga demam dibuatnya.

"Astaga, jam berapa ini?" aku menggumam pelan, takut membangunkan teman sebangku dalam perjalanan panjang ini. Sebab kulihat ia benar-benar lelah dan tertidur pulas. Aku sedikit berdiri, mencari sumber suara. 

Barisan belakang semuanya tertidur lelap dengan berbagai gaya. Tapi bukan itu fokusku. Rasanya kepala semakin berkunang-kunang. Apalagi ketika bus melewati semacam polisi tidur; sedikit berguncang dan membuatku terantuk hingga jatuh ke bangkuku lagi. Kutarik selimut dan kembali mencoba tidur.

Lagi, suara itu terdengar dari belakang. Tapi rasanya dari depan juga. Kesal, aku benar-benar bangkit sekarang. Aku sangat kenal suara itu.

Itu suara Faisal. Kakek tua yang menjadi ketua perjalanan panjang kami sepanjang Jawa-Bali. Tidak tidak, ia tidak benar-benar seorang kakek tua. Manalah mungkin kami muda mudi yang sedang ekstasi akan tantangan dan kebersamaan ini ingin menikmati sebagian hak libur kami dari rutinitas kampus bersama seorang renta. Ia salah satu bagian dari kami. Mahasiswa biokimia angkatan 48 (2011). Hanya saja pemikiran dan penampilannya yang menjadikan kami gemar memanggilnya 'kakek'.

Sepekan lalu, 21 Januari 2014, di jam yang sama ketika aku menuliskan ini, aku mendengus kesal, "Astaga si kakek itu! Suaranya berisik sekali. Jam berapa ini?" Jarum panjang dan pendek dari arlojiku menunjuk pada satu angka: dua belas.

Entah apa yang ia bicarakan. Aku tak ingin dengar. Tapi saat itu, aku bertekad, halaman ini akan bercerita tentang semuanya. Tentang apa saja. Tentang dia, tentang mereka, tentang kami yang saat itu akan menikmati sebuah perjalanan di mana kami tidak tahu bahwa ternyata hati-hati kami bersatu.

*********

Malam ini, 28 Januari 2014, aku menahan kantuk untuk menulis tulisan ini. Persis sepekan lalu aku terpaksa menahan kantuk karena terganggu suara kakek yang terus bercerita hingga sekitar pukul 2 dini hari. 

Waktu itu aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan benar-benar ingin menulis pada halaman situs pribadiku. Dibaca orang lain. Sungguh, aku bukanlah seorang penikmat aktivitas jalan-jalan. Apalagi bersama orang banyak. Aku tipikal soliter, menikmati sepi, menikmati sendiri. Atau jika aku ingin, personal saja. Berdua dengan orang yang aku inginkan: ibu, adik-adikku, teman dekat.

Tapi malam ini. Tepat tujuh hari kemudian, Tuhan berkehendak lain. Digerakkannya hati ini untuk membuka ponsel dan masuk ke jaringan dunia maya. Media sosial yang memiliki nama yang berarti 'garis' dalam bahasa Inggris itu memberikan notifikasi paling banyak. Dari grup itu. Grup yang selalu membuat daya ponselku cepat habis karena terus-terusan bergetar atau berbunyi pelan. Grup yang jika kubuka sungguh aku sering tidak ingin membaca pesan-pesan di dalamnya. Terlanjur bertumpuk dan membuat sakit kepala. Tapi malam ini berbeda. Kubaca satu persatu apa saja yang sudah dibahas di sana. Tersenyum, kemudian tertawa.

Ah, ternyata aku bisa merindukan mereka. Merindukan tawa canda itu ketika kami melalui berbagai rintangan dalam perjalanan; terjebak macet, menahan 'panggilan alam', kelaparan, keributan. Wajah-wajah tidur yang berbeda dari sekedar tidur di kelas.

Sepekan lalu pada waktu yang sama, aku masih terduduk di sana. Menahan sakit kepala dan dinginnya suhu bus. Tak bisa tidur karena suara kakek yang menggema di seluruh isi bus. Kupikir ia duduk di belakangku karena suaranya sangat keras. Nyatanya ia duduk di bangku terdepan dari bus.

Benar kata idolaku, Rasulullah saw yang luar biasa itu: bahwa perjalanan selama tiga hari bersama saudaramu itu membuatmu tahu siapa dan bagaimana saudaramu sesungguhnya. Sedang kita hidup di jalan selama tujuh hari. Kau tahu, segala rupa yang terjadi dalam bus itu membuatku ingin bertemu kalian, entah mengapa. Walau sebelumnya tak dapat dipungkiri banyak terjadi konflik di antara kita. Baik itu yang serius hingga yang hanya sekedar bertujuan jenaka. Apalagi jika teringat waktu kita benar-benar bersama tinggal satu tahun lagi. 

Sungguh, hanya dua kata yang pantas untuk kalian: Terima kasih. Dua kata yang maknanya luar biasa. Dua kata yang menyejukkan hati yang kering akan kebersamaan. Dua kata yang menghibur hati yang kecewa. Dua kata yang bisa membangkitkan hati yang sebelumnya terjatuh.

Terima kasih telah menjadikan aku mampu mencintai takdir bahwa aku adalah bagian dari Biokimia 48 ini, walau baru menjelang akhir cinta itu terasa. 

Memang kadang 'Cinta Datang Terlambat'. 

Semoga hari esok masih sudi hadir pada hari-hari kita, dan mempertemukan kita di tempat biasanya. Di biokimia tercinta. Kembali mengumpulkan serpihan ilmu yang bertebaran, menyusun kenangan, merangkai impian.

Selamat menikmati liburan, keluargaku, Biokimia 48 :)

********




Comments

Popular Posts