Aku Sayang Luisa

Bismillah
Assalammu'alaykum wr wb
Akhirnya ada tulisan bulan ini ^_^ Cerpen ini ditulis tahun 2011 dan diikutkan dalam Lomba Cerpen Nasional Belistra Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta). Ya, meski ga jadi juara, alhamdulillah masuk 10 besar dari 20 nominee dan dibukukan dalam 'Antologi Cerpen : Bulan Kebabian'. Karena bukunya sudah sulit dicari sepertinya, baca aja punya saya-nya ya :P *narsis banget dah.haha



Selamat menikmati :)

***************************************************



Langit biru tak berawan, memancarkan cahaya mentari dari seluruh penjuru, tanpa penghalang. Membakar kulit, membutakan mata bagi yang berada di luar gedung tanpa perlindungan. Pepohonan tumbuh jarang, hanya potongan-potongan kayu kering yang berdiri rapuh dan mengotori selusur jalan dengan lembaran kuningnya yang bertebaran. Dedaunan itu keras dan kuning kecoklatan saat meninggalkan tangkainya, rapuh saat melayang tertiup angin, kemudian pecah menjadi serpihan debu kuning saat menyentuh bumi.

Tanah lapang di setitik sudut bumi bertanah hijau. Berundak-undakan bagai bukit kecil. Beberapa bagiannya bermahkotakan semak-semak bunga kemerahan yang dikerumuni lebah-lebah kecil. Sebatang pohon berkayu tua berdiri sendiri di tengah tanah itu. Seolah memandang kosong ke hadapannya, menunggu sesuatu yang tak kunjung tiba.

Tubuhnya hitam, cacat di beberapa sisi termakan waktu dan cuaca. Kaki-kakinya besar, kuat, dikerumuni lumut-lumut. Ranting-rantingnya berjatuhan, bersamaan dengan rapuhnya dedaunan yang menempel dengan sisa tenaganya – terhembus nafas pun ia akan terjatuh.

Pohon itu berusia lebih dari seratus tahun. Ia sudah menjadi saksi tumbuhnya beberapa generasi yang hidup bersamanya – yang bahkan sudah tertidur di tanah mendahuluinya. Menjadi tempat duduk-duduk dan bercengkrama anak-anak kecil di dahannya yang dulu kuat. Mendengarkan tawa anak-anak yang berayunan di tangkainya. Melihat mereka berkejaran dan bersembunyi di balik tubuhnya yang kokoh.

Tapi itu dulu. Dulu ketika kulitnya mampu menahan terjangan panas di siang hari, menahan agar tubuhnya tak membusuk saat terguyur langit. Dulu ketika daun hijau rimbun tumbuh di setiap dahan dan rantingnya, menebarkan kesegaran di siang hari yang terik. Dulu ketika burung-burung berkicau dengan sesamanya di tiap sisi tubuhnya.

Dulu dulu dulu dan dulu.

Dua belas tahun yang lalu, ia bertemu gadis kecil berusia delapan tahun dari generasi ke empat sebuah keluarga yang sudah menanamnya di lahan itu. Gadis kecil yang menarik hatinya. Adakah sebuah pohon punya hati? Ya, ia punya, kawan. Ia punya. Ia tahu apa yang ia rasa.

Ia sering bertanya pada Allah, mengapa ia tak diberikan mulut untuk bicara. Ia ingin berterima kasih pada orang-orang baik hati yang merawatnya. Ia ingin ikut bernyanyi bersama kicauan burung-burung dan desir bisikan angin. Ia ingin bercengkrama dengan sesama tumbuhan lainnya. Dan ia ingin menenangkan si gadis kecil yang sering menyendiri dan bercerita banyak padanya sambil menangis, selama masa tumbuh kembangnya.

Tapi ia mendengar Allah menjawab pertanyaannya dan mengambil hikmah dari semuanya. Ia cukup tahu, mengapa tak diberikan-Nya sepasang bibir untuk bicara. Mungkinkah agar ia tak perlu menanggung dosa dari sepasang bibir tersebut saat ia salah menggunakannya? Mungkin, bisiknya pada diri sendiri, berusaha menghibur diri. Ia tak mau berburuk sangka pada Sang Pencipta.

Tapi saat ini berbeda. Ia rindu gadis kecil yang pergi ke luar kota meninggalkannya tiga tahun lalu. Ia ingin sekali bisa bicara dan mengungkapkan seluruh perasaannya pada gadis itu sebelum daun kuning rapuh terakhir di salah satu rantingnya menyentuh bumi dan mati bersamanya. Sebelum air berhenti mengalir dari xylem-nya.

Ia hanya ingin berkata seandainya ia bisa bicara, “Aku sayang Luisa.”

“Luisa,” bisiknya andai ia bisa bicara. “Dari banyak anak-anak yang berkejaran dan bersembunyi di balik batang besarku, aku tidak tahu mengapa hanya kau yang bisa mencuri hatiku. Ini bukan seperti perasaan seorang lelaki pada wanita layaknya kedua orang tuamu dulu – yang sering janjian dan bertemu di dekatku. Bagaimanakah aku akan menggambarkannya Luisa? Aku hanya sebatang pohon, tak berkromosom X ataupun Y seperti milikmu. Baiklah, mungkin aku bisa menggunakan kata sahabat di sini?

“Sepanjang waktu hidupku, mereka memperlakukanku hanyalah sebagai sebatang pohon. Buyutmu menancapkan kaki-kaki lemahku, dulu sekali saat jemarinya masihlah kecil-kecil dan lembut. Lantas aku tumbuh normal sebagai sebatang pohon, seperti yang lain.

“Mereka menyiramku setiap hari, memetik daun-daun yang rusak dari tubuhku, menyiramku dengan cairan yang bisa mengusir hama-hama pengganggu. Saat aku sudah besar dan bertubuh kokoh, aku tak lagi perlu perawatan bak bunga mawar. Mereka memanfaatkanku untuk bermain, bertemu saat janjian, bersantai dan berayun di dahan-dahanku yang kuat. Gelak tawa mereka cukup menghiburku. Tapi aku rasa ada yang kurang. Kenapa, ya?

“Saat wanita yang dulu sering duduk-duduk di sini bersama kekasihnya – yang sekarang adalah ayahmu – datang dan membawa seorang gadis cilik mengenakan rok biru langit, aku terkesima. Inikah generasi baru yang akan kusaksikan tumbuh kembangnya? Pikirku. Ah, paling-paling ia hanya akan bermain ayunan dan bergelayutan di dahan-dahanku lagi, pikirku saat itu.

“Tapi tidak. Saat jemari mungilmu menyentuh kulitku, ada rasa yang berbeda. Sentuhan seorang manusia yang peduli pada sebatang pohon. Seakan kau bisa bicara padaku, walau aku tak menyahut.

“Sehari saja kau tak bergelayut di dahanku, aku rindu hingga tiap helai daunku.

“Kau mulai tumbuh dewasa, tak lagi berlarian, bersembunyi di tubuhku, atau bermain ayunan. Tinggal kau sendiri yang masih setia datang untuk menemaniku. Terkadang kau duduk di dahan-dahanku yang besar, termenung memikirkan sesuatu. Hingga suatu hari aku mendengarnya; cerita pertama seorang manusia padaku.

‘Hari ini aku sedih sekali. Nilai ulangan bahasaku dapat jelek. Ibu pasti memarahiku.’ Katamu seolah mengatakannya padaku, di usiamu yang ke tiga belas. Tapi aku masih tak yakin, apakah kau bicara sendiri ataukah benar-benar bercerita padaku. Hingga kau menyentuh kulitku perlahan seperti kau mengharap simpatiku. ‘Andai kau bisa bicara padaku.’

“Saat itu juga, pertama kalinya hatiku meraung, menjerit meminta sepasang bibir seperti milik manusia yang lain. Tapi itu tak mungkin. Lalu apa yang bisa kulakukan untukmu, sahabatku? Aku hanya bisa memberikanmu oksigen yang melimpah dan perlindungan dari sinar matahari yang membakar kulitmu. Hanya itu.

“Lagi. Usiamu menginjak lima belas tahun saat itu. Kudengarkan tiap curhatanmu setiap hari. Mulai tentang teman-temanmu, guru-gurumu, hobimu, nilai bahasamu yang semakin berkembang, serta banyak hal lain.

“Di usiamu yang ke tujuh belas, aku mendengar curhatanmu yang manis. ‘Aku jatuh cinta padanya. Tiap kali aku memandangnya, hatiku berdebar tak keruan. Bagaimana menurutmu, rasanya jatuh cinta?’ katamu sambil kau duduk-duduk di lekukan akar-akarku. Aku ingin menjawab, ‘Andai aku bisa. Di sini tak ada pohon wanita.’

“Selama itu, hanya kau satu-satunya yang menganggapku seorang teman, bukan hanya sebatang pohon.

“Sekarang ini, waktuku hampir habis, Luisa. Sudikah kau kembali, sebentar saja? Hanya untuk mendengar salam perpisahanku, sebelum kambiumku mengering.

“Andai aku bisa bicara, sebelum sehelai daun terakhir di rantingku ini terjatuh, aku tetap ingin bilang, ‘Luisa, aku sayang padamu. Semoga ada Luisa-Luisa baru yang akan membahagiakan pohon lainnya. Agar bumi tetap mau menjadi tempat tinggal Luisa lain yang baru.’

Dan mungkin aku bisa lega melepaskan sel-sel di tubuhku, dan berharap sisa tubuhku bisa berguna bagi manusia lain.”

Usai pohon tua itu bercerita tentang gadis kesayangannya – yang tak pernah didengar siapapun, helai daun rapuh terakhir di rantingnya tertiup angin semilir, berputar-putar di udara sebentar, kemudian jatuh di kakinya dan mencium tanah tempatnya berakar. Zat hara berhenti mengalir ke floem-nya, dan xylem-nya berhenti bekerja. Andai ia manusia dan punya sepasang bibir impiannya, ia pasti pergi dengan seulas senyum di bibirnya itu, seiring dengan terjatuhnya daun terakhir di rantingnya.

Luisa… Luisa… Luisa…
***



Comments

Post a Comment

Popular Posts