Haruskah Dilupakan?

Sepertinya aku tidak akan pernah lupa. Sebab satu bulan lamanya, aku lupa caranya tidur nyenyak. Satu bulan aku lupa rasanya makanan enak, bahkan mie instan yang aromanya menguar seantero ruangan jika ada yang menyeduhnya dalam ruang kerja. Satu bulan tubuhku digerogoti energi negatif. Tidak bisa tidur. Tidak enak makan. Sakit kepala. Migrain. Mimisan. Puncaknya, sakit parah dan 'membuang-buang darah' dari tubuhku sendiri dengan rasa tidak enak. 

Aku menulis catatan ini agar aku tidak lupa rasanya disakiti sehebat itu. Agar aku juga tidak melakukannya pada orang lain. Meski prinsipku adalah mengembalikan apa yang orang lain berikan padaku, tapi sungguh. Untuk hal ini aku takut surga tak ingin menyapa orang yang melakukan perbuatan seperti yang aku terima. 

Atau, agar aku tau, bagaimana caranya mendekati Tuhanku dengan lebih baik. Agar aku semakin memahami, bahwa semakin Ia mencintaiku, Ia akan semakin 'menyiksa'-ku. Memberikanku semakin banyak ujian. Mempertemukanku dengan orang-orang jahat untuk memberiku perlajaran, dan orang-orang baik untuk kutiru kebaikannya. Logikaku kurang baik mencerna kata-kata yang diucapkan seorang Syaikh yang diidolakan Ibu dan adik laki-lakiku. Tapi aku percaya 'siksaan' yang Ia berikan pasti berarti baik. Rasulullah SAW tidak pernah menikmati hidup yang nyaman -- setidaknya nyaman dalam definisi manusia akhir zaman sepertiku. Tapi ia adalah hamba yang paling dicintai Rabb-Nya. 

Aku tidak akan pernah lupa. Bahwa Rasulullah yang harus kuidolakan, jutaan kali dibanding manusia lainnya yang mempesona, pernah berpesan, "Seorang Muslim adalah yang apabila Muslim lainnya selamat dari lisannya." Terapkan! Gigit pesan dan prinsip ini kuat-kuat dengan gigi graham! Seorang Muslim adalah...kata-kata ini mendefinisikan, apabila aku beragama Islam dan tidak sesuai dengan kalimat sesudahnya, aku tidak dianggap sebagai seorang Muslim. Sedangkan Allah hanya mencintai orang-orang Muslim yang memenuhi perintah-Nya, juga Rasul-Nya. Ya Allah...

Suatu hari aku pernah menggoda seorang kawan yang kuanggap kawan dekat. Kepribadian kawan itu sangat lembut dan memang selalu tertawa jika kugoda. Hingga suatu hari, aku sadar candaku terlalu berlebihan. Aku menggodanya hingga ia menangis, sebab ternyata... ia tidak suka candaanku.

Baru aku sadari, mungkin sebenarnya aku tidak benar-benar mengenalnya. Ia seorang yang pemendam, entah dendam atau perasaan lainnya. Aku memohon maaf darinya dan berjanji untuk tidak mengulangi caraku bercanda hari itu. Dan ia diam saja.

Satu minggu aku tidak bisa tidur. Tidak konsentrasi menyimak kuliah dari dosen. Hingga ia mau mengajakku makan siang bersama. Ah, betapa bahagianya!

Mungkin ujian kali ini juga hukuman akibat perbuatanku kepadanya waktu itu. Bisa jadi juga, sebab aku orang yang terlalu banyak bercanda, ada banyak hati yang diam-diam tersakiti. 

"Kamu mau S2? Emang yakin bisa? IPK kamu kan kecil, jongkok gitu!"

"Kamu itu orang yang suka menghindari masalah!"

"Kamu itu orang yang anti kritik!"

"Kamu itu kenapa sih pemalas banget? Suka leha-leha. Pelupa pula!"

"Kamu kan jabatannya tinggi, bekerja dan berpikir sesuai jabatan dong!" 

"Emang siapa yang mau nikahin kamu? Emang ada yang mau nikahin orang kayak kamu?"

"Nggak bisa apa kerja yang bener?"

"Apa aja yang udah kamu kerjakan selama ini? Nggak ada yang beres!"

hah... kenapa hal negatif lebih sulit dilupakan ya..

Terima kasih untuk mengingatkan, bahwa sebagai manusia kita harus selalu mengevaluasi diri. Semoga sakit ini menjadi cara Allah mengampuni dosa-dosa sebelumnya pada manusia lainnya. 

Jaga lisan, Herma! Penerimaan orang berbeda-beda atas setiap tindakan. Jangan semua disamakan. 

Ya Allah..














Comments

Popular Posts