PHK : Sebuah Refleksi 2016


Bismillahirrahmannirrahiim..

Tahun 2016 udah mau selesai. Biasanya saya akan banyak ditanya oleh beberapa orang kepo mengenai target-target dan capaian saya, baik yang sudah tercapai maupun yang masih harus dikejar. And you know what, saya selalu bingung harus menjawab apa karena saya adalah tipe orang yang ga pernah punya target yang benar-benar target. Ahahaha

Tahun 2016 ini really a part of my ups and downs. Pake banget. Jelas. Saya akan ceritakan kisah ini pada anak-cucu saya kalau nanti dikasih kesempatan dan mereka mau mendengarkan --lebay.

Saya resmi dilepas dengan haru oleh rektor IPB dan jajarannya pada tanggal 16 Desember 2015. Status mahasiswa resmi saya lepas dan langsung menambah beban negara sebagai Sarjana Pengangguran. Waktu itu nggak beban-beban amat sih, karena saya adalah seorang guru Bahasa Inggris di sebuah tempat kursus ternama sejak semester tujuh. Masih ada pekerjaan lah meski nggak sesuai background ilmu selama kuliah. Setelah resmi lulus, saya diminta untuk menjadi asisten peneliti oleh salah satu rekan guru yang juga adalah seorang peneliti di sebuah lembaga penelitian milik pemerintah.


Kata senior di kampus, Fresh Graduate kalo mau kerja sebaiknya jangan terlalu berorientasi pada gaji/bayaran. Bersabar cari dulu pengalaman sebanyak-banyaknya karena dunia pasca kampus sangat berbeda dan jauh lebih keras dibanding di kampus. So, saya terima saja bekerja sebagai asisten peneliti sekaligus masih menjadi guru Bahasa Inggris sepulang dari lab sampai malam. Pikir saya waktu itu, saya terima saja bekerja di lab karena punya niatan untuk melanjutkan S2, supaya menambah dan menjaga ilmu ke-biokimia-an saya. Lumayan bisa buat bantu ibu biar nggak usah pura-pura ngerebus batu untuk membohongi adik-adik yang kelaparan.

Menjalani kehidupan di lab, saya bahagia-bahagia aja. Sambil memikirkan selanjutnya saya mau bagaimana. Mempersiapkan untuk S2 pun ga semudah kepo instagram, karena setelah lulus rasanya hidup jadi penuh pertimbangan setiap mau melangkah. Hingga suatu hari negara api menyerang. 

Kalau di postingan saya yang sebelumnya (Jangan Lawan si Sholehah), saya pernah semena-mena kena DO, di postingan kali ini saya harus entah dengan berduka atau menertawai diri sendiri karena saya pernah kena PHK. Iya, PHK! Putus Hubungan Kerja. Bukan resign. *backsound: bunyi petir menyambar

Saya, gadis yang (waktu itu) berusia 22 jelang 23, sudah pernah mengalami yang namanya PHK. Hahaha! *apa kerennya

Sore itu saya mendadak sholehah. Perasaan saya tidak tenang usai memindahkan biakan bakteri yang akan saya analisis besok. Ada perasaan bahwa saya harus berpisah dengan bakteri-bakteri lucu yang tidak lagi lucu jika mereka terkontaminasi dan rusak. Saya memutuskan untuk bertilawah sejenak sambil menenangkan pikiran. Tiba-tiba peneliti yang menjadi supervisor saya menghampiri dengan wajah (sok) manis dan ramah. Bapak dan Ibu itu memang aslinya ramah, tapi sore itu ramah-nya benar-benar terlihat dibuat-buat. Saya belum mikir macam-macam. Sampai akhirnya beliau mengajak saya bicara di ruangan terpisah dan membuat saya menghentikan tilawah.

Singkat cerita, Bapak itu menyatakan bahwa kinerja, semangat, dan jiwa pembelajar saya sangat bagus. Saya mulai mencium bau keringat sore hari dari pakaian saya sendiri. Bukan, maksudnya saya mencium kabar buruk setelah puja dan puji. Sang Bapak menyatakan pada saya bahwa saya bisa mencari rejeki dan belajar di tempat yang lebih baik dibanding di lab ini. Ah, baiklah. Alasannya mendadak pemerintah memotong besar-besaran dana proyek yang sedang saya kerjakan sehingga mereka tidak mampu membayar dua orang asisten dalam satu proyek (saya dan rekan saya). Dipilihlah saya untuk di-PHK; yang pasti Bapak itu tidak suka menggunakan istilah ini untuk mengeluarkan saya dari proyek, padahal mau apapun istilahnya ya sama aja (pecat pecat juga.haha). 

Kenapa saya Pak? Apa yang kurang dari saya? Kurang cantik? Oke besok saya pake bedak. Kurang kurus? Oke besok saya diet. Tapi ternyata alasannya adalah karena lulusan S1 tidak boleh dibayar sekian. Gitu aja.

Terlepas dari apapun alasan sebenarnya, saya melihat ada gurat penyesalan di wajah sang Bapak dan Ibu. Ibu supervisor bahkan sampai menangis. "Herma harus segera lanjut S2 ya. Kalau nanti mau penelitian tesis juga boleh kok di sini." Suara saya mulai bergetar menahan tangis; sok tegar gitu deh. Kaget. Jauh lebih kaget dari ketika melihat kata-kata Drop Out di KRS saya setahun sebelumnya. Mendadak saya disergap ketakutan. Takut tidak lagi punya pekerjaan. Takut tidak punya penghasilan. Takut tidak bisa menghidupi keluarga.

Seminggu sebelumnya, saya pun sedang diuji di lembaga kursus tempat saya mengajar. Ada oknum yang melakukan fitnah terhadap saya sehingga mengganggu stabilitas profesi saya. Begitulah kejamnya dunia kerja, gosip berbumbu ini berakibat pada penghasilan saya di sana--asik bahasanya. Ditambah lagi sore ini saya sudah kehilangan salah satu tempat saya mencari nafkah. Can you imagine what I felt at that time? "Nggak papa Pak, Bu, senang bisa diberi kesempatan untuk belajar di sini meski sebentar. Mohon maaf jika ada kesalahan selama saya berinteraksi dengan Ibu dan Bapak." Kata saya menutup prosesi PHK saya sore itu. Kemudian saya merasa sedang menjadi artis Drama Korea: berjalan dengan sendu menaiki tangga, mengucapkan salam perpisahan pada biakan bakteri-bakteri, sentrifus, autoclave, dan alat-alat lainnya. Adegan itu diakhiri dengan saya menghela nafas di laboratorium yang akan saya tinggalkan mulai sore ini. Saya merasa secantik Shin Min Ah versi gendut di film Oh My Venus sore itu.haha

Saya bergegas pulang dengan motor yang baru saja bisa saya kendarai. Air mata saya tidak bisa berhenti mengalir, memikirkan apa yang harus saya jelaskan ke Ibu saya di rumah jika besok saya tidak berangkat ke lab. Campur aduk; ibu saya yang polos dan bersemangat itu selalu mengantar saya ke lab waktu saya belum bisa mengendarai motor. Saya sangat mengkhawatirkan Ibu akan ikut menangis jika melihat saya menangis. Terakhir kali saya terlihat menangis di hadapan Ibu adalah saat TK. Masa setelah TK, pulang sekolah babak belur luka-luka habis dikejar anjing atau bertengkar dengan anak laki-laki pun, saya pantang menangis. Tapi bagaimana sore ini? Hati saya sendiri pun sedang hancur dan takut.

Saya menghentikan motor di taman Pemda Bogor yang saya lewati. Menghapus air mata, menyiram air minum ke wajah supaya sedikit segar. Saya buka Al-Qur'an yang saya tutup pada halaman ketika saya harus berhenti tilawah beberapa menit tadi. Ayat terakhir yang saya baca ternyata adalah surat Al-Baqarah ayat 216.

"...boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."

Allahu akbar! Betapa Allah Maha Baik kepada hamba-Nya. Ia sudah mengingatkan saya agar bersiap dengan kejadian yang akan saya hadapi usai bertilawah. Tapi dasar manusia nggak peka, ya nggak nyadar kalo tadi sebenarnya sedang diingatkan; dan ini banyak terjadi pada manusia-manusia lainnya secara umum. Pasti.

"Cukup nangisnya Her. Kamu udah menghina Allah dengan takut nggak bisa makan karena kehilangan pekerjaan. Istighfar Her. Kayak orang nggak pernah ngaji aja sih." Saya mengingatkan diri sendiri --meski perihnya belum hilang-- dan melanjutkan perjalanan ke rumah.

Setibanya saya di rumah, sudah pasti Ibu menyadari ada yang tidak beres dengan wajah saya. "Kamu habis nangis? Kenapa?" Saya memaksakan diri untuk tersenyum dan menggandeng tangan Ibu ke ruang depan. Saya ajak duduk dekat pintu, agar terkena cahaya dari luar. Saya suka melihat wajah Ibu saya diterpa cahaya. Kulitnya akan semakin putih dan bersinar, bola matanya semakin terlihat coklat terang; keindahan fisik yang tidak diturunkan kepada saya. Dan saya akan semakin tenang jika melihat pemandangan ini.

"Ma, besok nggak usah buatin bekal buat aku ya. Aku besok nggak ke lab lagi." Saya menyerahkan amplop berisi gaji terakhir saya sebagai asisten peneliti kepada Ibu. "Aku udahan kerja di situnya. Doain segera dapat yang lebih baik ya Ma."

Ibu saya menangis. Tangisnya bukan karena saya kehilangan pekerjaan, tetapi beliau tersenyum dalam tangisnya. "Ya Allah Mama kira kamu kenapa. Nggak papa kalo itu mah. Allah nggak akan mbiarin kita kelaparan kan? Kalo rejeki datangnya dari orang, seharusnya setelah Bapak nggak ada ya kita nggak makan, kalian nggak sekolah. Kalo rejeki datangnya dari pekerjaan, ya besok kita kelaparan. Nggak mungkin Allah mbiarin kita kelaparan sampai nggak kuat bangun buat sholat. Udah, besok dapat kerja yang lebih bagus! Jadi orang kaya, insyaallah. Mama nangis takut kamu kenapa-napa."

Saya bersyukur punya Ibu yang alhamdulillah tauhid dan keyakinan terhadap-Nya begitu lurus. Tidak pernah bergantung pada dunia adalah motto hidup kami sekeluarga, insyaallah. Ketika ada di antara kami yang sempat khilaf dengan ketakutan akan kekurangan harta ataupun isi dunia, kami saling mengingatkan. Berdoa adalah senjata utama kami, ikhtiar yang maksimal dan bersungguh-sungguh adalah penyempurnanya.

Sekitar sebulan kemudian, mendadak seorang senior di kampus (Kak Dinis) yang sudah lama lost contact menghubungi saya. Beliau mengabari bahwa kantornya (Dompet Dhuafa Pendidikan) sedang membutuhkan PO (project officer) untuk salah satu program pembinaan Beastudi Indonesia Preparatory School (BIPS) yang akan berlangsung sebentar lagi. Banyak orang mendaftarkan diri sebagai PO untuk program tersebut, tapi belum ada yang sesuai kriteria dan kebutuhan. Akhirnya, beliau meminta saya untuk mencoba mendaftarkan diri dengan alasan saya memiliki kemampuan ber-Bahasa Inggris yang cukup baik; alhamdulillah. Dan singkat cerita, saya diterima sebagai PO BIPS Batch 4 dan bertemu dengan orang-orang luar biasa dari seluruh Indonesia. Seperti sabda Rasulullah saw, bahwa benar doa seorang ibu untuk anaknya seperti doa seorang Nabi untuk umatnya. Doa terbaik yang tak terbantahkan. Bukan kualitas diri saya yang baik untuk mendapatkan rejeki ini, karena banyak orang yang jauh lebih baik dibanding saya. Melainkan karena keridhoan Allah atas doa-doa Ibu saya.

"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?"
(Ar Rahman 55:55)

Dan hingga hari ini, alhamdulillah saya masih lah bagian dari Dompet Dhuafa Pendidikan; tentang lembaga ini akan muncul di postingan lain, insyaallah. Saya sangat bersyukur Allah beri kesempatan untuk menjadi bagian dari pelayan umat di tempat ini. Tempat ini bukanlah sebuah tempat kerja untuk sekedar mencari uang dan materi dunia. Karena kegiatan pelayanan umat dan membangun peradaban tak akan pernah bisa dibayar dengan materi dunia. Tempat ini adalah tempat untuk menempa diri dan belajar. Belajar untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari segala aspek; religius, kinerja, profesionalitas, dan masih banyak lagi. Persis seperti doa Ibu saya : insyaallah nanti dapat tempat yang jauh lebih baik. Dan di sini lah, tempat yang Allah berikan sebagai jawaban bagi doa Ibu saya.

Betapa Allah telah merancang skenario hidup hamba-Nya dengan sempurna. Jika saya tidak mengalami kejadian tidak baik di tempat sebelumnya, mungkin saya belum mencari atau mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Jika saja supervisor program BIPS sudah merasa cocok dengan salah satu pendaftar posisi PO, pasti tidak akan mencari saya. Dan lucunya, belakangan saya baru tau jika Kak Dinis menghubungi saya karena salah pencet nomor di ponselnya dan malah menghubungi saya. Apakah kebetulan? Well, tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua sudah Allah yang susunkan rincian tiap kejadiannya. Sebab mungkin Allah ingin mempertemukan saya dengan orang-orang baik di tempat ini. Seperti doa Ibu saya setiap hari: semoga Allah selalu mempertemukanmu dengan orang-orang baik.

Maka dari cerita panjang lebar luas yang telah saya tulis ini, saya ingin menjawab pertanyaan terkait target-target saya. Bahwa saya tidak pernah memiliki target yang terpaku pada waktu tertentu. Saya lebih suka berencana dan mengajukan rencana tersebut kepada Allah tentunya. Selebihnya, saya ikuti skenario yang Allah beri. Hasilnya? Jauh lebih manis. Karena saya sudah terlalu sering kecewa pada target yang meleset.haha. Target yang meleset hanya akan menambah beban dan kekhawatiran yang bisa membuat keyakinan kepada Allah dan takdir-Nya tergoyah meski sedikit. Do and pray the best then let Allah do the rest.

Jadi, bagaimana dengan 2017 Her?

Untuk segala hal terbaik dengan skenario termanis yang sudah Allah siapkan: Mohon doanya aja ya ;)

---------------
"Doa seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuannya adalah mustajab. 
Pada saat ia berdoa,disisi kepalanya ada satu malaikat yg mengaminkan doanya. 
Setiap kali ia mendoakan kebaikan untuk saudaranya maka malaikat itu berkata,
"Aamin,semoga engkau juga mendapatkan seperti yg kaudoakan untuk saudaramu itu."
(HR. Ad-Darimi).




Comments

Popular Posts