Mengeja C-I-N-T-A : Voice Mail Box
Hujan
yang turun belakangan ini menggila. Meluluh lantakkan seantero Ibu Kota. Banjir
di mana-mana, sekolah-sekolah diliburkan, warga diungsikan, pemerintah dipersalahkan.
Kabar
baiknya, aku bukan pemerintah. Aku juga tidak tinggal di daerah ibu kota. Hingga
sore ini ketika hujan turun dan menggila di luar sana, aku sedang menikmati
wangi tanah yang kering sesiang tadi dipermainkan teriknya matahari. Duduk tenang
di restoran makanan manis cepat saji yang berdiri di tepi jalan, di atas kota ‘Pengirim
Banjir Ibu Kota’. Menikmati secangkir coklat panas kesukaanku dan beberapa
potong kue yang sengaja kupesan tapi tak berniat untuk kumakan.
Aku
hanya butuh tempat duduk di sini.
Televisi
yang tergantung di dinding masih menyiarkan berita tentang ‘Banjir Kiriman’ di
Ibu Kota. Masa bodoh. Semua beritanya kepentingan politik. Lihat saja, warga
yang terkena masalah ketika rumah yang biasa dipel kering sekarang terendam
air, mengapa sempat-sempatnya media itu mengelu-elukan pemerintahnya yang berjuang
mengatasi kebanjiran? Jelas-jelas masalah banjir tak kunjung usai. Apanya yang
keren?
Kembali,
aku menatap jendela yang berembun di sampingku, setelah membaca sms dari salah
seorang teman yang mengeluh akan luluh lantaknya seluruh jemuran di kosannya. Masalah
bagi mahasiswa & ibu rumah tangga ketika musim penghujan tiba: kondisi
jemuran yang semakin menyebalkan.
Refleks,
telunjuk kananku terangkat dan menempel di dinding kaca yang berembun. Bergerak-gerak
seirama dengan lengan tempatnya tumbuh sejak dalam kandungan wanita yang
paliing kucinta di dunia. Menghapus embun yang menutupi permukaan kaca,
membentuk sesuatu.
Sebuah
nama.
Aku
menatap ponsel di tangan kiriku. Menekan sebuah nomor. Pilihan dengan lambang
gagang telepon hijau dan amplop berwarna kuning muncul. Aku bosan mengetik. Gagang
hijau itu menggoda minta disentuh.
Dan
sekejap saja, seseorang di seberang sana menjawab. Mengizinkanku memulai untuk
bicara.
***
“Assalammu’alaykum.
Bagaimana kabarmu?”
Aku
terdiam sejenak. Canggung. Tak tau ingin berkata apa. Hujan di luar sana
semakin menggila. Aku hanya butuh teman untuk bicara. Membunuh waktu menunggu
hujan reda, bosan juga terus-terusan membaca.
“Bagaimana
kabarmu?” kuulangi kalimat terakhirku tadi. “Semoga kau baik-baik saja ya. Maaf
mengganggumu, tapi aku ingin bercerita. Boleh kan?”
Aku
memulainya. Bercerita.
“Maaf
jika selama ini aku belum bisa menjadi saudara yang baik. Belum bisa banyak
membalas seluruh kebaikanmu. Hanya terus-terusan membebanimu dengan seluruh
kekuranganku. Menyusahkanmu dengan segala masalahku. Maaf ya..
“Mungkin
tidak seharusnya saat aku pertama jumpa denganmu, aku berpikir ‘aku akan banyak
terlibat urusan dengan orang ini’ jika pada ujungnya, urusan itu adalah kau
yang terus mengurus banyak masalah yang timbul karena mengenalku.
“Kau
masih ingat rencana-rencana luar biasa yang pernah kita susun bersama? Ketika kau,
aku, dan saudara-saudara kita lainnya berkumpul dengan semangat yang membuncah,
tumpah ruah dengan idealisme kita. Bahwa ada banyak orang yang membutuhkan
rangkulan kita. Menyelamatkan mereka dari ketidaktahuannya sendiri akan
Tuhannya. Bersama mendekatkan diri pada Ia, yang kita sama-sama cintai. Aih…aku
merindukan momen itu.
“Tapi
mengapa sekarang kau berbeda, saudaraku? Kau tak lagi nyaman berada di dekatku.
Kau lebih senang berada di tempat di mana tidak ada aku di sana. Aku cemburu.
“Ya,
tentu saja aku cemburu. Karena aku mencintaimu. Dan kau pernah (semoga masih)
mencintaiku.
“Apa
aku telah berbuat sesuatu yang salah? Katakan saja saudaraku. Lebih sakit
ketika kau menjauh tanpa sebab, daripada kau ceritakan kenyataan bahwa aku
sendiri yang menjauhkanmu dariku. Setidaknya kau membantuku untuk membenahi
diri.

“Ataukah
mungkin saat itu yang menganggapnya berharga hanyalah aku saja. Yang merasa
bahwa bagimu aku istimewa. Namun engkau sendiri merasa saat itu tiada beda
dengan hari-hari yang lain. Karena kau memang terbiasa menjadikan yang dekat
denganmu merasa istimewa.
“Maafkan
aku saudaraku. Aku tidak bermaksud berburuk sangka kepadamu. Manalah mungkin
aku sanggup berlaku seperti itu, sedang kau yang selalu mengingatkanku, ‘berbaik
sangkalah kita pada saudara’ ketika aku mulai terjangkit emosi. Benar, sebagian
prasangka adalah dosa. Tapi yang aku tau, kita juga tidak boleh berlaku
mengundang prasangka, bukan?
“Aih,
mungkin ustadz yang lemah lembut tuturnya itu benar, ‘Karena beda antara kau dan aku sering jadi sengketa. Karena kehormatan
diri sering kita tinggikan di atas kebenaran. Karena satu kesalahanmu padaku
seolah menghapus sejuta kebaikan yang lalu…
“Dan
ia benar lagi di kalimat puisinya, ‘wasiat
sang Nabi itu rasanya berat sekali: Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara’
“Maafkan
aku yang tak pernah berkata cinta kepadamu. Sungguh sulit menerapkan kata Nabi
yang kita idolakan itu. “Jika salah
seorang diantara kalian mencintai saudaranya, maka hendaklah dia
memberitahukannya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
“Aku
mencintaimu karena-Nya, saudaraku. Uhibbukum
fillah. Tidak peduli bagaimana perasaanmu kepadaku, aku tetap menyayangimu.
“Dan
masihkah kau mau, berjalan berdampingan denganku? Kembali memberikan
kepercayaan itu padaku, bahwa kau, aku, dan semua saudara kita masih mampu
mengangkat jangkar, mengembangkan layar, bersama melauhkan bahtera kita
mengarungi samudera yang sejak awal sudah kita arungi: samudera yang Ia ridhoi.
“Kutunggu
kau esok hari, kembali mencariku sebagai tempat yang paling nyaman untuk kau
sambangi --seperti aku mencarimu. Semoga robithoh yang kita panjatkan, mengikat hati-hati ini dan
meluluhkannya. Kembali saling memercayai saudara-saudara kita. Memaafkan segala
kesalahan yang pernah diperbuat. Menghapus segala prasangka yang pernah
hinggap. Dan memperbaiki langkah-langkah kita dalam meraih apa yang pernah kita
sama-sama citakan.
“Dan
kembali, seperti kata ustadz yang manis tutur katanya, ‘…dengan rindu kita kembali ke dalam dekapan ukhuwah. Mengambil cinta
dari langit dan menebarkannya di bumi. Dengan persaudaraan suci; sebening
prasangka, selembut nurani, sehangat semangat, senikmati berbagi, dan sekokoh
janji.’”
***
Beberapa
menit yang lalu, aku menatap ponsel di tangan kiriku. Menekan sebuah nomor. Pilihan
dengan lambang gagang telepon hijau dan amplop berwarna kuning muncul. Aku bosan
mengetik. Gagang hijau itu menggoda minta disentuh.
Dan
sekejap saja, seseorang di seberang sana menjawab, “Silahkan rekam pesan Anda
setelah nada berikut.”
Kembali,
suara yang sama menutup tutur kisahku sore ini, “Terima kasih telah menggunakan
layanan Voice Mail Box kami. Pesan suara
Anda telah tersimpan.”
Maafkan aku yang tak pandai berkata langsung di hadapanmu.
***
Terngiang doa robithoh,
terbayang wajah-wajah hangat yang kucintai karena-Nya
Bogor, 23 November 2013
Ce i ci en te a.. Cinta
ReplyDeleteape dah UL..ge a ga je e je... GAJE.haha
Delete