(Bio)Kimia, Cinta Pertama, dan Kegalauan yang Merajalela




“how sad and bad and mad it was - but then, how it was sweet” -- Robert Browning

I am feeling a bit nostalgic.

Pertemuanku dengannya membuat sepekan terakhir serasa membuka-buka kembali catatan perjalanan lama. Catatan perjalanan berbeda halaman (atau bahkan buku yang sudah kuakhiri) yang karenanya kutengok kembali. Dalam tiap lembarnya serasa dinikmati sambil berjalan menyusuri taman-taman yang penuh keramaian. 

Pembukaan tulisan kali ini terlalu manis. Khawatir isinya justru timpang dari ekspektasi. Judulnya aja udah #eeeaaa banget nggak sih. Eeeeeaaaakk

Jadi, sepekan lalu saya melaksanakan sebuah perjalanan dinas luar kota yang luar biasa menambah pengalaman luar biasa, lengkap dengan capeknya. Tujuan saat itu adalah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap program Beastudi Etos Dompet Dhuafa chapter Semarang (kampus Universitas Diponegoro). Selama melaksanakan monev, saya tinggal di asrama Etos dan selalu bersama pendamping-pendamping asrama yang Maha Setrongnya : Mas Bagus dan Mba Euis. Kalo harus menceritakan perjalanan dengan mereka berdua, rasanya tak akan cukup kuota untuk posting di sini.haha


Padahal cuma empat hari.

Terutama Mas Bagus, yang membuat saya feeling a bit nostalgic. Ampe galau dan gagal move on.

Mas Bagus ini adalah mahasis(w)a tingkat akhir yang sedang berupaya keras untuk menyelesaikan skripsinya. Dalam beberapa kesempatan sarapan, makan siang, dan makan malam bersama (ini mah bareng terus, bukan kesempatan.haha) Mas Bagus banyak bertanya soal latar belakang pendidikan saya: Biokimia.

"Mbak, kalo mengekstrak suatu tanaman itu gimana caranya? Kalo direbus aja gitu itu namanya mengekstrak juga nggak sih Mbak?"
"Mbak, urea bisa kita buat sendiri nggak sih Mbak?"
"Mbak, bagusan es jeruk apa jeruk hangat?"
"Mbak, kayaknya Mbak jago kimia gitu deh. Ga ada niat lanjut S2 Mbak?"
"Mbak, kok kimia itu rumit banget ya Mbak? Nilai saya jelek di mata kuliah itu"

Daaaaann masih banyak lagi pertanyaan Mas Bagus terkait kimia, reaksi-reaksi obat dalam tubuh, biokimia, ikatan senyawa, dan sebagainya yang membuat saya ga nafsu makan karena ditanyai hal itu di tiap jam makan bersama Mas Bagus. Kepulan asap soto ayam Lamongan di hadapan wajah saya tidak lagi harum menggoda dan berubah seperti bau hidrogen sulfida. Cih.

"Aduh Mas, maafin ya kalo ingatan saya soal itu semua buruk. Seinget saya sih gini gini gini (menjawab pertanyaan Mas Bagus) tapi entar coba dipastiin ke mbah gugel aja, saya takut sesat dan menyesatkan. Lha wong kerja saya sekarang aja bener-bener sesat dari jurusan.hahaha" Basa basi saya kepada Mas Bagus, padahal aslinya udah mabok ditanya-tanya. Peace Mas Bagus.haha 

Kemudian Mba Euis ikut nimbrung dengan pertanyaan paling nonjok dibanding pertanyaan Mas Bagus, "Terus kenapa Mbak dulu ambil biokimia?"

Makjlebz.

Kemudian ingatan saya seperti video yang diputar mundur ke tahun 2008, awal saya masuk SMA. 

Saya adalah murid beruntung dari salah satu SMA paling bergengsi di Kota Bogor. Tapi saya bukan termasuk siswa yang bergengsi dan dikenal namanya karena prestasi. Singkat cerita, ketika naik kelas 2, saya masuk kelas IPA. Padahal saya sangat ingin masuk kelas IPS karena bercita-cita menjadi Duta Besar RI di Korea atau Jepang, atau Belanda. Tapi Bapak saya tidak mengizinkan karena beliau ingin saya masuk kelas IPA. Secara nilai sih cukup untuk masuk IPA, meski hatinya nggak cocok sama sekali. Tau kan rasanya dipaksa nikah sama orang yang nggak dicintai? *hloh

Dan di sanalah hidup saya yang suram dimulai. *musik horor mengalun di kejauhan*

Guru matematika, fisika, dan kimia saya sampe capek, lelah, bosan dan kelimpungan menghadapi saya yang selalu kena remedial berulang kali di setiap bab mata pelajaran tersebut. Entah karena standar yang terlalu tinggi (minimal 80 agar tidak diremedial) atau memang otak saya yang nggak mumpuni untuk ngitung-ngitung dan mikir berat. Nilai terbaik saya justru datang dari mata pelajaran sejarah, PKn, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Basa Sunda. Iya basa Sunda! ahahaha

Akhirnya berbekal belas kasih guru-guru itulah (Ya Allah sayangilah mereka!) saya diluluskan saja dengan membuat tugas tambahan. Terutama kimia yang hanya menghasilkan nilai bangku terbalik. Menyedihkan.

Hingga semuanya berakhir ketika saya for the very first time bisa membedakan mana pria tampan, mana perempuan cantik.

Singkat cerita, saya diajak teman saya untuk bergabung di ekskul yg mengubah jalan hidup saya. Awalnya saya menolak, tapi saat itu kondisinya saya butuh bergabung dengan minimal 1 ekskul setelah saya mengundurkan diri dari ekskul sebelumnya karena bermasalah dengan senior korban sinetron. Saya pikir, sementara saja saya bakal di sana sebelum saya menemukan ekskul yg lebih cocok dengan saya. Perjalanan saya dengan ekskul ini (yang dimulai dengan konyol) bisa dibaca di tulisan yang berjudul Teteh berikut.

Saat itu tahun 2009 di acara ekskul tersebut yang mengundang alumni, saya bertemu dengan seorang senior yang baru saja lulus di tahun yang sama. It was my very first time (again) seeing such a...... 

Sulit dijelaskan. Speechless saya.hahaha
Kakak itu memakai kacamata bingkai kotak yang membuatnya terlihat pintar. Cara bicaranya santun dan bijak, spesies laki-laki yang belum pernah saya temui sebelumnya. Kulitnya sawo matang cenderung gelap. Bisa dibilang hitam manis. Saat tilawah, nggak ada yang nggak melting mendengarnya.ahaha

Fixed! Saya (dan banyak siswa perempuan lain) suka kakak itu!Sampe bikin fans club. Alaynyaaaa hahaha

Dari kakak itu saat perkenalan, ternyata beliau sedang mengambil jurusan kimia selepas SMA-nya.

Tau apa yang terjadi berikutnya?

Mencengangkan.

Saya yang selalu siap mengantri di barisan 'hermawan' dan 'hermawati' untuk mengikuti remedial di setiap ulangan kimia, mendadak dieliminasi dari barisan menyedihkan itu. Hahahaha!! Nilai saya yg awalnya hanya 40-60, mendadak selalu minimal 90. Percaya nggak, ini efek nge-fans sama kakak kimia itu! Ahahaha


*ini kalo yang baca tulisan ini kenal dengan beliau bisa jadi tau 'kakak kimia' itu siapa* wkwk

Betapa dahsyatnya dampak jatuh cinta. Padahal perasaan saat itu ya nggak bisa dibilang cinta sesungguhnya juga. It was only puppy love, cinta monyet. Gimana cinta beneran coba. But back again he's only part  of my ups and downs in puberty phase. Kalo hari ini saya adalah jomblo tangguh bersertifikat halal yang belum tertarik dengan pria manapun selain yang mau ama saya.ahahaha

Oke hentikan ngalor ngidul ini.

Singkat cerita, tibalah pada masa di mana saya harus menentukan mau lanjut kuliah di mana. Di tengah kebingungan, muncul lah saran dari seorang Bapaknya teman yang menyarankan untuk ambil Biokimia di IPB karena prospek ilmu tersebut sedang sangat baik dan oke punya. Tanpa mikir panjang dan sedang dilanda puppy love, saya ambil lah itu biokimia tanpa tau di dalamnya kayak apa.

Tepat ketika saya frustasi di tingkat dua semester dua, semuanya sirna. Saya nggak lagi ngefans sama kakak itu. Entahlah hilang begitu saja ditelan kesibukan tugas akademik dan berorganisasi saya. Dan saya mual ama kuliah saya karena transkrip saya sempat dihiasi rantai karbon untuk mata kuliah yang di depan namanya ada kata 'KIMIA'.ahahaha :')

Belakangan saya baru tau dan sadar, sepertinya otak saya memang nggak cocok dengan hal eksak. That's why ketika mengajar, saya justru mengajar bahasa Inggris. Saya lebih suka mengajar dan berinteraksi dengan manusia dibanding dengan bakteri. Saya lebih suka menggambar tokoh-tokoh kartun dan mendesain dibanding menghafal struktur hormon. Orang abstrak begini masuknya biokimia. Salahkan kakak kimia itu! ahahaha

Tapi dengan diteror pertanyaan-pertanyaan dari Mas Bagus, entah mengapa saya kembali merindukan masa-masa itu. Selepas pulang dari Semarang, saya buka-buka lagi buku Lehninger dan catatan-catatan saat kuliah. I recalled the memories dan voila! Saya masih ingat. Saya mendadak rindu dengan dosen-dosen pembimbing skripsi dan masa-masa diskusi dengan beliau. Saya disergap kangen autoklaf, cawan-cawan petri, laminar, alkohol, neraca analitik, sentrifus, dan semua alat yang saya pakai di lab. Bahkan waktu merebus kentang, saya ambil sarinya dan membayangkan untuk mencampurkannya dengan gula desktrosa dan agar.hahaha :'(

Niatan untuk melanjutkan ke S2 sangat kuat meski masih bingung entah ingin dengan ilmu serumpun atau benar-benar membelot ke bidang lain sesuai passion (pendidikan atau kebijakan misalnya).





atau mungkin yang saya butuh sekarang adalah sosok 'Kakak (Bio)Kimia' lagi seperti dulu? hahaha

-- semoga Allah segera beri solusi bagi kegalauan saya ini. Mohon doanya :')

*maaf ujungnya curhat.hahaha































 

Comments

Popular Posts