Sibling's Parenting - Prolog



Bismillahirrahmannirrahiim, Assalammu'alaykum Wr Wb

Bebersih blog yang sudah lama tak terjamah. Sungguh, bukan karena sibuk, waktu luang mah banyak. Karena sibuk hanyalah mitos, yang ada hanyalah manajemen waktu yang buruk. Memulai hal besar itu mudah, yang sulit itu istiqomah. Mari tobat dan kembali menulis. Huh hah!

Kali ini mau nulis tentang Sibling's Parenting. Kalo diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, artinya Pengasuhan oleh Saudara (kandung). Sebenernya saya bukan psikolog atau orang yang mumpuni dalam ilmu parenting, dan kemungkinan topik ini dalam dunia psikologi (khususnya psikologi anak) tidak benar-benar dibahas sebagai parenting atau pengasuhan yang dilakukan oleh saudara. Mungkin hanya bagian dari Siblings Guide, atau bagaimana mengasuh kakak-adik. Kalo saya pernah ambil mata kuliah Psikologi Anak di Departemen Ilmu Konsumen dan Keluarga IPB, topik tentang kakak-adik ini dibahas dalam bab Siblings Rivalry (persaingan antar saudara).

Terus kenapa mau nulis ini?

Akibat cukup banyak masuk pertanyaan baik langsung maupun melewati akun media sosial saya, "Mbak dekat ya dengan adik-adiknya?" atau curhatan seperti, "Kok bisa sih Her adiknya nurut banget gitu? Adik aku nggak kayak gitu." ketika melihat 'kemesraan' saya dengan adik laki-laki saya.

Gimana ya dulu memulai kemesraan ini? Cerita dulu deh ya.hhe


Berlin (kiri) dan saya (ga ada yang tanya)

Saya punya dua adik, yaitu satu adik laki-laki bernama Arif (20 tahun) dan satu adik perempuan bernama Berlin (14 tahun). Jarak usia saya ke Arif adalah 5 tahun, dan jarak usia Arif ke Berlin adalah 6 tahun. Maka, jarak usia saya ke Berlin adalah 11 tahun. Iya, jarak usia kami cukup jauh satu sama lain, apalagi jarak usia saya ke Berlin. Tapi jauhnya jarak usia kami ini, tidak menjadikan hubungan kami sebagai kakak-adik berjauhan.

Intinya mah, berapapun jarak usia kakak-adik sebenarnya selalu ada cara untuk memiliki kedekatan emosional.

Sejak SMP, Arif sudah mulai mengantar saya pergi ke mana-mana dengan sepeda motor, karena selama Bapak ada, beliaulah yang mengantar dan menjemput saya bila perlu. Berhubung Bapak tidak mengizinkan saya bisa mengendarai sepeda motor, saya tidak bisa mengendarai motor sampai saya lulus kuliah. Untuk itu, sepeninggal Bapak, Arif lah yang mengantar saya kemanapun saya pergi.

Selama di atas motor ketika kami menempuh jalan menuju suatu tempat, saya pasti mengobrol banyak dengan Arif. Saat SMP, Arif termasuk anak yang 'nakal' dan sering membangkang juga. Pokoknya badung banget lah, sampai Mamak pernah nangis dan minta saya aja yang urusi Arif. Nah, momen di atas motor itu saya manfaatkan untuk bercerita, berbagi, dan memberi nasehat. Karena kalau bukan di motor, tidak ada waktu untuk benar-benar fokus untuk sharing dengannya.

Dari ngobrol di motor itu lah, saya tau apa yang Arif inginkan, bagaimana perasaan dia, apa yang dia alami di sekolah, siapa dan bagaimana temannya, hingga celah mana yang bisa saya manfaatkan untuk meluruskan apa yang salah darinya dan mendorongnya untuk meningkatkan potensinya. Pokoknya saya menjadikan momen ngobrol di motor itu sebagai sarana konseling baginya. Akhirnya, Arif sendiri bilang jika ia senang bila saya minta untuk mengantar atau menemani saya pergi ke suatu kegiatan.

Sebelum bepergian, biasanya saya selalu sudah menyiapkan makanan di tas. Dan selama di perjalanan, saya menyuapi Arif dari belakang. Sambil ngobrol, sambil ngunyah, sambil nyetir. Puncaknya yang bikin saya terharu adalah ketika Arif bilang, "Kalo lu nikah nanti, lu ga bisa gini lagi dong sama gue." Aciyeeeee. Mungkin kejombloan gue hari ini adalah side-effect dari Arif yang gamau kehilangan gue sesegera mungkin.hiks

Pun dengan adik yang kecil, Berlin. Karena jarak usia yang sangat jauh, tantangannya juga lebih. Beda masa, beda yang dihadapi, beda pola pikir, dan beda metode juga untuk mempengaruhi bocah ini. Seperti kasus di mana saya belum mengizinkan Berlin memiliki smartphone, karena (setidaknya menurut saya) mudhorotnya jauh lebih banyak dibanding manfaatnya. Saat saya SMP pun, orangtua saya belum memberi ponsel pribadi tapi berdua dengan ponsel Bapak. Lantas, apakah mudah memberi pengertian pada Berlin?

Percobaan pertama, Berlin sukses mutung alias pundung aka ngambek. Merajuk dengan bilang kalau dia malu karena semua teman-temannya punya smartphone.hahaha

Akhirnya, saya ajak dia naik motor dan jajan di H*kb*n, tempat makan kesukaannya. Selama di motor, selama makan, saya ajak ngobrol. Mulai dari nanya soal temen-temennya, gurunya, kelompok mentoringnya, hingga saya sentil soal ponsel. Saya pernah memberi dia tantangan, "Kalo lu bisa nyebutin manfaat besarnya punya henpon canggih, ini hape gue buat elu deh." Dan, dia menyerah. Akhirnya dia manut aja untuk ga punya smartphone dulu, setidaknya sampai kelas 3 SMP. SMA nanti saya janjikan dia beli hape yang kece kalo dia berhasil masuk suatu SMA bergengsi, kalo ga berhasil belinya yang butut aja.hahaha

(kemudian ngais-ngais tanah nyari duit)

Mempengaruhi anak-anak dan remaja untuk mau mengikuti kebaikan yang kita ajarkan bukanlah hal yang mudah. Mereka sedang hidup pada masanya pembentukan karakter atau akhlak (anak-anak) dan masanya pencarian jati diri (remaja). Apalagi fase remaja. Fase ini termasuk fase yang rentan salah pergaulan dikarenakan mereka sedang mengalami peralihan dari anak-anak. Ada banyak perubahan yang dirasakan mereka, mulai dari kondisi biologis atau fisik, hingga psikologis dan mentalnya.

Dan, alhamdulillah Arif berhasil melewatinya dengan baik. Perjalanannya panjaaaanng sekali. Untuk Berlin, tugas Arif lah ya. Meski saya ga lepas tangan amat, tapi seenggaknya gantian.hahaha

Maka, yang ingin tau bagaimana saya bisa mempengaruhi adik-adik saya, monggo boleh banget disimak. Dikasih kritik, saran, dan masukan juga apalagi. Meski kondisi setiap keluarga dan anak-anak di dalamnya berbeda, setidaknya mungkin ada sedikit manfaat yang bisa dipetik. Terutama kamu ya, yang request tulisan ini dibuat. Iya, kamu!

Stay tuned!

Comments

Popular Posts