Sepasang Telinga, Sepasang Mata, dan Sebongkah Hati

"Andai Rasululloh dulu menyerah, apakah kita sekarang menikmati indahnya islam?"

***

Kali ini, untuk pertama kalinya kalimat itu... Sudah tidak mempan. 
Masalahnya aku bukan Rasululloh. Aku nggak maksum! Aku cuma umatnya yang hidup di akhir zaman, menghadapi kejamnya fitnah dunia, dan harus senantiasa memohon pertolongan-Nya untuk menghadapinya...

Aku hanya umatnya di akhir zaman. Yang lebih sering khilafnya daripada lurusnya. Yang masih membutuhkanmu untuk mengingatkanku...

***

Cuma kamu yang mau mendengarkan aku. Dari dulu. Kamu selalu sabar menungguiku menyelesaikan bait demi bait nada tangisanku hingga kamu juga ikut menangis. Kamu juga tertawa jika tiba-tiba aku menertawai kebodohanku sendiri di tengah cerita kita. Atau ketika aku berucap istighfar atas segala prasangka dan keluhanku yg tiada guna, kamu juga mengikutinya.

Kurang setia apa sih kamu padaku?

Tapi kali ini aku ingin yang lain. Yang lain selain kamu. Yang tidak perlu mengikuti apapun yang kukatakan. Yang diam memasang telinganya dan tetap menatapku meski aku tertunduk. Yang tidak akan mengerti apa yang kurasakan jika tidak mendengarkan tiap kata yang kulontarkan. Sebab kamu terlalu tahu, bahkan apapun yang kupikirkan.

Kamu menatapku dengan mata sembab dan merah. Bibirmu bergetar. Kamu tidak menghapus air mataku yang terus menyusuri lekuk-lekuk pipiku. Kamu malah menghapus air matamu sendiri, persis seperti yang aku lakukan.

Aku butuh yang nyata. Andai saja kamu bisa keluar dari sana, dari balik dunia maya yang tercipta karena permainan optis cahaya. Yang membisu, tergantung di dinding kamarku.

Aku butuh yang nyata.

***

Sopir angkot itu, dilihat dari beberapa rambut putih yang menyembul dari sela-sela rambut hitam kusamnya, mungkin berusia sekitar 45 tahunan. Menghitung segepok uang berwarna-warni dari bermacam pecahan. Kucel, lecek, seperti wajahnya yang juga kelelahan. Tapi ia tetap melajukan angkotnya usai membeli berliter bensin agar mobil bututnya bisa tetap melaju dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah penyambung hidupnya.

Di bangku yang menghadap pintu penumpang belakang, seorang anak kecil berseragam putih-merah rapi, duduk tenang sambil menatap jalanan. Sesekali ia meletakkan kepalanya di lengan seorang wanita yang menggendong adik kecilnya. Keduanya berdiam diri. 

Memangnya ada yang tahu, barangkali pekan lalu mereka tengah kehilangan orang yang paling mereka cintai: ayah dua anak kecil itu dan suami dari wanita yang membersamai mereka berdua.

Di pojok dekat jendela belakang, duduk seorang gadis berpakaian rapi khas pegawai kantoran. Matanya sibuk menatap benda lebar nan canggih keluaran merek terkenal di dunia. Sedang jemarinya menari-menari di atas benda itu. Ekspresinya datar. Tak memedulikan sekitarnya. Persis seorang pria yang duduk di hadapannya. Keduanya sama-sama tenggelam di dunia yang lain. Dunia yang diciptakan sesama mereka: manusia.

Memangnya kita tahu, kalau wanita itu sedang pusing tujuh ratus keliling karena atasannya menekannya untuk mengerjakan sejumlah deadline tugas yang harus diselesaikannya dalam waktu sepekan. Jika tidak, nasib adik-adik, kedua orang tua, -- dan semua anggota keluarganya yang ia tanggung perekonomiannya-- dipertaruhkan. Atau laki-laki di hadapannya. Memangnya aku perlu tahu, jika ternyata bulan depan ia akan menikah. Dengan wanita yang ia cintai sejak pertemuan pertama mereka berdua. Betapa bahagianya ia! Sedang semua yang ada di angkot itu sedang berduka.

Sama seperti yang mengamati mereka. Tak perlu banyak orang tahu, bahwa aku juga sedang gundah gulana. Menanggung banyak hal yang tertanggung. Memikirkan apa yang harus dipikirkan. Otakku cuma satu, meski lobusnya ada dua. Hatiku juga cuma ada satu, dan untungnya lobusnya masih ada dua. Tapi semua tanggungan itu rasanya tak muat lagi. Meski jika satu per satu sel di otak dan hatiku di sentrifus, dipisahkan satu per satu agar muat semua masalah itu menempatinya, rasanya masih tidak cukup.

Teringat cerita tentang segenggam garam, telaga, dan air dalam gelas. Yang mengisahkan bahwa garam itu masalah dan air itu adalah hati kita. Segenggam garam dalam segelas air tidak lagi terasa asin. Ia getir, hingga pahit. Bukan lagi asin. Rasanya lebih mengerikan dibanding masakanku yang terlalu asin tempo hari. Sedang segenggam air dalam air setelaga, tak akan mempengaruhi rasa bahkan kualitas air telaga itu.

Seperti itu lah hati. Semakin lapang, semakin tidak terasa suatu beban yang singgah pada tiap selnya.

Aku tahu, aku sangat tahu itu. Silahkan ingatkan aku, tapi bukan mengajariku. Kau sungguh menghina orang tuaku jika begitu. Mereka sudah sangat sering mengajarkanku akan hal itu. Tapi sungguh, kali ini yang kuinginkan bukan sekedar nasehat ataupun solusi dari seluruh tanggungan dan berjuta tanda tanya dalam kepalaku.

Kali ini yang aku perlukan (minimal) adalah sepasang telinga, sepasang mata yang berkoordinasi dengan hati dalam rongga abdomennya. Sepasang telinga yang nyata, sepasang mata yang menatapku walau tak kutatap kembali. Yang nyata, bukan yang selalu kutemukan di dalam cermin di kamarku ketika aku sendirian menatapnya.

Sepasang telinga, sepasang mata, dan sebuah hati yang lain. Yang dimiliki raga selain yang jiwaku tinggal di dalamnya.

Kadang kita itu butuh tempat cerita ya hanya karena ingin bercerita. Tidak menanyakan solusinya. Rasanya jika sudah bercerita, sebagian beban lepas. Lega. Meski yang diajak bercerita pun tidak mungkin harus ikut menanggung sebagian beban yanhg kita lepaskan tadi. Intinya L-E-G-A. Sebab biasanya --atau terkadang-- aku sudah tahu solusinya. Aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan untuk menghilangkan atau menyelesaikan beban yang menggelayut ini. Aku hanya perlu didengarkan. Perlu dikuatkan. Dikuatkan oleh orang yang tepat. Tepat mengerti aku orang yang seperti apa. Tepat mengerti mengapa aku merasa begini dan begitu. Tepat....tepat sebab aku ingin kamu mendengarkan aku.

Iya, tahu. Aku sangat tahu bahwa ada Allah sebaik-baik tempat mengadu. Lantas mengapa ia ciptakan manusia lain selain aku? Hawa saja diciptakan untuk menemani Adam bukan? Karena kita diciptakan dengan fitrah saling membutuhkan. Seperti hatiku yang membutuhkan mulutku untuk menumpahkan apa yang ia rasakan. Dan mulutku yang memerlukan telingamu untuk menampungnya. Adapun matamu mengisyaratkan bahwa engkau memerhatikan yang aku ceritakan.

Aku hanya perlu didengarkan. Dengan seksama. Tanpa dipotong, tanpa dikomentari. Sepuasnya. Kalau perlu sampai sponge pun bisa diperas jika digunakan untuk membersihkan air mata yang tumpah ruah. Jika sudah puas, silahkan terserah padamu. Mau menggosok kedua telingamu karena panas, atau menggunakan bibirmu untuk berkomentar. Atau menggunakan kedua tanganmu untuk sekedar menyodorkan tisu untuk membersihkan wajahku yang mulai lengket. Atau sekedar diam dan menatapku.

Apa aku saja yang berlebihan? Apa kau tidak pernah merasakan hal yang sama denganku? Lantas untuk apa kita diciptakan bersaudara jika sekedar mendengarkan saja engkau enggan?

Yasudahlah. Mungkin aku yang terlalu egois. Merasa bebanku paling berat. Merasa terlalu perlu diperhatikan.

Mungkin aku yang harus perlu jauh lebih banyak belajar bersabar.

Meski tetap saja, yang aku perlukan sekarang adalah sepasang telinga, sepasang mata, dan sebongkah hati yang bukan dari tubuhku sendiri.

***

Comments

Popular Posts