Jangan Lawan si Sholeh(ah)

Judul yang ambigu.

Cuma itu komentar adik saya ketika saya bilang ingin membuat tulisan dengan judul demikian. "Pede banget sih lu." katanya sambil masih mengendarai motor yang kami tumpangi.

"Hng.... terus apaan dong judulnya." Saya bingung sendiri. Saya berteriak di telinganya yang tertutup helm dan suara saya yang terbawa angin.

"Emang elu sholehah? Aneh lu ih." Dia meledek. Sisi pendendam saya muncul, kerjain semua tugas lu sendiri. Gue gamau bantu. Awas lu!

Dendam yang nggak penting abis.
******

Percakapan di atas terjadi sekitar seminggu lalu. Tepat ketika ide untuk menulis ini muncul.

Saya, sebagai anak pertama di keluarga, sangat dituakan --dan memang sudah tidak muda lagi. Rasanya sangat aneh ketika saya harus mengeluh, menunjukkan ekspresi kesal, apalagi menangis di hadapan ibu dan adik-adik saya. Biasanya, saya simpan sendiri. Saya penuh dengan segala 'kebaikan' dan 'keunggulan' seorang anak pertama yang selalu bisa dibanggakan dan wajib dicontoh adik-adik saya. Setidaknya itu yang ada dalam benak orang tua saya. Pasti.

Sebab, saya selalu mendengar dan puja dan puji dihantarkan lewat mulut ayah dan ibu saya. Pertanyaan dari orang-orang pun meluncur. "Pak Heri, gimana sih caranya punya anak pinter kayak gitu?" atau "Anaknya dikasih makan apa sih Bu?" dan lain-lain.

Tanpa mereka tahu, bahwa saya di kampus saat itu sedang berdarah-darah karena mendadak KRS saya menyebutkan bahwa saya di DO!

Iya DO. Drop Out!! Di semester delapan, ketika jantung saya tiap hari mau copot karena penelitian yang diulang-ulang.

Lha kok bisa? Ceritanya melibatkan satu mata kuliah minor yang karena birokrasi ujian susulan yang merepotkan pasca saya diopname akibat hepatitis A dan DBD di tahun 2012, akhirnya saya nggak ikut UTS. Yaiyalah dapet E. Bete duluan karena memperburuk transkrip saya, saya cabut lah itu mata kuliah yang dulu saya ambil di semester tiga. Ternyata, mata kuliah yang kita cabut sebelum sidang akhir tidak terhapus dari transkrip kita meski secara IPK tidak mempengaruhi. Dan terhitung sebagai mata kuliah yang harus diulang di semester berikutnya. Ilmu nih buat mahasiswa IPB, ketika ada mata kuliah wajib ulang (nilai E) yang tidak diulang selama 4 semester, akan mengakibatkan kita di DO.

Makanya KRS saya bertuliskan: Hermawati Nur Zulaikha, status : DROP OUT, alasan: Mata Kuliah xxxxxx tidak diulang selama 4 semester.

Terpaksa hari itu saya tidak datang ke laboratorium tempat saya penelitian di sebuah balai di Kota Bogor. Saya luntang-lantung ke sana kemari memperjuangkan nasib saya akibat birokrasi. Dan dipersulit lagi dengan birokrasi. Nanya bidang A, disuruh ke bidang B, lanjut ke C, dan seterusnya. Sampai di satu titik saya lelah dan mau nangis aja (mumpung nggak di rumah), saya telepon Mama saya.

"Ma, aku lagi repot di kampus. Mama jangan tanya dulu kenapanya, pokoknya aku lagi setres banget. Mama tolong doain aku ya bier urusannya dipermudah dan dilancarkan. Nanti kalo udah selesai aku pulang, aku ceritain di rumah. Doain ya Ma."

Dan biasanya, tiap kali saya telepon Mama di kesulitan apapun, Mama langsung menyegerakan ambil wudhu, sholat sunnah 2 rakaat, dan duduk mendoakan saya. Selalu.

Urusan hari itu akhirnya selesai 30 menit setelah saya telepon Mama, dan berjam-jam setelah saya muter-muter karena birokrasi. Ha! Dan saat di rumah, Mama saya dengan wajah super panik hampir menangis langsung meneror saya usai menjawab salam saya di depan pintu. 

"Kamu kenapaaaaa?? Mama bingung tau!" 

Saya cengar-cengir, seperti biasa. "Ehehe ampun Ma, habis lagi bingung tadi. Mama tadi ngedoain aku kan?"

"Ya iyalah! Pas kamu telepon mama lagi baca al-ma'tsurot. Terus mama buru-buru sholat dhuha tadi, terus berdoa karena panik takut kamu kenapa-kenapa."

Saya cengar-cengir lagi. Sambil saya ambil tangan Mama dan menciumnya, "Ma-acih Mamiku tayaaanng. Alhamdulillah urusannya langsung lancar tadi. Aku sempet di DO tadi coba. hahahaha"

Dan kehebohan berikutnya nggak perlu diceritakan. 

Kejadian lain yang melibatkan keajaiban yang datang dari Mama adalah selama saya menyelesaikan penelitian hingga SKL diturunkan. Saya termasuk mahasiswa paling beruntung seantero IPB --kayaknya. Si mahasiswa yang dikenal paling ngaco seangkatan ini lulus setelah melaksanakan penelitian dan sidang dengan rentang waktu paling cepat. Penelitian sekitar 4 bulan dan sidang hanya sekitar 1,5 jam dari yang normalnya 3 jam. 

Di sini saya paham ungkapan Yang pintar kalah sama yang tekun. Yang tekun masih kalah sama yang beruntung. 

Adalah hal yang lumrah di dunia perkuliahan, bahwa ada banyak jenis dosen di suatu jurusan. Mulai dari yang kayak Malaikat Jibril sampai yang kayak Malaikat Malik atau Izrail --kayak pernah ketemu aja. Ada yang tebar-tebar nilai kayak saweran, sampe yang kayak rentenir nagih utang. Semuanya ada. Meski saya paham betul, semuanya demi kebaikan mahasiswanya, hanya beda gaya. Dan penguji kolokium, seminar, hingga sidang, biasanya kombinasi dari semua jenis dosen-dosen tersebut. 

Saya yang sadar bahwa saya tidak memiliki kecerdasan yang mumpuni di bidang eksak dan tersesat di jurusan ini, ketakutan selama semester delapan akan nasib saya di persidangan nanti (baca kisah bagaimana saya bisa tersesat di jurusan saya di sini). Saya paham betul bahwa semakin saya berusaha mempelajari bagaimana DNA memperbanyak dirinya, semakin saya rasanya ingin mengunci diri dalam autoklaf dengan suhu 121 derajat Celsius. Dan saya juga dibayang-bayangi oleh dosen-dosen yang nanti akan menguji saya. Bagaimana kalau saya kebagian dosen yang Maha Cerdas dan Kritis-nya? Please, I don't want to be the next Jessica, Ya Allah...

Dan saya yang selalu percaya pada kekuatan doa, saya minta didoakan Mama terkait hal ini. Tidak peduli betapa konyolnya doa yang saya mintakan kepada ibu saya yang selalu orang kira kakak saya ini.

"Ma, doain aku bisa lulus tepat delapan semester ya Ma. Doain ini penelitiannya lancar, cepet, dan hasilnya bagus. Doain aku nanti dapet dosennya Bu Mawar, Bu Melati, Pak Jupiter, Pak Uranus, Pak Neptunus ya Ma. Itu dosen-dosen yang baik banget di departemen Ma." *)nama-nama samaran, sebut saja demikian.

Dan malam harinya, ketika saya terbangun di sepertiga malam, ternyata Mama sudah bangun lebih dulu. Mama saya yang gaya bicaranya selalu dengan suara kencang, membuatnya bahkan saat berdoa meski khusyuk, suaranya juga cukup bisa didengar. Dan saya mendengar beliau berdoa: "Ya Allah, lancarkan dan mudahkan penelitiannya Mbak. Luluskan dia dengan kemurahan hati Engkau Ya Rabb. Berikan ia dosen penguji Bu Mawar, Bu Melati, Pak Jupiter, Pak Uranus, dan Pak Neptunus. Lembutkan hati dosen-dosennya supaya memudahkan kelulusannya. Jangan sibukkan dulu dosennya sampai Mbak lulus Ya Allah."

Terharu. Mama benar-benar mendoakan saya sesuai yang saya minta. "Allah, berikanlah ibuku waktu yang panjang, kesehatan, dan keberkahan dalam hidupnya. Aku senantiasa membutuhkan doa dan kasih sayangnya sepanjang usia."

Dan dengan kekuatan rembulan --eh doa Mama-- ketika pengumuman pembagian dosen penguji, saya mendapatkan semua nama tersebut untuk menguji kolokium, seminar, dan sidang saya. Bahkan pembimbing skripsi saya dulu juga hasil minta didoakan Mama. Allahu akbar!! Rabbighfirli wali walidaiyya warhamhuma kamaa rabbayani saghiraa

Semua teman saya berdecak heran. "Enak banget sih bundo dapet semua dosen yang itu." Hingga tibalah saat sidang. Bukan lagi butterfly in my stomach, tapi feels like crocodile in my stomach ini mah. Mencari ketenangan selain meningkatkan ibadah, yang pasti saya minta didoakan Mama.

"Mama doain, semoga dosennya baik, nggak ngasih pertanyaan yang susah-susah. Memudahkan, ngasih nilai A. Kalo bisa lagi capek pas nyidang bier sebentar aja sidangnya."

Saya tertawa. "Mama nih ada-ada aja. Moso dosennya didoain bier capek."

Adat dan kebiasaan saat teman-teman kelas saat ada yang sidang adalah menyiapkan hadiah berupa apapun (makanan, bunga, boneka, dan benda-benda lain) di luar ruang sidang sambil menunggu teman yang disidang keluar ruangan. Hari itu, teman-teman saya pun demikian. Namun betapa terkejutnya mereka ketika saya keluar ruang sidang hanya dalam waktu 1,5 jam.

"Lho, kok udahan Her? Cepet amat?" semua teman-teman yang menunggu di luar benar-benar syok. Satu teman saya yang juga sidang di waktu yang sama di ruang sebelah belum juga keluar.

Saya cengar-cengir seperti biasa gaya saya. Sekaligus menahan tawa karena ingat percakapan di dalam ketika saya disidang.

"Pak Jupiter, ada pertanyaan lagi nggak? Saya sih udah. Rasanya saya hari ini capek banget, dari pagi saya mondar-mandir." kata Pak Uranus. Pak Jupiter menjawab, "Iya, saya udah nggak ada pertanyaan lagi kok. Saya juga, hawanya hari ini capek banget. Pak Neptunus sebagai pembimbing, masih ada pertanyaan lagi nggak?" dan Pak Neptunus menjawab, "Sudah cukup Pak."

Mama, you really have a blessed speech!

Dan singkat cerita, saya benar-benar lulus tepat delapan semester dengan segala kesulitan yang selalu bisa diatasi dengan ikhtiar yang dibarengi doa-doa ibu saya. Bahkan doa terkonyol untuk persidangan saya benar-benar terkabul dengan sempurna! --tertawa sampai sakit perut
***

Suatu hari, ada seorang tetangga dari tempat tinggal saya yang lama mampir ke rumah keluarga saya yang sekarang. Beliau mengeluhkan tentang anaknya yang selalu saja tidak bisa keterima di sekolah negeri seperti saya dan adik-adik saya. Menghabiskan banyak biaya dan tidak ada perkembangan yang signifikan pada prestasinya.

Mirisnya, ia sampai mengatakan hal ini pada anaknya yang saat itu juga ikut berkunjung ke rumah saya, "Kamu ini, udah jelek, item, bodoh lagi. Mending cantik, masih ada yang mau lah nanti. Nggak taulah kamu ini entar mau jadi apa."

Dan si anak hanya diam dan tertunduk. Saya sangat menyayangkan tindakan ibunya.

Lucu sekali ibu-ibu yang sering curhat dan mengeluhkan kondisi anak-anaknya pada Mama. Betapa sering saya mendengar, baik langsung maupun diceritakan ulang oleh Mama, mereka mengeluhkan biaya pendidikan yang tinggi namun anaknya mengecewakan. Entah dari segi capaian prestasi, nilai-nilai, atau pekerjaan yang didapat setelah lulus.

"Sekolah mahal banget ya Bu, tapi ga bikin kaya juga." ujar seorang ibu yang curhat pada Mama. "Anak ibu mah enak, udah bisa bantuin keluarga. Ditinggal meninggal suami juga nggak kesusahan."

Dan di rumah Mama saya bertanya, "Terus kalo ada yang curhat kayak gitu lagi, Mama harus bilang apa Mbak? Mama bingung. Kok ya ndak ngerti gitu, yang ngasih rejeki kan Allah ya, bukan Bapak. Jadi meski ditinggal Bapak yang penting nggak ditinggal Allah. Ya tho?"

"Ya bilang kayak gitu aja Ma. Sama ditambahin : Ibu sebagai ibunya anak-anak udah ngedoain anak-anaknya tiap saat belum? Kalo aku kan enak, Mama selalu ngedoain anak-anaknya. Makanya lancar rejeki dan urusan-urusannya, alhamdulillah."

Maka sekarang, ketika ada yang bertanya kepad ibu saya bagaimana caranya punya anak-anak yang pintar, sukses, prestatif, dan segala macamnya, ibu saya selalu menjawab, "Karena saya doakan begitu. Saya mintakan sama Allah supaya ilmunya berkah, rejekinya halal dan melimpah, urusannya lancar dan mudah, dan mampu menjaga ibadah tetap istiqomah."

Bahkan setiap pagi sebelum saya berangkat kerja dan adik-adik berangkat kuliah dan sekolah, kami selalu mencium tangan Mama dan mama mendoakan banyak hal. Persis pengajian pagi.haha

Saya, bukan seorang yang sangat pintar dan cerdas seperti sangkaan orang-orang. Saya juga bukan seorang yang rajin dan tekun belajar saat kuliah karena saya merasa sangat salah jurusan --dan saya terkena virus cinta datang terlambat sama biokimia.haha

Saya hanya beruntung. Beruntung punya ibu yang selalu optimis dan percaya pada kekuatan doa. Bahwa doa ibu adalah yang paling mustajab bagi anak-anaknya. Bahwa doa ibu seperti doa nabi pada umatnya.

Masih ada banyak sekali keberuntungan-keberuntungan yang saya alami hanya karena doa Mama. Prestasi-prestasi yang saya raih, tak lepas dari doa yang Mama mintakan pada Allah. Jikapun ada harapan saya yang didoakan Mama ternyata tidak terwujud, bukan doa Mama tidak terkabul. Semata-mata karena Allah punya rencana lain yang jauh lebih baik. Seperti doa Mama yang selalu ia sebutkan seusai saya mencium tangannya sebelum berangkat dan sepulang kerja.

Terus apa hubungannya sama judul tulisan ini?

Hahahah. Waktu SMP, saya pernah mengikuti olimpiade beberapa kali. Setelah menang di tingkat kecamatan, lanjut ke tingkat Kabupaten. Di tingkat kabupaten lah saya selalu kalah oleh perwakilan salah satu sekolah. Selalu sekolah itu yang menang. Andai tidak ada perwakilan dari sekolah itu, mungkin saya yang menang. Karena hanya nama sekolah itu yang ada di atas nama saya dan sekolah saya.

Smart Ekselensia 

Selalu sekolah itu yang mengalahkan saya. Bahkan adik saya yang berbeda lima tahun di bawah saya, ketika ia mengikuti olimpiade, ia juga dikalahkan oleh sekolah tersebut. Saya dan adik saya selalu disergap rasa penasaran yang manakah siswa dari sekolah ini?

Ketika anak sekolah lain berpakaian paling baik, mengenakan tas sekolah bermerek, diantar guru, dan masih berdiskusi menjelang olimpiade, anak-anak dari sekolah ini terlihat tidak membawa apa-apa lagi selain Al-Qur'an kecil di saku pakaiannya. Mereka membacanya dengan khusyu' ketika kami sibuk mengulang-ulang materi untuk olimpiade. Seolah tidak ada kekhawatiran untuk menghadapi soal-soal olimpiade nanti.

Dan sepuluh tahun kemudian, saya bekerja di lembaga yang menaungi sekolah hebat ini. Menyaksikan aktivitas mereka sehari-hari, membuat saya mengalah begitu saja. Wajar jika sekitar delapan hingga sepuluh tahun lalu senior mereka mengalahkan banyak orang di olimpiade dan perlombaan-perlombaan. Saya yakin, kedekatan mereka dengan Allah yang menyebabkan berkahnya aktivitas mereka. Dan saya yakin, ibu mereka di tempat yang jauh, pasti selalu mendoakan mereka. Seperti ibu saya. Dari sana, saya belajar bahwa yang lebih 'mengerikan' dari orang-orang pintar dalam kompetisi apapun --termasuk kompetisi kehidupan-- adalah orang-orang shaleh dan shalehah. Saya tidak akan mampu mengalahkan mereka, sebab itu artinya, saya sedang berkompetisi dengan Tuhan-nya. Allah SWT.

Maka dari itu, setiap pagi dan petang, setiap kali saya akan pergi beraktivitas, saya mencium tangan Mama dan beliau selalu membacakan doa:

"Ya Allah, jadikan anakku ini anak yang sholehah, lancarkan kegiatan dan kebaikannya, istiqomahkan ia di jalan yang Engkau ridhoi, mudahkan ia dalam menghafal Qur'an, mengamalkan, dan mengajarkannya. Pertemukan ia dengan orang-orang baik. Mudahkan ia bertemu jodoh terbaik yang Engkau berikan. Berikan ia banyak harta, dan jadikan hatinya mencintai sedekah. Jadikan ia orang yang bermanfaat untuk umat. Selamatkan ia di manapun ia berada. Jadikan ia syafaat bagi orang tua, keluarga, dan teman-temannya. Matikan ia dalam keadaan husnul khotimah dan syahid di jalan-Mu."

Kemudian Mama mencium pipi saya. Ritual yang tidak pernah berubah sejak saya berangkat TK hingga kerja.

Dalam kompetisi apapun, lawan paling mengerikan adalah anak-anak Sholeh dan Sholehah. Apalagi mereka yang memiliki ibu seperti Mama. Senantiasa mendoakan anak-anaknya. Doa yang terbang ke langit dan bertempur dengan takdir. Saya memang tidak merasa cukup untuk disebut 'anak Sholehah'. Masih banyak perilaku, kata-kata, dan tindakan saya yang tidak mencerminkan sebutan demikian. Tapi, mana doa baik dari Mama untuk saya yang tidak Allah kabulkan? :')

Maka setidaknya, Mama sudah mendoakan agar anak-anaknya sholeh dan sholehah. Semoga ibu-ibu muslim lain di dunia pun menyadari, bahwa doanya adalah salah satu faktor terkuat yang mampu mengubah takdir anak-anaknya.

Selamat (berusaha) menjadi orang tua yang senantiasa berdoa!

***************

Dan semoga (aku) dipertemukan dengan yang mencintai ibundanya setelah Allah dan Rasul-Nya. Dengan segenap jiwa. 
Sebab kelak ia pun (juga) harus mencintai ibuku. Agar tak terbesit niat untuk menjauhkanku darinya.Sebab dalam hidupku,kasih sayang dan doanyaadalah nyawa.

:')   

































Comments

Popular Posts